Sastra dan Kita

Minggu, 02 Januari 2011

Zakia (Cerpen Terburukku)

Sejak pagi tadi, telingaku masih dibisiki oleh kata-kata setan. Kata-kata itu seakan menempeleng gendang telingaku. Banyak orang yang mengatakan kalau kekasihku adalah wanita yang suka mempermainkan lelaki alias playgirls.
Apa yang dikatakan banyak orang tentang kekasihku, membuat aku lelah. Agar lebih mudah, sebut saja namanya Zakia. Ya, gadis ini aku pacari sejak lima bulan yang lalu setelah ia putus dari pacarnya yang dulu, entah pacar yang keberapa. Yang aku tahu dia gadis yang lucu dan imut, serta bertalenta dalam membikin puisi. Aku suka dari semua yang dia miliki. Tubuhnya yang agak mirip doraemon, semakin membuatku gemas.
***
Siang itu aku di PKM (Pusat Kegiatan Mahasiswa). Aku sedang membaca salah satu koran lokal Banten edisi hari Senin. Alhamdulillah, hari itu puisiku yang terbit. Aku kaget saat aku melihat di bawah kolom puisiku, pun puisi zakia yang terbit. Aku senang sekali, ini kali pertamanya puisi aku dan zakia diterbitkan bersama. Aku kabari zakia, ia pun terlihat senang.
Sepulang dari kampus, aku langsung membingkai puisi itu di dinding kamarku sebagai bukti kalau aku ingin selalu disampingnya. Aku benar-benar mencintainya, meskipun aku harus sabar menghadapi sikapnya yang sulit ditebak. Sudah beberapa kali aku tersakiti olehnya, tapi aku tetap bersikap tenang. Aku tak mau ceroboh hanya karena kesalahan yang tidak jelas, meski berulang. Karena sebab itulah aku sering mendapat hasutan dari orang-orang, mereka bilang aku bodoh mencintai Zakia, ia sudah berulang kali menyakiti tapi kenapa masih saja bertahan. Meskipun cemoohan itu merupakan suatu hal yang membikin gendang telingaku pecah, tapi aku tetap bersih keras membela zakia kalau ia tidak begitu adanya. Hal ini tidak pernah aku ceritakan langsung kepada Zakia, aku takut hal ini akan menjadi monster menakutkan yang akan mengganggu kehidupan dia.


***
Detik-detik hari kunikmati. Fajar selalu berganti. Aku sudah tak sanggup lagi mendengar dan menahan kata-kata setan itu lagi ditelingaku. Sepertinya itu sudah menjadi santapanku setiap hari. Hal ini sudah tidak sewajarnya lagi aku pendam sendiri. Rasanya njelimet dipikiran, setiap kali aku tidur, aku selalu memimpikan sesuatu yang buruk. Pernah aku bermimpi, diceritakan dalam mimpi itu aku memutuskan menjauhi Zakia, entah karena alasan apa, tak jelas. Hingga akhirnya teman-teman Zakia pun berusaha mencari keberadaanku. Aku tersudut di lingkaran mereka. Mereka mengancam akan membunuhku. Layaknya sebuah sinetron, tiba-tiba saja teman-temanku datang dan terjadilah pertarungan sengit di antara mereka. Teman-teman Zakia kalah dan tewas.
Aku harus menceritakan semua hal ini kepada Zakia. Aku sudah tidak tahan lagi. Benarkan apa yang dikatakan oleh orang-orang tentang dia. Ada apa sebenarnya yang terjadi?
***
Malam itu, cuaca di luar sedang bermalasan-malasan bermain dengan awan, angin, dedaunan dan cahaya rembulan. Suara-suara kodok ataupun jangkrik tak ada yang terdengar satupun di sawah samping rumahku. Begitu pun aku. Aku sedang tidak enak pikiran. Banyak beban di otakku tentang Zakia. Jemari tanganku hanya bisa meremas-remas si layar putih bernyawa pulsa. Aku terbaring lemas di kamar.
“Sayang, benarkah apa yang dikatakan orang-orang, kalau kamu suka mempermaikan laki-laki? Benarkah kamu masih berhubungan dengan mantan kamu? Benarkah kalau kamu hanya mempermainkan aku …?”
Sekiranya begitu sms yang aku kirim kepada Zakia. Mungkin ini adalah sesuatu hal yang menyakitkan baginya. Tapi biarlah. Aku curahkan semua keluh kesahku, semua beban-beban yang ada dalam otakku. Aku sudah tak sanggup lagi menampungnya. Malam itu aku bertengkar dengan Zakia. Dengan jujur dia jawab tidak begitu adanya, semuanya tidak benar. Tapi entahlah, aku bukanlah Tuhan yang tahu segalanya. Aku tidak tahu siapa yang benar dan siapa yang salah.



***
Esok hari dikantin.
“Sepertinya kamu akan lebih baik jika kamu tinggalin aku. Kamu pasti akan tenang jika jauh dari aku, dan kamu pasti tidak akan mendengar lagi hal-hal buruk tentang aku. Asal kamu tahu, aku sayang kamu…”
Zakia kecewa padaku. Wajahnya seperti air keruh yang tidak enak dilihat.
“Sayang, maaf bukannya aku tidak percaya padamu. Entahlah, aku juga bingung, kenapa aku mesti percaya sama orang lain, bukan sama kamu. Jujur, selama ini sebenarnya aku masih meragukan cinta kamu. Aku tak tahu jalan pikiranmu. Ya, Meskipun aku kenal kamu sudah lama, tapi aku hanyalah manusia biasa yang tidak tahu segalanya tentang kamu. Aku rasa hubungan kita selama ini belum terbuka. Sampai kapan kita harus saling menutupi kekurangan dan kesalahan kita. Meskipun itu suatu hal yang menyakitkan alangkah baiknya kita saling jujur apa adanya. Aku tidak mau ada dusta di antara kita”.
Pertengkaran ini tidak sampai memecahkan hubunganku dengannya, justru aku semakin tambah sayang dan selalu berusaha untuk percaya padanya. Memang terasa aneh.
***
Beberapa minggu kemudian.
“Aku lelah mendengar apa yang dikatakan orang-orang tentang kamu. Kata mereka kamu tidak serius suka sama aku, kamu juga sering menggoda gadis-gadis adik kelas, kamu juga ...”
Tiba-tiba saja Zakia sms begitu. Ternyata selama ini ia juga menyimpan beban dari apa yang dikatakan orang-orang tentang aku di telinganya. Kata-kata setan itu juga merasuki pikirannya, hingga ia luapkan begitu saja. Pantas saja belakangan ini air mukanya agak beda. Selalu cemberut saat bertemu.
Apakah ini adalah sebuah karma bagiku? Tentang apa yang dulu aku lakukan padanya. Sekarang aku mengerti, kenapa dulu dia marah dan kecewa. Ternyata berada diposisinya tidak seperti yang aku bayangkan.
Ia sudah terdoktrin oleh kata-kata setan itu, sampai detik ini ia belum juga mengabariku. Mungkinkah dia marah, kesal, sedang ingin sendiri, atau mungkin dia sedang berpikir akan memutuskan aku. Ah, pikiranku sudah melewati batas, otakku sedang diaduk oleh pikiran-pikiran negatif. Aku bingung, apa yang harus aku lakukan. Zakia tidak percaya kalau aku benar-benar sayang sama dia. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan.
***
Akhir-akhir ini ia sedang sakit-sakitan. Sudah satu minggu ia tidak masuk kuliah. Aku belum sempat menjenguknya. Bagaimana aku bisa menjenguknya, sesekalipun aku belum pernah main ke rumahnya, banyak alasan yang ia lontarkan saat aku ingin bermain ke rumahnya. Aku tidak memaksakan itu, yang terpenting sekarang kuharap dia bisa cepat sembuh dan dapat menjalankan aktifitas seperti biasanya.
Hari-hariku hampa tanpanya. Aku menjadi malas kuliah, mengerjakan tugas-tugas kuliah pun tidak sama sekali. Apakah ini yang disebut dengan cinta? Entahlah, aku tak bisa menafsirkan hal itu. Tanpa dia hidupku benar-benar sepi.
“Sayang, bagaimana keadaanmu sekarang? Kamu masih marah? Jika kamu lebih percaya sama orang lain tentang aku silakan, aku tidak memaksakan. Aku bingung, harus membuktikan apa agar kamu percaya kalau aku sangat mencintaimu. Orang-orang tidak tahu tentang perasaan aku ataupun kamu, mereka hanya melihat kita dari luar, yang mereka tahu hanya kekurangan dan kesalahan kita saja. Dulu aku yang tidak percaya, sekarang kamu. Jangan bohongi perasaan kamu sendiri hanya karena apa kata orang-orang tentang aku. sekarang terserah kamu mau percaya atau tidak. Yang jelas aku cinta kamu.” Aku berharap.
“Sekarang kamu tahu di posisi aku dulu seperti apa? Aku benar-benar sakit saat kamu percaya sama orang lain. Sekarang kamu rasakan itu. Benar-benar sakit bukan? Maaf bukannya aku marah, aku lagi ingin sendiri dulu. Maaf juga aku jarang balas sms kamu. Jangan kamu berpikir aku sudah tidak cinta lagi padamu. Aku sangat mencintaimu, sangat. Tapi aku sadar, aku bukan wanita yang terbaik buat kamu, aku sering menyakiti kamu, dan sekarang kamu boleh sesuka hati meninggalkan aku, aku merasa tidak pantas buat kamu, aku tidak mau mendengar lagi apa kata orang-orang, aku ingin kamu tenang jika pergi dari aku. Silakan kamu cari wanita lain yang lebih baik dari aku…!” Telepon pun ditutup.
Hujan malam ini mulai mereda, aku membuka mata. Aku tidak ingin melanjutkan tidurku.

                                                                                                                    Pontang, Mei 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar