Sastra dan Kita

Minggu, 02 Januari 2011

Catatan Langit dan Angka 12



            Selama ini Firda selalu merasakan ada sesuatu yang aneh dalam perutnya. Sakit, perih, rasanya seperti di iris-iris dengan gergaji, barangkali gergaji mesin. Tapi ia tak pernah mengeluh sedikitpun, apalagi memperdulikannya. Ia menahan sakit itu mungkin semenjak 12 hari yang lalu usai ia keluar dari tempat mistik itu untuk yang kedua kalinya—tempat ia meminta sesuatu.
            Sebulan yang lalu, ia pun pernah merasakan hal yang serupa namun tidak berlarut-larut seperti yang ia rasakan saat ini. Kadang ia merasa mual, wajahnya pucat dan sering muntah-muntah. Tapi apa yang dimuntahkan tidak ada sama sekali. Malah air matanya yang semakin mengalir deras. Menganak sungai tak terbendung oleh pipinya yang kebanyakan lemak itu. Saat ini tubuhnya seperti ditusuk-tusuk pisau tajam yang dipanaskan dengan api. Lebih panas lagi, lebih panas lagi.
            Malam ini ia sendiri dikamar. Mengipas-ngipas tubuhnya tiada henti. Mukanya memerah seperti langit senja yang akan tebenam. Kulitnya mengelupas sedikit-demi sedikit.
            “Kamu kenapa?” Tanya ibunya yang tiba-tiba saja datang menghampirinya. Di lihatlah sekujur  tubuh anaknya itu yang semakin memerah dan semakin mengelupas sedikit demi sedikit kulitnya. Ibunya memerhatikannya tiada henti. Dari ujung kaki hingga ujung kepala. Mengitarinya tubuhnya dari samping kiri, kanan, depan, dan belakang. Bingung, aneh, penasaran, cemas, semua bergelimang dalam benak ibunya.
 “Kamu kenapa?” Sekali lagi ibunya bertanya. Tapi Firda tetap membisu. Ia hanya menunduk saja. Sepertinya ia sedang menikmati dengan mencabuti sedikit-demi sedikit kulitnya yang mengelupas itu.
            “Firdaaaa....!!!” Ibunya berteriak kencang. Ia kesal karena tak ada jawaban dari anak perempuannya itu. Ditamparlah anaknya itu, keras, semakin keras, namun tetap saja dia tidak merespon sedikitpun.
            “Ada apa dengan anak ini ya Tuhan...!”
            Ibunya tersungkur di lantai sambil menangis tiada henti. Kakinya digoyang-goyangkan seperti anak kecil yang meminta mainan. Tak disengaja ia menendang sebuah kotak kecil berukuran PxL 15 Cm di kolong ranjang anaknya. Ia berhenti sejenak. Warna kotak itu biru, warna yang sangat Firda senangi dan mempunyai makna khusus jika ada benda miliknya yang berwarna biru. Lalu diambillah kotak itu, ia membuka secara perlahan... di dalamnya ada sebuah buku kecil yang seukuran dengan kotak itu namun begitu tebal, sangat tebal. Di buka lembaran pertama, tertulis “Catatan langitku, Catatan Hidupku” lalu dibuka lagi halaman per halaman...
            Entah kenapa aku tertarik dengan wajahmu langit. Dengan hidungmu. Dengan matamu. Dengan alismu. Semua itu aku suka. Kamu memang benar-benar seperti langit, tak ada yang beda. Kamu mengubah segala cuaca di hatiku. Terkadang kamu membuatku teduh, sejuk, nyaman. Namun terkadang pula membuatku dingin seperti salju dan terkadang panas seperti api. Aku tahu kamu punya mata. Dan langitmu pasti tahu bahwa aku benar-benar menaruh hati pada birumu.
            Aku memendam perasaan ini semenjak setahun yang lalu. Saat kita satu kelompok pada Ospek Kampus, kelompok 12. Hemm... angka ini benar-benar sebuah angka istimewa bagiku. Dari tanggal kelahiranku—hari ulang tahunku, begitupun tempat kelahiranku, di rumah sakit, kamar 12.
            Langit, apa yang kamu rasakan sekarang? Apa yang kamu pikirkan? Selama ini aku masih menunggu di bawah terik mataharimu. Aku masih merindukan saat pertama kali kau kecup keningku, pipiku, lalu bibirku di ruang 12 usai kuliah, ruang kebanggaan kita. Apa semua itu kau lakukan dengan cinta? Atau... dengan nafsu? Aku tak tahu sayang. Tapi taukah engkau kejadian itu semakin membuat aku percaya bahwa kau akan benar-benar menjadi langitku. Namun, semua dugaan itu kubanting 180 derajat, saat kau bilang kau akan pergi meninggalkan bumi yang kaupijak. Kau bilang kau tidak mampu memayungiku dalam hidup. Sebenarnya akupun bingung—hubungan kita selama ini tidak jelas—kau datang dan pergi sesuka hati seperti kau menurunkan hujan di bumi  ini lalu kau hilang terbawa angin.
            “Aku harus mencari tempat lain. Aku tak sanggup memelukmu. Aku dibawa angin rumah untuk pergi. Aku sudah punya bumi lain, sebelum aku singgah pada bumimu. Maaf.” Ujarmu sore itu.
            Hanya karena itukah kau pergi. Aku tak bisa jika lalui badai ini tanpamu. Kau jahat, kau kejam. Aku bingung harus melakukan apa. Tubuhku seperti dihempas angin topan. Kau seperti menghujaniku dengan api. Ah, aku tak mau menyerah aku akan melakukan apapun sampai langitku kembali lagi dipelukakanku. Kemarin sore aku mendengar dari teman, di sebuah tempat, dalam hutan, ada nenek-nenek yang katanya bisa mengabulkan segala permintaan manusia. “Ah, aku tidak percaya” pikirku. Tapi kata temanku memang terbukti. Ketika temanku menginginkan ayahnya yang sedang sakit dan sudah menanti ajal bisa diselamatkan oleh nenek sakti itu hanya dengan bacaan mantra 12 kali.
            “Kenapa harus dua belas kali? ” tanyaku dalam batin. Angka ini benar-benar memiliki keistimewaan. Bolehlah aku mencobanya.
            Keesokan harinya aku sudah berada di tempat itu. Sebuah lokasi di tengah hutan yang jauh dari keramaian. Aku menghitung belokan jalan menuju tempat ini ada 12 tikungan. Iseng sekali diriku ini, Hmm... angka keberuntunganku lagi. Aku semakin percaya semua itu akan terjadi padaku.” Langit, kau akan kembali padaku”.
            “Siapa namanya Neng?” tanyanya.
            “Aku panggil dia langit Nek.” Mataku sambil melirik kiri kanan ruangan. Melihat banyak benda-benda mistik yang menggantung di tembok bambu-bambu itu.
            Nenek itu langsung memutar-mutar tangannya pada sebuah kendi yang berisi air. Ia taburkan kembang 12 rupa. Ia membaca mantra, mulutnya komat-kamit entah apa yang ucapkannya. Aku hanya mengerutkan kening saja melihatnya. Lumayan lama nenek itu berkomat-kamit, sekira 12 menit-an. Kenapa harus 12 lagi. Hmm...
            “Dalam tubuhnya punya kekuatan tersendiri. Saya sulit untuk menangkap sinyal pikirannya. Sepertinya dia orang yang berilmu.” Katanya.
            “Lantas apa yang harus aku lakukan Nek?”
            “Sabar, semua ini tidak mudah. Butuh proses. Tapi sepertinya ini akan berbahaya untukmu. Jika ilmu saya ini kalah. Maka kamu akan menjadi taruhan nyawa Jin yang aku kirimkan ini kepadanya.”
            “Apapun aku lakukan untuk mendapatkannya Nek.” Penuh dengan keyakinan.
Aku pun pulang dengan membawa sebuah batu kecil seukuran kelereng. Katanya setiap 12 menit batu ini harus selalu digosok-gosokkan 12 kali di seluruh bagian tubuhku—bagian mana saja. Jika batu itu rutin digosok ditubuhku, katanya aroma wangi tubuhku akan tercium oleh langit. Daya tarikku akan semakin tinggi, katanya. Hmm... benarkah? Ini memang berat. Tapi apapun akan aku lakukan untukmu langit.
Nenek itu bilang, jika dalam jangka waktu sebulan tidak ada reaksi. Maka aku harus menemuinya kembali. namun katanya juga, akan ada sesuatu yang terjadi pada diriku, entah apa.
Sebulan berlalu. Tak ada hasil. Ah, rupanya aku harus kembali lagi ke nenek itu. Tapi hari ini perutku agak sedikit perih. Aku rasa ini hanya nyeri haid saja. Kebetulan hari ini adalah tanggal 12, aku harus tetap percaya dengan angka 12. Angka yang bisa membuat bibirmu pernah menempel di bibirku.
Tibalah kembali aku di rumah nenek itu. Hari ini aku mengenakan baju serba biru. Warna ini menunjukkan kecerahan. Seperti langit yang indah hari ini—seperti engkau pula.
Nenek itu kembali berkomat-kamit seperti kemarin. Kali ini ia lebih banyak membaca mantranya. Yang benar saja, sampai wajahku lusuh, kusam, panas dan penuh keringat ia pun belum selesai juga membaca mantranya. Sudah 12 jam aku duduk disini. Aku tepuk-tepuk bahu nenek itu, dengan kagetnya ia tersadar.
“Maaf, saya tertidur.” Ujarnya.
“Hah...!” Aku hanya melongo memandang wajah nenek itu, matanya begitu merah.
            Aku tak habis pikir, yang benar saja dukun sakti seperti ini. Ya, walaupun begitu aku harus tetap optimis. Toh buktinya sudah ada, dia sudah pernah menyembuhkan ayah temanku yang sebentar lagi menanti ajal. Apalagi aku yang hanya menginginkan seorang langit. Aku yakin nenek ini bisa.    
            “Kamu siap menerima segala resikonya dari semua ini. Langitmu bukan lelaki biasa. Dia memiliki penangkal gaib—ia keturunan dari sekelas jawara. Sekali lagi, kamu siap dengan segala resikonya?”
            “Siap!” Jawabku lantang.
            “Jika 12 hari ini ia pun belum bisa kamu taklukkan. Maka kamu akan merasakan sendiri akibatnya. Jin yang kukirimkan padanya akan berbalik menjadi api ditubuhmu.”
            Semua omongan nenek itu tidak aku hiraukan. Terpenting adalah langit kembali. Langit harus tidur dipangkuanku, dengan bibirnya yang menempel dibibirku.
            Untuk ibu: Ibu, maafkan aku, melakukan semua ini. Bukan bermaksud kumenyakitimu dengan menolak lelaki pilihanmu. Di hatiku tetap langit, tetap langit, tiada yang lain.
            Semoga tulisan ini hanya aku dan Tuhan yang tahu.
                                                                                   
                                                                                           Perjalanan Menuju Langitku

            Ibunya hanya terpaku membaca tulisan ini. Tubuhnya gemetar tak kunjung berhenti. Sedang anaknya sudah semakin tenggelam dengan warna kulitnya yang semakin memerah disekujur tubuhnya. Kulitnya semakin mengelupas banyak. Tak lama kemudian Firda di bawa ke rumah sakit. Ia masih saja mencabuti kulitnya itu. Sekira pukul 00.00, dokter tak sanggup lagi menolongnya. Ia meleleh dan tenggelam. Mayatnya di taruh di kamar 12 nomor urut 12. Esok hari, pukul 12.00 langit pun datang di pekamannya.
            “Maafkan aku, aku tidak tahu kamu akan melakukan ini.” Langit melepaskan jimat yang berbentuk kalung itu dari lehernya, ia mengalungkannya di batu nisan Firda. Terukir di kalung itu, angka “12”.

           
                                                                                    21 (bukan 12) November 2010
                                                           
           

             


           









1 komentar: