Sastra dan Kita

Selasa, 18 Januari 2011

KEMATIAN SANG PENULIS


 

BILA kita sedang asyik membaca buku, semisal Jakarta Undercover karya Moamar Emka, apa yang terbesit dalam ruang pikir kita? Terhanyut bersama Emka lewat goresan-goresan pena yang dituangkan dalam buku tersebut? Atau sebaliknya, ‘mengabaikan’ dia, seraya pikiran kita bebas menafsirkan wacana atau informasi yang dia kemas dengan bahasa-bahasa penggugah gairah seksual?
Menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas bukan persoalan mudah. Setiap kepala tentu memiliki jawaban berbeda-beda. Dalam pergulatan filsafat, perbedaan jawaban atas pertanyaan seperti itu telah melahirkan karakteristik yang mencirikan dua tradisi besar: modernisme dan post-modernisme.
Dalam tradisi modernisme, penulis atau pengarang adalah figur yang sangat penting dan sentral. Sebuah karya tulis selalu diidentifikasikan dengan penulisnya. Figur penulis menjadi ‘jantung’ perhatian pembaca, sehingga batas antara dia dengan hasil karyanya menjadi kabur. Karya dianggap sebagai hasil ‘kejeniusan’ atau ‘kepandaian’ sang penulis. Otoritas dan keotentikkan dilegetimasi melalui ‘tanda tangan’ atau ‘hak cipta’ pengarang. (Yasraf Amir Piliang: 1999)
Selain itu, dalam diskursus modernisme pembaca selalu bersikap dingin, tidak berpikir kritis terhadap apa yang dibacanya. Dia terlena dengan ide-ide atau hasil temuan sang penulis, tanpa mempertanyakan kebenarannya. Pembaca menjadi obyek hegemoni keinginan, nafsu, selera, kegelisahan, kegembiraan, kesenangan, dan totalitas penulis. Keadaan itu membuat pembaca tidak sadar bahwa dirinya sedang dijajah oleh sang kolonial bernama penulis.
Ketika menelaah karya Emka, pembaca yang masuk dalam kategori ini selalu merasa dibayang-bayangi sosok Emka dan tersihir dengan keindahan bahasanya. Eksistensi Emka senantiasa menghiasi rung pikir dan daya kreatifnya, sehingga sikap kritis dan daya imajinitifnya menjadi lumpuh layu. Pada posisi ini, pembaca secara tidak sadar telah memasuki hutan belantara modernisme dan berposisi sebagai ‘cecunguk’ sang penulis.
Berbeda dengan tradisi modernisme, tradisi post-modernisme justru tega ‘membunuh’ sang penulis. Penulis tidak lagi mempunyai tempat dalam teks “pengarang telah mati”, kata Roland Barthes dalam karya monomentalnya The Pleasure of the Tex. Ini tentunya hanya sebuah metafora untuk menggambarkan bahwa tidak ada lagi ‘semangat’ dan ‘jiwa’ penulis dalam karyanya. Penulis tidak lagi berbicara. Suaranya menghilang bersamaan dengan munculnya teks atau karya tulis. Begitu berada di tangan pembaca, karya tulis akan terkelupas, meledak, dan tersebar tak terkendalikan oleh penulisnya.
Otoritas teks tidak lagi berada di tangan penulis, melainkan pada bahasa. Bahasa yang memainkan peran, bukan sang penulis. Posisinya tergantikan oleh bahasa yang dia bungkus dalam bentuk susunan kata atau kalimat. Setiap karya dapat ditemukan kode-kode bahasanya, tanpa ‘kehadiran’ penulisnya.
Sebagai contoh, bila kita membaca buku Jakarta Undercover, kita memahami bahwa bukan Emka yang berbicara melalui karyanya, akan tetapi bahasa-bahasa erotis kehidupan malam Jakarta, semisal diskotik, pelacuran, tarian telanjang, lelaki hidung belang, dan wanita penghibur. Emka, dalam konteks ini, tak lebih hanyalah seorang ‘broker’ atau ‘perantara’ yang memberi rung gerak bahasa-bahasa erotis ini untuk berbicara.
Bagi Barthes, sebagaimana dikutip Piliang, teks (termasuk karya Emka) adalah kombinasi dari tulisan-tulisan, yang diambil dari berbagai kebudayaan dan memasuki ruang tertentu, yang kesemunya saling berdialog dan berinteraksi. Ruang ini, menurut Barthes, ditempati oleh pembaca. Dalam hal ini, kedudukan Emka berkenaan dengan Jakarta Undercover lebih sekadar sebagai ‘pembaca’ ketimbang ‘penulis’ atau ‘pengarang’. Dia adalah ‘ruang’, tempat bahasa-bahasa erotis kehidupan malam Jakarta berinteraksi dalam suatu dialog tertentu.
Pada kondisi itu, karya tulis hanyalah sekadar arena permainan tanda-tanda bahasa yang berada di luar jangkauan kekuasaan sang penulis. Secara sosial dan ekonomis, seorang yang sudah menghasilkan karya memang berhak berpredikat ‘seorang pencipta’, memiliki ‘hak cipta’, dan mempunyai otoritas atas royalty berupa imbalan finansial; akan tetapi ia tidak berhak atas otoritas makna tekstual. Secara tekstual, ia mempunyai kedudukan sama dengan orang lain, yaitu sebagai tamu, namun sebagai penentu makna dia telah mati (ST. Sunardi: 2002).
Kematian sang penulis, menurut Barthes, selalu diikuti dengan kelahiran pembaca. Dia berbeda dengan pembaca pada tradisi modernisme. Dia tidak lagi terbelenggu dengan tirani penulis. Pada saat membaca suatu karya, dia bebas terbang ke mana saja, menembus dinding tebal gagasan penulis, serta melampaui ‘kejeniusan’ penulis itu sendiri. Dengan kata lain, wafatnya penulis diikuti dengan kebebasan pembaca untuk berpatisipasi menghasilkan pluralitas makna dalam teks.
Lantas, apa fungsi penulis selaku perangkai kata atau kalimat dalam sebuah karya jika otoritasnya ‘dibunuh’? Terhadap pertanyaan ini, kaum post-strukturalis memiliki jawaban yang bervariatif. Michel Foucault, yang lebih getol dalam kajian teks dan wacana, berpendapat bahwa fungsi penulis adalah pendistribusi wacana. Tanpa dirinya suatu karya tak akan pernah lahir dan tak akan hadir di hadapan pembaca.
Sebagai distributor wacana, penulis berhak mendapatkan penghargaan setinggi-tingginya dari pembaca, kerena telah bersusah payah membuka jendela pengetahuan bagi banyak manusia. Namun, penghargaan itu jangan sampai membuat kita kehilangan energi untuk bersikap kritis terhadap suatu karya. Akhirnya, hanya dua kata untuk menumbuhkan dan merawat sikap kritis: ‘bunuh’ penulis!
Sumber: A. Sihabul Millah (Jawa Pos, 4 Juni 2006)

SERIUS dan POPULER dalam SASTRA




Dalam dunia kesusastraan Indonesia mungkin kita sudah tidak asing lagi mendengar istilah sastra serius dan sastra populer. Kedua istilah tersebut acap kali bahkan sering kali menjadi perdebatan dikalangan akademis. Namun sebenarnya, apakah yang menjadi perdebatan pada kedua istilah ini?
Berbicara sastra serius berarti kita berbicara tentang agama, politik, budaya, cinta, sejarah dan semangat perjuangan Indonesia. Berbicara sastra serius pula berarti kita berbicara tentang sesuatu yang berat, membosankan, bahkan njelimet. Sastra serius (dibaca: karya sastra) sebenarnya sudah lahir sejak zaman sebelum era kemerdekaan. Misalnya saja, Siti Nurbaya karya Marah Rusli, Azab dan Sengsara karya Merari Siregar yang keduanya terbit di tahun 1920-an (oleh Balai Pustaka). Kedua karya sastra (novel) tersebut jika kita kaji bersama-sama pasti akan menimbulkan interpretasi (pandangan) yang begitu beragam. Dalam novel Siti Nurbaya, ada yang menilai Syamsul Bahri berperan antagonis dan ada pula yang menilai protagonis, begitupun dengan tokoh Datuk.
Lalu ada pula yang bilang Siti Nurbaya adalah kisah kawin paksa, dan ada pula yang bilang bukan. Nah, dari sinilah salah satu hal yang membuat karya sastra itu dikatakan serius. Penuh dengan perdebatan dan mengasah otak pembaca untuk berpikir. Jika kita kaji lebih dalam lagi, sebenarnya kisah Siti Nurbaya itu adalah kisah pemberontakan bangsa kita yang sedang dijajah dan ingin merdeka. Dalam Novel itu (Siti Nurbaya), Siti Nurbaya di analogikan sebagai bangsa Indonesia dan Datuk adalah di analogikan sebagai penjajah. Selain itu mungkin masih banyak lagi ruang yang masih bisa diinterpretasikan lagi oleh para pembaca.
Lain halnya dengan sastra populer. Sastra populer lebih mudah dicerna oleh para pembaca. Gaya bahasa yang digunakan pun tidak seberat gaya bahasa yang dipakai dalam sastra serius. Sastra populer seringkali disebut karya penghibur saja, bukan karya orang terpelajar (ada beberapa yang berpendapat begitu). Ya, memang karena isinya yang begitu lugas dan tidak membuat orang berpikir lama—bisa sekali baca, selesai. Coba bandingkan dengan membaca sastra serius—tidak akan memahami dengan sekali baca, mesti berulang.
 Sastra populer lahir sejak era 80-an, yang dipelopori oleh Hilman dengan serialnya “Lupus”, lalu menyusul Gol A Gong dengan serialnya “Balada Si Roy”. Keberadaan sastra populer hingga kini semakin menggeser keberadaan sastra serius di rak-rak toko buku. Namun pada dasarnya keduanya memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Sastra populer akan cepat hilang karena selalu mengikuti perkembangan zaman, lain halnya sastra serius yang akan tetap abadi sepanjang masa serta akan selalu menjadi bahan perbincangan di kalangan akademis. Semisal, karya Pramoedya A. Toer, Marah Rusli, Sapardi Djoko Damono, dll.
Namun yang menjadi permasalahan sekarang adalah terkadang orang-orang awan bingung menentukan mana karya sastra yang populer dan mana yang serius? Jawabannya mudah sekali sebenarnya. Jika karya tersebut sedang gencar dan membuming dan diberitakan dimana-mana, itulah yang populer. Di toko-toko buku begitu menumpuknya karya tersebut. Berbeda dengan sastra serius yang bukunya susah didapat dan masih bisa dihitung dengan jari jumlahnya. Lalu mana yang harus dipilih”? serius atau populer? Selera pembaca yang menentukan.



Penulis:

Encep Abdullah
Mahasiswa Diksatrasia Untirta.

SAJAK PANJANG DAN SAJAK PENDEK




 Setiap manusia pasti mempunyai keunikan tersendiri dalam hidup ini. Dalam artian setiap individu memiliki perbedaan yang sangat mencolok dengan individu yang lain. Baik itu dari segi fisik, sikap, maupun karakter. Ada yang ingin berjuang hidup dengan keglamorannya, kekayaannya, kemewahannya. Ada juga yang berjuang hidup dengan kesederhanaanya, namun pada intinya tetap satu tujuan yaitu mencapai kebahagiaan. Sama halnya dengan sebuah sajak, ia ditulis oleh seorang penyair lewat kata-kata, hidup matinya sebuah sajak adalah terletak pada kata yang ia bawa. Menulis sajak bukanlah seperti membuang sampah. Menulis sajak adalah kekuatan untuk bertahan hidup. Menulis sajak adalah persoalan yang harus diungkapkan, meskipun tidak ada jawaban. Setiap pengungkapan seorang penyair pun begitu beragam. Ada yang mengungkapkan dengan sajak panjang dan ada pula yang mengungkapkan dengan sajak pendek bahkan sangat pendek.
Akan tetapi apakah sebenarnya hakikat sajak panjang dan pendek?
Pada dasarnya, baik sajak panjang ataupun sajak pendek tetap saja dibilang sajak. Kebebasan seorang penyair tidak bisa diganggu gugat, karena semua itu berurusan dengan emosi. Apalagi jika emosi seorang penyair benar-benar membeludak, setiap kata yang ia lontarkan pasti akan mengalir dengan sendirinya. Namun, perlu ditelusuri pula kenapa seorang penyair menulis sajak panjang? kenapa pula ia juga menulis sajak pendek?
Berbicara sajak panjang, mungkin dalam benak saya langsung tertuju dengan sosok Rendra, sang Burung Merak dari Solo. Sajak-sajaknya selalu haus akan perpolitikan negeri ini. Sajak-sajaknya yang selalu menangis akan jeritan negeri ini. Namun disini saya tidak berbicara soal Rendra. Saya akan berbicara tentang sosok regenerasi Rendra. Siapakah dia?
Agus R. Sardjono-lah jawabannya. Ya, penyair kelahiran Bandung ini adalah sosok satu-satunya regenerasi sang Burung Merak. Rendra Sendiri mengakui akan hal itu. Dalam kumpulan puisi Agus R. Sardjono “Suatu Cerita dari Negeri Angin” Rendra mengatakan “Tidak ada generasi lagi setelah saya selain Agus R. Sardjonolah puncaknya.” Benarkah demikian?
Lihat saja dalam kumpulan puisi Agus R. Sardjono “Suatu Cerita dari Negeri Angin.” Dalam sajak-sajaknya, Agus bercerita melalui sajak-sajak panjang (kebanyakan), selain itu ia pun bercerita tentang perpolitikan sosial di negeri ini. Misalnya dalam sajaknya yang berjudul “Suatu Cerita dari Negeri Angin” yang merupakan judul Sampul bukunya, selain itu ada sajaknya yang berjudul “Sajak Palsu” yang bercerita tentang segala kepalsuan dalam negeri ini.
Sajak-sajak panjang Agus R. Sardjono bagi saya cukup menarik untuk dibaca. Ia bercerita begitu saja layaknya ia bercerita dalam sebuah cerpen. Gaya bahasa yang sederhana, lugas dan tidak njelimet, tidak seperti sajak-sajak orang (penyair) kebanyakan, yang begitu rumit. Sajak-sajaknya selain bercerita tentang politik sosial di negeri ini, ia juga bebicara soal cinta meskipun selalu ia kait-kaitkan dengan politik.
Lalu bagaimana dengan sajak pendek?
            Berbicara sajak pendek, pikiran saya langsung tertuju pada sajak haiku. Apa itu sajak haiku? Haiku adalah salah satu bentuk puisi tradsional Jepang yang paling penting. Haiku adalah sajak terikat yang memiliki 17 silaba/sukukata terbagi dalam tiga baris dengan tiap baris terdiri dari 5, 7, dan 5 sukukata. Sejak awalnya, sering muncul kebingungan antara istilah Haiku, Hokku dan Haikai (Haikai no Renga). Hokku adalah sajak pembuka dari sebuah rangkaian sajak-sajak yang disebut Haikai no Renga. Hokku menentukan warna dan rasa dari keseluruhan rantai Haikai itu, sehingga menjadi penting, dan tak jarang seorang penyair hanya membuat hokku tanpa harus menulis rantai sajak lanjutannya.
Istilah Haiku baru muncul 1890an, diperkenalkan oleh Masaoka Shiki. Haiku boleh dibilang pembebasan Hokku dari rantai Haika. Haiku bisa berdiri sendiri, sudah utuh pada dirinya tanpa tergantung pada rantai sajak yang lebih panjang. Tokoh lain dalam reformasi Haiku ini adalah Kawahigashi Hekigoto yang mengajukan dua proposisi:
1. Haiku akan lebih jujur terhadap realitas, jika tidak, ada "center of interest" (pusat kepentingan, fokus perhatian) di dalamnya.
2. Pentingnya impresi penyair pada hal-hal yang diambil dari kehidupan sehari-hari dan warna-warna lokal (ini tidak jauh berbeda dari kaidah hokku, TSP).
Singkatnya, sejarah haiku muncul baru pada penggal terakhir abad ke-19. Sajak-sajak yang terkenal dari para empu jaman Edo (1600-1868) seperti Basho, Yosa Buson, dan Kobayashi Issa seharusnya dilihat sebagai hokku dan harus diletakkan dalam konteks sejarah haikai meski pada umumnya sajak-sajak mereka itu sekarang sering dibaca sebagai haiku yang berdiri sendiri. Ada juga yang menyebut Hokku sebagai "Haiku klasik", dan Haiku sebagai "Haiku modern".
Di luar Jepang, terutama di Barat (mungkin awalnya dari penerjemahan haiku Jepang) haiku mengalami degradasi(?) dengan absennya beberapa prinsip dasar hokku (haiku klasik). Pola sajak 17-silaba itu menjadi tidak ketat diikuti. Akhirnya haiku di barat hanya tampil sebatas bentuk pendeknya saja.
               Haiku tidak memiliki rima/persajakan (rhyme). Haiku "melukis" imaji ke benak pembaca. Tantangan dalam menulis haiku adalah bagaimana mengirim telepati pesan/kesan/imaji ke dalam benak pembaca hanya dalam 17 silaba, dalam tiga baris saja!
Dalam bahasa Jepang, kaidah-kaidah penulisan haiku sudah pakem dan harus diikuti. Dalam bahasa lain, kadang sulit untuk mengikuti pola ini, dan biasanya menjadi lebih longgar.
               Haiku bisa mendeskripsikan apa saja, tetapi biasanya berisi hal-hal yang tidak terlalu rumit untuk dipahami oleh pembaca awam. Bebarapa haiku yang kuat justru menggambarkan kehidupan keseharian yang dituliskan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan kepada pembaca suatu pengalaman dan sudut pandang baru/lain dari situasi yang biasa tersebut. Haiku juga mengharuskan adanya "kigo" atau "kata (penunjuk) musim", misalnya kata "salju" (musim dingin), "kuntum bunga" (musim semi), sebagai penanda waktu/musim saat haiku tersebut ditulis. Tentu saja kata-kata penanda musim ini tidak harus selalu jelas-terang.
Bagaimanapun juga, saat ini haiku di tiap-tiap tradisi bahasa mengikuti aturan-aturannya sendiri sesuai sifat alami bahasa di mana haiku tersebut dituliskan.
Bagaimana dengan haiku Indonesia?
Terbesit dalam benak saja, Wing Kardjo adalah orangnya. Ia merupakan salah satu sastrawan Indonesia yang menulis sajak haiku—mungkin satu-satunya. Dalam kumpulan puisinya “Pohon Hikayat” yang diterbitkan oleh Forum Sastra Bandung sebagai bentuk usaha pencapaian ia dalam hidup. Buku ini diterbitkan setelah ia meninggal.
Wing Kardjo yang merupakan dosen di salah satu universitas di Jepang. Mungkin karena keadaan geografislah itulah yang membuat ia menulis sajak haiku ini. Dalam kumpulan sajaknya, ia ingin keluar dari aturan-aturan yang sebenarnya. Ia konsisten dengan gaya 3 baris sajaknya. Meskipun di Jepang aturannya tidak seperti itu. Layaknya Chairil dan Sutardji yang membebaskan diri dan keluar dari jalur bentuk dan penulisan puisi yang seharusnya. Contoh salah satu sajak Haiku Wing Kardjo:

Dilemma
Menulis sajak
otak rusak. Berhenti.
Benak sesak.

Apa yang ada di dalam benak saya setelah membaca sajak haiku?
Sajak Haiku Wing kardjo bagi saya adalah sebuah sajak yang bisa menggubris batin dan pikiran saya. Dengan bahasanya yang singkat tersebut, otak saya (pembaca) menerawang kemana-mana. Sedikit kata, namun mempunyai banyak makna.

            Perbedaan
Setelah membaca sajak –sajak panjang dan sajak sajak pendek (Agus R. Sardjono dan Wing Kardjo) saya mempunyai pandangan sebagai berikut:
Sajak-sajak panjang menuntut stamina si penyair dalam menjaga agar baris-baris sajaknya tidak jatuh membosankan. Sajak-sajak panjang yang hanya mengulang-ulang baris yang tak perlu, menghambur-hamburkan kata yang tak perlu, menambah-nambahkan kata/frasa/kalimat yang tak perlu hanya demi memanjang-manjangkan sajaknya bisa dipastikan gagal. Alih-alih merampungkan pembacaannya, seorang pembaca sajak semacam ini boleh jadi akan menghentikan pembacaannya setelah bait pertama.
Sajak-sajak panjang memerlukan energi lebih untuk menuliskannya, memerlukan kecermatan tinggi. Kalau sajak pendek bisa dianalogikan dengan cerpen, sajak panjang bisa dianalogikan dengan roman/novel. Setiap baris dan bait dalam sajak panjang dituntut mampu menahan minat pembaca untuk terus merampungkan pembacaannya. Sajak-sajak panjang nyaris tak mungkin dihasilkan dalam kerja sekali jadi. Sajak panjang bukanlah cerita jurnal yang sekali ditulis bisa berlembar-lembar. Sajak pendek menuntut kedalaman makna dalam kejernihan kristalisasi pengungkapan, sajak panjang menuntut kedalaman sekaligus keluasan wawasan batin si penyair. Dalam sajak-sajak panjang, penyair seakan dituntut mendemonstrasikan ketrampilannya mengunjukkan kekayaan diksi, kemerduan musikalitas, kedalaman hikmah dan keluasan bacaannya akan buku kehidupan.
Menulis atau membaca sajak panjang tidak lebih sulit atau lebih mudah daripada sajak pendek. Panjang atau pendeknya sebuah sajak tidak semata tergantung selera penyair tetapi lebih tergantung pada kebutuhan sajak itu sendiri. Sajak yang memang perlu pendek tidak usah dipanjang-panjangkan, sajak yang memang perlu panjang tak usah dipendek-pendekkan.
Kita sebagai penyair, cukupkan seperlunya saja dalam menulis. Itulah kesederhanaan sajakmu, kecantikannya yang jujur.



Cerpen Flash Fiction : Gusti



              Wajah Gusti memang cacat. Orang-orang menganggap bahwa orang cacat itu hatinya juga pasti cacat. Persepsi inilah yang membuatnya rendah diri. Wajahnya cacat bermula ketika ia berumur 10 tahun, ia terkena tumpahan air panas ketika ibunya memasak air di dapur. Gusti yang saat itu menduduki kelas 5 SD, meminta berhenti sekolah pada ayahnya. Ia malu dengan wajahnya yang buruk rupa.
 “Gusti, si Indah pasti gak bakalan suka sama kamu lagi, karena wajah kamu kayak monster...” ejek Akbar, musuh beratnya di sekolah. Sejak itu, Ia pun tidak mau lagi bermain ke luar rumah.
***
            “Gusti, sekarang kamu sudah dewasa, umurmu sudah 25 tahun, lihat wajah kamu juga sudah tua begitu.. he he. Sudah saatnya kamu itu berumah tangga. Jangan di rumah saja.” Tegur ayahnya yang melihat anaknya hanya bisanya tiduran saja di kamar.
            Mungkin Gusti pun merasa apa yang dikatakan ayahnya itu benar, dia pun merasa membutuhkan seseorang yang bisa menghangatkan tubuhnya ketika dingin. Tapi ia masih tidak berani untuk keluar rumah. Ayahnya kesal dengan sikap Gusti, karena ayahnya sudah tidak sabar ingin cepat-cepat punya cucu.
***
            “Gusti... ke ruang tamu sebentar!” suruh ayahnya sore itu. Gusti masih terlihat seperti anak kecil yang masih disuruh-suruh saja, tidak sebanding dengan tubuhnya yang besar dan gagah itu.
            “Iya Pak...” jawab Gusti bersiap keluar dari kamarnya.
            Seketika Gusti kaget, ketika tahu ayahnya membawa seorang gadis di ruang tamu. Gusti berbalik arah. Tapi ia pun ditarik Ibunya dari belakang. Gusti pun duduk di sofa sambil menutup wajahnya.
            “Gusti, ini Ani, gadis yang pernah suka sama kamu waktu SD. Bapaknya bilang sama ayah kalau ia memendam perasaan sama kamu dari dulu, meskipun Ani tahu wajah kamu seperti itu tapi dia masih tetap cinta sama kamu.”
            “Terus?”
            “Ayah ingin cepet punya momongan!”
            “Maaf An, aku tidak bisa.” Gusti kembali ke kamarnya.
            “Gustiii....” teriak Ibunya.
            “Pokoknya aku nggak mau, aku adalah si buruk rupa.”
***
            Dua minggu kemudian.
            “Gusti... keluar ke ruang tamu sebentar, ada yang ingin ketemu sama kamu
”suruh ayahnya malam itu.
            “Siapaaa....? Ah gak mau...! pasti mau dijodohin lagi.”
            “Indah namanya.”
            “Indah? Indah orang yang aku suka waktu SD? Kok bisa kesini dia. Ya Tuhan terima kasih, ternyata jodoh gak kemana.” Ujarnya, seketika ia bangkit dari tempat tidurnya. Ia pun langsung menuju ruang tamu. Sebelumnya Gusti merapihkan dulu rambut dan pakaiannya.
            “Indah...?” Ujar Gusti tak percaya. Ia perhatikan Indah dengan seksama. Ia lupa dengan wajahnya yang buruk rupa itu. Terlihat begitu percaya dirinya ia memandang Indah.
            Indah yang tadi menunduk seketika memandang wajah Gusti. Sontak Indah kaget melihat wajah Gusti. Darah disekujur tubuhnya seperti naik ke puncak kepala.
            “Maaf Pak, sepertinya saya salah orang. Permisi...” Indah pun pamit pada ayahnya Gusti. Keluar begitu saja.
            Gusti hanya tercengang. Ia baru ingat akan rupa wajahnya.
            “Indaaaaah....!” Jeritnya.
***
            Tiga tahun kemudian.   
            “Gusti... keluar ke ruang tamu sebentar!” suruh ayahnya yang tahu kalau anaknya itu sedang melamun di kamar.
            “Ada yang ingin bertemu sama kamu.”
            “Siapa?”
“Indah.”
“POKOKNYA AKU TIDAK MAU KAWIN. AKU SI BURUK RUPA.” Teriak Gusti dari kamarnya.
            Indah pun pergi, padahal dialah Indah yang sesungguhnya.

Januari 2011
           
                       


Cerpen S.G.A "Dilarang Menyanyi Di Kamar Mandi"

                                                                             
“Sabar Pak, sebentar lagi,” kata hansip.
”Waktunya selalu tepat pak, tak pernah meleset, ” sambung warga yang lain.
Pak RT manggut-manggut dengan bijak. Ia melihat arloji.
”Masih satu menit lagi,” ujarnya.
Satu menit segera lewat. Terdengar derit pintu kamar mandi. Serentak orang-orang yang mengiringi Pak RT mengarahkan telinganya ke lobang angin, seperti mengarahkan antena parabola ke Amerika seraya mengacungkan telunjuk di depan mulut.
”Ssssstttt!”
Pak RT melihat wajah-wajah yang bergairah, bagaikan siap dan tak sabar lagi mengikuti permainan yang seolah-olah paling mengasyikkan di dunia.
Lantas segalanya jadi begitu hening. Bunyi pintu yang ditutup terdengar jelas. Begitu pula bunyi resluiting itu, bunyi gesekan kain-kain busana itu, dendang-dendang kecil itu, yang jelas suara wanita. Lantas byar-byur-byar-byur. Wanita itu rupa-ruapnya mandi dengan dahsyat sekali. Bunyi gayung menghajar bak mandi terdengar mantab dan penuh semangat. Namun yang dinanti-natikan Pak RT bukan itu. Bukan pula bunyi gesekan sabun ke tubuh yang basah, yang sangat terbuka untuk ditafsirkan sebebas-bebasnya.
Yang ditunggu Pak RT adalah suara wanita itu. Dan memang dendang kecil itu segera menjadi nyanyian yang mungkin tidak teralu merdu tapi ternyata merangsang khayalan menggairahkan. Suara wanita itu serak-serk basah, entah apa pula yang dibayangkan orang-orang dibalik tembok dengan suara yang serak-serak basah itu. Wajah mereka seperti orang lupa dengan keadaan sekelilingnya. Agaknya nyanyian wanita itu telah menciptakan sebuah dunia di kepala mereka dan mereka sungguh-sungguh senang berada disana.
Hanya hansip yang masih sadar.
”Benar kan Pak?”
Pak RT tertegun. Suara wanita itu sangat merangsang dan menimbulkan daya khayal yang meyakinkan seperti kenyataan.
Pak RT memejamkan mata. Memang segera tergambar suatu keadaan yang mendebarkan. Bunyi air mengguyur badan jelas hanya mengarah tubuh yang telanjang. Bunyi sabu menggosok kulit boleh ditafsirkan untuk suatu bentuk tubuh yang sempurna. Dan akhirnya ya suara serak-serak basah itu, segera saja membayangkan suatu bentuk bibir, suatu gerakan mulut, leher yang jenjang, dan tenggorokan yang panjang—astaga, pikir Pak RT, alangkah sensualnya, alangkah erotisnya, alangkah sexy!
Ketika Pak RT membuka mata, keningnya sudah berkeringat. Dengan terkejut dilihatnya warga masyarakat yang tenggelam dalam ekstase itu mengalami orgasme.
”Aaaaaaahhhhh!”
Dalam perjalanan pulang, hansip memberondongnya dengan pertanyaan.
”Betul kan pak, suaranya sexy sekali ?”
”ya.”
’Betul kan Pak, suaranya menimbulkan imajinasi yang tidak-tidak?”
”Ya.”
”Betul kan Pak nyanyian di kamar mandi itu meresahkan masyarakat?”
”Boleh jadi.”
”Lho, ini sudah bukan boleh jadi lagi Pak, sudah terjadi! Apa kejadian kemarin belum cukup?”
***
Kemarin sore, ibu-ibu warga sepanjang gang itu memang memenuhi rumahnya. Mereka mengadu kepada Pak RT, bahwa semenjak terdengar Nyanyian dari kamar mandi rumah Ibu Saleha pada jam-jam tertentu, kebahagiaan rumah tangga warga sepenjang gang itu terganggu.
”Kok Bisa?” Pak RT bertanya.
”Aduh, Pak RT belum dengar sendiri sih! Suaranya sexy sekali!”
”Saya bilang Sexy sekali, bukan hanya sexy. Kalau mendengar suaranya, orang langsung membayangkan adegan-adegan erotis Pak!”
”Sampai begitu?”
”Ya, sampai begitu! Bapak kan tahu sendiri, suaranya yang serak-serak basah itu disebabkan karena apa!”
”Karena apa? Saya tidak tahu.”
”Karena sering di pakai dong!”
”Dipakai makan maksudnya?”
”Pak RT ini bagaimana sih? Makanya jangan terlalu sibuk mengurusi kampung. Sesekali nonton BF kek, untuk selingan supaya tahu dunia luar.”
”Saya, Ketua RT, harus nonton BF, apa hubungannya?”
”Supaya Pak RT tahu, kenapa suara yang serak-serak basah itu sangat berbahaya untuk stabilitas spanjang Gang ini. Apa Pak RT tidak tahu apa yang dimaksud dengan adegan-adegan erotis? Apa Pak RT tidak tahu dampaknya bagi keidupan keluarga? Apa Pak RT selama ini buta kalau hampir semua suami di gang ini menjadi dingin di tempat tidur? Masak gara-gara nyanyian seorang wanita yang indekost di tempat ibu Saleha, kehidupan seksual warga masyarakat harus terganggu? Sampai kapan semua ini berlangsung? Kami ibu-ibu sepanjang gang ini sudah sepakat, dia harus diusir!”
”lho, lho, lho, sabar dulu. Semuanya harus dibicarakan baik-baik. Dengan musyawarah, dengan Mufakat, jangan main hakim sendiri. Dia kan tidak membuat kesalahan apa-apa? Dia hanya menyanyi di kamar mandi. Yang salah adalh imajinasi suami ibu-ibu sendiri, kenapa harus membayangkan adegan-adegan erotis? Banyak penyanyi Jazz suaranya serak-serak basah, tidak menimbulkan masalah. Padahal lagu-lagunya tersebar ke seluruh dunia.”
”Ooo itu lain sekali pak. Mereka tidak menyanyikannya di kamar mandi dengan iringan bunyi jebar-jebur. Tidak ada bunyi resluiting, tidak ada bunyi sabun menggosok kulit, tidak ada bunyi karet celana dalam. Nyanyian dikamar mandi yang ini berbahaya, karena ada unsur telanjangnya Pak! Porno! Pokoknya kalau Pak RT tidak mengambil tindakan, kami sendiri yang akan beramai-ramai melabraknya!”
Pak RT yang diserang dari segala penjuru mulai kewalahan. Ia telah menjelaskan bahwa wanita itu hanya menyanyi di kamar mandi, dan itu tidak bisa di sebut kesalahan, apalagi melanggar hukum. Namun ia tak bisa menghindari kenyataan bahwa ibu-ibu disepanang gang itu resah karena suami mereka menjadi dingin di tempat tidur. Ia tidak habis pikir, bagaimana suara yang serak-serak basah bisa membuat orang berkhayal begitu rupa, sehingga mempengaruhi kehidupan sexual sepasang suami istri. Apakah yang terjadi dengan kenyataan sehingga seseorang bisa bercinta dengan imajinasi? Yang juga membuatnya bingung, kenapa para suami ini bisa mempunyai imajinasi yang sama?
”Pasti ada yang salah dengan sistem imajinasi kita,” pikirnya.
Sekarang setelah mendengar sendiri suara yang serak-serak basah itu, Pak RT mesti mengakui suara itu memang bisa dianggap sexy dengan gambaran umum mengenai suara yang sexy. Meski begitu pak RT juga tahu bahwa seseorang tidak harus membayangkan pergumulan di ranjang mendengar nyanyian dari kamar mandi itu, walaupun ditambah dengan bunyi byar-byur-byar-byur, serta klst-klst-klst bunyi sabun menggosok kulit.
Karenanya, Pak RT berkeputusan tidak akan mengusir wanita itu, melainkan mengimbaunya agar jangan menyanyi di kamar mandi, demi kepentingan orang banyak.
Di temani Ibu Saleha yang juga sudah tau duduk perkaranya, Pak RT menghadapi wanita itu. Seorang wanita muda yang tidak begitu cantik juga tidak tergolong jelek. Seorang wanita muda yang hidup dengan sangat teratur. Pergi kantor dan pulang ke rumah pada waktu yang tepat. Bangun tidur pada jam yang telah di tentukan. Makan dan membaca buku pada saat yang selalu sama. Begitu pula ketika ia harus mandi, sambil menyanyi dengan suara serak-serak basah.
”Jadi suara saya terdengar sepanjang gang di belakang rumah? ”
”Betul, Zus”
”Dan ibu-ibu meminta saya agar tidak menyanyi supaya suami mereka tidak berpikir yang bukan-bukan?”
”ya, kira-kira begitu Zus.”
”Jadi selama ini ternyata para suami di sepanjang gang dibelakang rumah membayangkan tubuh saya telanjang ketika mandi, dan membayangkan bagaimana seandainya saya bergumul dengan mereka di ranjang, begitu?”
Pak RT sudah begitu malu. Saling memandang dengan Ibu Saleha yang wajahnya pun sama-sama sudah merah padam. Wanita yang parasnya polos itu membasahi bibinya dengan lidah. Mulutnya yang lebar bagaikan mengandung tenaga yang begitu dahsyat untuk memamah apa saja di depannya.
Pak RT melirik wanita itu dan terkesiap melihat wajah itu tersenyum penuh rasa maklum. Ia tidak menunggu jawaban Pak RT.
”Baiklah Pak RT, Saya usahakan untuk tidak menyanyi di kamar mandi,” Ujarnya dengan suara yang serak-serak basah itu, ”akan saya usahakan agar mulut saya tidak mengeluarkan suara sedikit pun, supaya para suami tidak membayangkan diri mereka bergumul dengan saya,  sehingga mengganggu kehidupan seksual keluarga sepanjang gang ini”.
”Aduh, terimakasih banyak Zus. Harap maklum Zus, saya Cuma tidak ingin masayrakat menjadi resah.”
Begitulah semenjak itu, tak terdengar lagi nyanyian bersuara serak-serak basah dari kamar mandi diujung gang itu. Pak RT merasa lega. ”semuanya akan berjalan lancar,” pikirnya. Kadang-kadang ia berpapasan dengan wanita yang penuh pengertian itu. Masih terbayang di benak Pak RT betapa lidah wanita itu bergerak-gerak membasahi bibirnya yang sungguh-sungguh merah.
***
Tapi Pak RT rupanya masih harus bekerja keras. Pada suatu sore hansip melapor.
”Kaum ibi sepanjang gang ternyata masih resah pak.”
”Ada apa lagi? Wanita itu sudah tidak menyanyi lagi kan?”
”Betul Pak, tpi menurut laporan ibu-ibu pada saya, setiap kali mendengar bunyi jebar-jebur dari kamar mandi itu, para suami membayangkan suaranya yang serak-serak basah. Dan karena membayangkan suaranya yang serak-serak basah yang sexy, lagi-lagi meraka membayangkan pergumulan di ranjang dengan wanita itu Pak. Akibatnya, kehidupan seksual warga kampung sepanjang gang ini masih belum harmonis. Para ibu mengeluh suami-suami mereka masih dingin ditempat tidur, pak!”
”Jangan-jangan khayalan para ibu tentang isi kepala suami mereka sendiri juga berlebihan! Kamu sendiri bagaimana? Apa kamu juga membayangkan yang tidak-tidak meski hanya mendengar jebar-jebur orang mandi saja?”
Hansip itu tersenyum malu.
”Saya belum kawin, pak.”
”Aku tahu, maksudku kamu membayangkan adegan-adegan erotis atau tidak kalu mendengar dia mandi?”
”Ehm! Ehm!”
”Apa itu Ehm-Ehm?”
”Iya, Pak”
”Nah, begitu dong terus terang. Jadi ibu-ibu maunya apa?”
”Mereka ingin minta wanita itu diusir Pak.”
Terbayang di mata Pak RT wajah ibu-ibu sepanjang gang itu. Wajah wanita-wanita yang sepanjang hari memakai daster, sibuk bergunjing, dan selalu ada gulungan keriting rambut dikepalanya. Wanita-wanita yang selalu menggendong anak dan kalu teriak-teriak tidak kira-kira kerasnya, seperti di sawah saja. Wanita-wanita yang tidak tahu cara hidup selain mencuci baju dan berharap-harap suatu hari bisa membeli mebel yang besar-besar untuk ruang tamu mereka yang sempit.
”Tidak mungkin, wanita itu tidak bersalah. Bahkan melarangnya nyanyi saja sudah keterlaluan.”
”Tapi imajinasi porno itu tidak bisa dibendung Pak.”
“Bukan salah wanita itu dong! Salahnya sendiri kenapa mesti membayangkan yang tidak-tidak? Apa tidak ada pekerjaan lain?”
“Salah atau tidak, menurut ibu-ibu adalah wanita itu penyebabnya Pak. Ibu-ibu tidak mau tahu. Mereka menganggab bunyi jebar-jebur itu masih mengingatkan bahwa itu selalu diiringi nyanyian bersuara serak-serak basah yang sexy, sehingga para suami masih membayangkan suatu pergumulan di ranjang yang seru.”
Pak RT memijit-mijit keningnya.
”Terlalu,” batinnya, ”pikiran sendiri kemana-mana, orang lain disalahkan.”
Pengalamannya yang panjang sebagai ketua RT membuatnya hafal, segala sesuatu bisa disebut kebenaran hanya jika dianut orang banyak. Sudah berapa maling digebuk sampai mati dikampung itu dan tak ada seorangpun yang dituntut ke pengadilan, karena dianggap memang sudah seharusnya.
”Begitulah Zus, ” Pak RT sudah berada dihadapan wanita itu lagi. ”Saya harap Zus berbesar hati menghadapi semua ini. Maklumlah orang kampung Zus, kalau sedang emosi semaunya sendiri. ”
Wanita itu lagi-lagi tersenyum penuh pengertian. Lagi-lagi ia menjilati bibirnya sendiri sebelum bicara.
“Sudahlah Pak, jangan dipikir, saya mau pindah ke kondominium saja, supaya tidak mengganggu orang lain.”
Maka hilanglah bunyi jebar-jebur pada jam yang sudah bisa di pastika itu. Ibu-ibu yang sepanjang hari cuma mengenakan daster merasa puas, duri dalam daging telah pergi. Selama ini alangkah tersiksanya mereka, karena ulah suami mereka yang menjadi dingin di tempat tidur, gara-gara membayangkan adegan ranjang seru dengan wanita bersuara serak-serak basah itu.
***
Pada suatu sore, disebuah teras, sepasang suami istri bercakap-cakap.
”Biasanya jam segini dia mandi,” kata suaminya.
”Sudah. Jangan diingat-ingat” sahut istrinya cepat-cepat.
”Biasanya dia mandi dengan bunyi jebar-jebur dan menyanyi dengan suara serak-serak basah.”
”Sudahlah. Kok malah diingat-ingat sih?”
”Kalau dia menyanyi suaranya sexy sekali. Mulut wanita itu hebat sekali, bibirnya merah dan basah. Setiap kali mendengar bunyi sabun menggosok kulit aku tidak bisa tidak membayangkan tubuh yang begitu penuh dan berisi. Seandainya tubuh itu ku peluk dan kubanting ke tempat tidur. Seandainya ..”
Belum habis kalimat suami itu, ketika istrinya berteriak keras sekali, sehingga terdengar sepanjang gang.
”Tolongngngngng! Suami saya berkhayal lagi! Tolongngngngng!”
Ternyata teriakan itu bersambut. Dari setiap teras rumah, terdengar teriakan para ibu melolong-lolong.
”Tolongngngngng! Suami saya membayangkan adgan ranjang lagi dengan wanita itu! Tolongngngngng!”
Suasana jadi geger. Hansip berlari kian kemari menenangkan ibu-ibu. Rupa-rupanya tanpa suara nyanyian dan bunyi byar-byur-byar-byur orang mandi, para suami tetap bisa membayangkan adgan ranjang dengan wanita bersuara serak-serak basah yang sexy itu. Sehingga bisa dipastikan kebahagiaan rumah tangga warga sepanjang gang itu akan terganggu.
Pak RT pusing tujuh keliling. Bagaimana caranya menertibkan imajinasi? Tapi sebagai ketua RT yang berpengalaman, iasegera mengambil tindakan. Dalam rapat besar esok harinya ia memutuskan, agar di kampung itu didirikan fitness centre. Pak RT memutusakan bahwa di fitness centre itu akan diajarkan Senam Kebahagiaan Rumah Tangga yang wajib diikuti ibu-ibu, supaya bisa membahagiakan suaminya di tempat tidur. Pak RT juga sudah berpikir-pikir, pembukaan fitness center itu kelak, kalau bisa dihadiri Jane Fonda.
Kemudian, disepanjang gang itu juga berlaku peraturan baru:

DILARANG MENYANYI DI KAMAR MANDI

                                              
Taman Manggu, 29 Desember 1990
                                             
                           
*) “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi” (1991), harian Suara Pembaruan, 1991, sebagai Kamar Mandi. Dimuat kembali dalam Lembaran Mastera, sisipan Horison, Dewan Sastera (Malaysia) dan Bahana (Brunei Darussalam) untuk Majelis Sastra Asia Tenggara, dokumentasi dari horison No. 2/Januari, 2000

LUPUS “Drakuli Kuper”


   
”Lucu, menggemaskan, bahasanya mudah di mengerti, dan tidak bosan buat dibaca”
Mungkin itulah kata-kata yang bisa saya ungkapkan setelah membaca cerpen Lupus episode ”Drakuli Kuper”. Penggunaan bahasa gaul yang keren dan tidak neko-neko, serta disuguhi hiburan-hiburan yang membuat perut sakit, membuat para pembaca tidak akan bosan membacanya.
Hilman, sang penulis memang jago ngocol. Sudah ratusan buku yang sudah ia bikin. Ada yang bikinnya sendiri dan ada pula yang duet bareng boim. Cerita-cerita yang disuguhkan Hilman memang tiada duanya. Sejak pertama kali karyanya terbit, sudah banyak para pembaca yang terbius. Karena pada era tahun 80-an, baru sedikit karya-karya sastra populer yang keluar. Walaupun ada beberapa yang sudah terbit dan tenar, seperti novel ”Cintaku di Kampus Biru” namun Hilman memberikan sesuatu yang baru dalam karya sastra populer, dan pada akhirnya laku  dan banyak di nikmati oleh para pembaca.
Kembali ke Drakuli Kuper.
Cerpen ini berkisah tentang kehidupan Drakuli yang teramat meyedihkan. Keluarganya sedang di timpa musibah. Rumahnya yang satu-satunya berada di kuburan akan digusus oleh seseorang yang bayar oleh instansi pemerintah. Lahan kuburan tersebut akan dijadikan tempat jual beli, seperti mal-mal besar. Drakuli tidak mau rumah yang merupakan warisan dari nenek moyangnya itu di musnahkan. Dengan bantuan lulu dan lupus akhirnya semuanya bisa diselamatkan. Dengan menyatukan ide-ide gemilang dari mereka, akhrirnya Om Agus, reintenir bajigan itu beserta jajarannya kabur terbirit-birit karena di takuti oleh setan-setan yang merupakan  trik Drakuli cs untuk mengusir para penjahat itu.
Unsur-unsur intrinsiknya antara lain sebagai berikut:
Tokoh dan Penokohan:
-         Lupus : Menyebalkan namun baik hati
-         Lulu : Cerewet, tapi penuh kasih sayang
-         Boim : Item,  rambut keriting, usil
-         Gusur : gendut, doyan makan, usil
-         Drakuli : serem, metal, jarang mandi, baik hati
-         Pak Gali : Bapaknya Drakuli
-         Om Agus : penjahat, orang yang suka sama mamanya lupus
-         Mamanya Lupus : penyayang
Setting/Latar:
- Kuburan (rumah Drakuli)
- Rumah Lupus
- Sekolah
Alur: Maju
Amanat :          
-         Jangan meremehkan rakyat kecil
-         Jangan melihat orang dari luarnya saja, siapa tahu kita salah kira
-         Sayangilah orang tua meskipun terkadang menyebalkan
-         Sahabat adalah diri kita yang kedua




Surat Untuk Gadis Berkaca Mata



5 Januari 2011


Za, aku menulis surat ini agar kamu tahu, agar kamu mengerti, kenapa aku bersikap seperti ini sama kamu.

Firza,
Andai saja kamu datang sebelum aku seperti ini, sebelum aku trauma pada cinta.

Aku senang dicintai kamu, aku senang dimanjain kamu,
dan aku senang kamu menganggap aku sebagai langit, sebagai pelindungmu,
aku suka.

Tapi Za, maafin aku
Tidak semudah itu mengembalikan hati yang sudah sering tersakiti ini
Tidak mudah secepat itu menerima cinta dari orang lain, terutama kamu.

Za, aku pun tidak munafik
Jujur, aku nyaman didekat kamu, aku nyaman disamping kamu
Tapi masa lalu itu masih terus membayang dalam benakku
Aku takut hal itu akan terjadi lagi, cukup rasanya sakit ini mendera batinku.

Za, aku mohon
Tolong beri aku waktu yang panjang untuk menjawab semua ini
Untuk menjawab perasaan kamu.
Semua itu butuh proses, agar aku tahu kepada siapa sebenarnya hati ini akan beradu.

Aku yakin, cinta takkan kemana
Teruslah berjuang, Za!


Dari langitmu, Aray



















Sastra Koran


Pilihan




Pilihan

Apa yang terbesit dalam ruang pikir kita ketika mendengar istilah ”Sastra Koran”? Tentunya gambaran kita adalah ya, sastra koran adalah karya sastra yang dimuat di dalam koran. Definisi tersebut benar, akan tetapi apakah hanya sebatas itu?

Melihat realita yang ada sekarang ini—bahkan sejak dulu, perkembangan sastra sudah sangat massif di berbagai media. Baik media koran, blog, majalah, dan sebagainya. Ya, walaupun hanya seminggu sekali rubrik sastra nongol di koran—itu pun hanya seabatas penghibur saja. Namun penahkah kita menyadari ternyata banyak hal yang perlu kita eksplorasi dari berbagai sumber media tersebut—khususnya disini saya mengupas kumpulan cerpen di media koran. Banyak hal pula yang harus kita saring, agar kita tidak terjebak ke dalam sastra yang menyimpang dari kaidah sastra yang seharusnya.

Bagi saya karya sastra adalah persoalan antara pengarang, pikiran, hati, kata dan kehidupan. Kelima unsur tersebut adalah hal pokok yang selalu terkandung dalam karya sastra. Begitu pun di dalam cerpen. Cerpen adalah prosa. Prosa adalah bercerita. Bercerita melalui kata, pikiran dan hati. Dan ketiga itu (kata, pikiran, dan hati) tidak akan terlepas dari sisi kehidupan kita—meskipun kita mengarang dengan sebebas-bebasnya.

Membaca cerpen dari berbagai media setiap minggu di koran.. Terbesit dalam benak saya, apakah karya sastra harus dikelompokkan seperti ini? Khususnya karya sastra cerpen? Mungkin. Itu jawaban yang ada dalam hati saya. Akan tetapi, kenapa ruang sebuah karya harus di batasi, kenapa tidak diberikan ruang sebebas-bebasnya. Yang terbesit di dalam pikiran saya juga, berarti setiap pengarang apakah harus mengikuti aturan dalam media koran tersebut? Bagi saya hal ini benar-benar harus dipecahkan.

Misalnya saja, cerpen-cerpen yang dimuat di koran Republika lebih menyodorkan karya yang berbau religi, agamis dan santun. Misalnya dalam karya Rifan Nazhif dalam cerpennya ”Gerobak Bakso” (Republika, 6 Juni 2010), menceritakan tentang seseorang yang sering melalaikan salat karena sibuk dengan dagangannya. Dalam kutipannya:
”Ris, kau tak salat dulu? Dengar tuh, sudah adzan!”
Fandy Hutari dalam cerpennya ”Kepura-Puraan” (Republika, 18 Juli 2010), menceritakan tentang kesabaran seorang satpam yang selalu diusik keprofesianya. Dalam kutipannya:
            ”Sabar ya Bu, Serahkan semua urusan kepada Allah. Allah tidak tidur. Allah berserta orang-orang yang sabar.”
Sedangkan di koran Kompas sebaliknya, cerpen-cerpen yang dimuat lebih menyodorkan aura syahwatnya. Bebas tanpa batas. Misalnya saja karya Djenar yang berjudul ”Air” (Kompas, 25 Juni 2006) menceritakan tentang perjuangan seorang ibu saat melahirkan dan membesarkan anaknya. Dalam kutipannya:
Air putih kental itu saya terima di dalam tubuh saya. Mengalir deras sepanjang rongga vagina hingga lengket, liat sudah di indung telur yang tengah terjaga. Menerima. Membuahinya. Ada perubahan di tubuh saya selanjutnya. Rasa mual merajalela. Pun mulai membukit perut saya. Ketika saya ke dokter kandungan untuk memeriksakannya, sudah satu bulan setengah usia janinnya.
Dan ”Gerhana Mata” (Kompas, 20 Mei 2007), menceritakan tentang kerinduan seseorang akan suaminya. Dalam kutipannya:
Namun lagi-lagi perasaan ini terasa asli. Walaupun kami hanya bertemu kala siang, atau kala pagi dan malam yang tak asli. Kalimat di bungkus kondom “ASLI, SERATUS PERSEN ANTI BOCOR” yang kami robek sebelum bercinta pun asli. Hangat kulitnya yang tak berjarak. Gerakan tubuhnya yang sebentar menarik sebentar menghentak. Bunyi ranjang berderak. Jantung keras berdetak. Suara yang semakin lama semakin serak, adalah asli. Membuat saya selalu merasa tak pernah cukup dan ingin mengulanginya kembali.
Eep Saefulloh Fatah ” Cinta pada Sebuah Pagi” (Kompas, 25 Mei 2008), menceritakan tentang hubungan perselingkuhan antara majikan dan pembantunya.Dalam kutipannya:
”Tak apa-apa hidungmu pesek. Lebih baik berhidung pesek tapi dengan dua bukit mancung dan terurus di bawahnya,” kata Arnando sambil menyentuh lembut salah satu bukit yang menjulang di dada Asti, pada sebuah pagi yang lain.
            Tidak hanya dari sifat antara kedua media tersebut saja yang religi dan bebas. Namun masih banyak perbedaan dan pengelompokkan lainnya yang lebih mendasar. Misalnya saja, dalam koran Republika, bahasa yang digunakan lebih ringan dan mudah dipahami. Sebaliknya koran Kompas nampak lebih berat bacaannya. Kata-kata yang disuguhkan penuh dengan metafor dan surealis (absurd), isi cerita terkadang selalu tersembunyi dibalik kata-katanya. Misalnya, dalam cerpen Seno Gumira Adjidarma yang berjudul ”Dodolidodolibret”, Agus Noer dalam cerpennya ”Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia”, atau pun Djenar Maesa Ayu, cerpennya ”Ikan” dalam kutipannya:
Ia ikan yang terbang. Ia burung yang berenang. Dan saya, adalah saksi yang melihat semua itu dengan mata telanjang.
Suatu hal yang benar-benar di luar logika kita.


Subjektivitas Vs Objektivitas

Dimuatnya sebuah cerpen di media massa—khususnya koran, tidak akan terlepas dari beberapa faktor berikut: (a) selera redaktur; (b) hubungan emosional redaktur dengan pengarang; dan (c) kualitas karya (mengikuti perkembangan sastra itu sendiri). Ketiga faktor tersebut kadangkala dapat merugikan pengarang dan kadangkala menguntungkan pengarang yang mengirimkan naskah (cerpen).
Misalnya di Koran Kompas, selera redaktur dan hubungan antara emosional redaktur dengan pengarang terlihat lebih mencolok. Orang-orang yang sudah tenar, semisal Agus Noer, Sori Siregar, Putu Wijaya, Ayu Utami, mudah sekali karyanya di muat. Mungkin mereka dianggap sebagai senior yang karyanya memang pantas dipublikasikan. Padahal, belum tentu kualitas dari karya pengarang di atas semuanya itu bagus dan layak untuk dipublikasikan. Terkadang redaktur tidak sadar, seharusnya redaktur memberikan peluang kepada penulis-penulis muda untuk ikut berkontribusi memajukan perkembangan sastra Indonesia. Saya rasa, yang tua mengalahlah terlebih dahulu barang sejenak. Toh, kalian (para pengarang) sudah berkontribusi banyak dalam perkembangan sastra pada bangsa ini.
Sekiranya kalau karya penulis-penulis muda kurang berkaidah—dalam menulis karya sastra-- maka para penulis seniorlah yang seharusnya membimbing dan membenahi, beri kritik dan saran kepada penulis muda. Hal sepele seperti ini seharusnya jangan didiamkan berlarut-larut. Karena pada dasarnya akan ada regenerasi yang akan membangkitkan gairah karya sastra—khususnya cerpen—di masa mendatang.
Koran Republika pun saya rasa sama, hanya menerima suatu karya pada satu sisi saja—sisi religi. Seharusnya bukalah ruang yang sebebas-bebasnya untuk penulis muda, hindarilah keeogisan dan selektiflah dalam memilih karya (tanpa melihat siapa pengarangnya terlebih dahulu).
Subjektivitas dan objektivitas ini memang sulit dihindari. Keduanya bagai sistem yang saling mengganduli. Terkadang miring ke kiri dan terkadang pula ke kanan. namun keduanya saling melengkapi. Dan pada intinya, inilah fakta yang ada dalam kesusastraan bangsa kita. S—O (kaidah sastra).


Pengarang Tidak Konsisten
Melihat beraneka ragam tipe dalam sastra koran—terutama cerpen. Maka semakin banyak pula pengarang yang tidak konsisten dengan gaya kepenulisannya. Ketika penulis hanya menggeluti satu tipe koran dan ia tidak mampu untuk menggeluti tipe koran yang lainnya, dan karyanya susah dimuat dalam koran tersebut maka imbasnya adalah pada diri penulis itu sendiri—mampus berkarya. Misalnya saja Rifan Nazhif, cerpennya ”Gerobak Bakso” dan ”Suatu Pertemuan” pernah di muat di harian Republika dan Kompas. Dan saya melihat Rifan nampaknya tidak konsisten dengan dirinya. Di satu sisi dia membicarakan sisi religius di dalam cerpen ”Gerobak Bakso” (Republika, 6 Juni 2010), namun disatu sisi ia keluar dari sisi religiusnya dalam cerpen ”Suatu Pertemuan” (Kompas, 22 November 2009). Inilah kelemahan yang tersodorkan dimuka kita (penulis). Coba renungkan, bagaimana kita bisa konsisten jika dalam berkarya kita selalu dituntut untuk mengikuti aturan-aturan dalam koran tersebut. Jika karya kita ingin dimuat di koran Republika otomatis karya kita pun harus sesuai dengan selera Republika—yaitu religius. Jika tidak, maka karya kita pun hanya menjadi sampah yang dibiarkan begitu saja (dalam tanda kutip). Begitupun di koran Kompas, karya religi susah untuk masuk, terkecuali karya tersebut memang sesuai dengan selera redakturnya.
Meyikapi hal tersebut, kita sebagai penikmat—sekaligus penulis—semakin diombang-ombing saja dengan pengelompokkan karya sastra (cerpen) ini. Bukankah gunanya media adalah untuk memudahkan, memfasilitasi ruang penulis. Namun, jika terus menerus begini apa kata dunia?

Lantas, karya sastra (cerpen) seperti apakah yang harus kita pilih?
Menjawab pertanyaan ini sebenarnya mudah sekali. Yakini saja apa yang menurut kita paling benar—dengan syarat tahu dasarnya. Dan pada intinya kita (penulis) hanyalah manusia biasa bukanlah dewa. Kita hanya mencari kebenaran bukan ketenaran. [*]






















Resensi Buku Sastra "Selaksa Makna Cinta" Karya Dang Aji, dkk.













Judul Buku       : Selaksa Makna Cinta
Penulis              : Dang Aji, dkk.
Penerbit            : Pustaka Puitika, Bantul, Yogyakarta
Tahun Terbit     : Oktober 2010
Tebal                : 387 halaman
ISBN               : 978-602-97092-1-6




Selaksa Makna Cinta: Makna yang Belum Terungkap


            Ketika saya membaca sebuah buku antologi cerpen dan puisi Selaksa Makna Cinta atau disingkat SMC ini, tiba-tiba saya jadi teringat dengan tulisan di belakang jilid buku ini, yang tertulis: Antologi ini merupakan kekeyaan tersembunyi, yang tak pernah tersentuh, bahkan tak terlihat oleh penglihatan kita. Namun jauh dari semua yang kita pikirkan, mereka yang tergabung dalam antologi ini merupakan bibit-bibit cerdas yang akan menunjukkan bakat-bakat mereka, hanya saja mereka sedikit terlambat dalam kemunculannya. Bacalah buku ini, Anda akan menemukan bakat-bakat luar biasa dan tidak akan kalah dari seniornya.
            Begitu meyakinkan bukan?
            Ternyata slogan di atas hanyalah sebuah daya tarik tersendiri yang dibuat oleh penerbit supaya pembaca penasaran dengan buku antologi ini. Jujur, ketika saya selesai membacanya rasanya tidak ada kaitannya sama sekali dengan slogan di atas yang begitu meyakinkan itu. Biar tidak penasaran, baiklah akan saya ceritakan saja bagaimana isi buku ini.
            Buku antologi ini merupakan karya dari Dang Aji. dkk. Featuring Akhi Dirman Al-Amin, Anam Khoirul Anam, Ifa Afianty, Riawanati Elyta, dan Riyanto El-Harist. Buku ini terdiri atas tiga kategori, kategori pertama terdiri atas 16 cerpen, kategori kedua  terdiri atas 11 kisah sejati sahabat facebook,  dan kategori terakhir terdiri atas 12 puisi.
            Ketiga kategori ini menceritakan tentang sebuah cinta dan persahabatan. Cinta kepada lawan jenis, suami, istri, kawan sejati, dan Tuhan. Tiap-tiap kategori mencirikan kekhasannya masing-masing.
            Tetapi, kekhasan disini bagi saya banyak yang kurang begitu menarik. Misalnya saja cerpen-cerpen dalam buku ini. Ceritanya kebanyakan klise dan membosankan. Hal-hal yang sudah kebanyakan orang alami diceritakan kembali dengan gaya cerita yang biasa. Misalnya dalam cerpen pertama buku ini yang berjudul “Dan Langitpun Berbias Ungu” karya Riyanto El-Harist, menceritakan tentang seorang Jupri yang ingin merantau ke kota, tapi tidak disetujui oleh ibunya. Tapi akhirnya ia nekat karena ia kasihan dengan adik-adiknya yang cacat itu. Tanpa dia bekerja, adik-adiknya akan makan apa. Di kota Jupri menemukan seorang sahabat yang sangat setia padanya, sayangnya temannya itu pun juga cacat. Hal ini mengingatkan ia pada adik-adiknya, dst…
Dalam cerpen ini ada beberapa keganjalan seperti, logika bercerita, alur/plot, konflik, dan tata cara penulisan (EYD dan tanda baca). Perhatikan penggalan cerita berikut: Tak banyak orang peduli di jam sesibuk itu, semua tak penting membantu orang cacat seperti Ridwan. (SMC, hal: 17), tetapi perhatikan juga penggalan dilembar berikutnya: Pihak aparat kampung setempat memang sengaja menitipkan lelaki kurus itu pada Ridwan. (SMC, hal: 18)
            Bagaimana ceritanya seseorang yang dibenci dan dijauhi, tiba-tiba dipercaya oleh banyak orang. Tidak ada penjelasan pula sebelumnya, kenapa bisa seperti itu. Cerita dalam cerpen ini pun menjadi cacat (teks). Begitu pun dengan alur cerita, menjadi di luar kemasan.
            Berikut juga dengan cerpen-cerpen yang lainnya, seperti dalam cerpen kedua “Julie Juliette” karya Riawani Elyta. Dalam cerpen ini, saya tidak menemukan titik permasalahan. Cerita terlalu datar dan dipaksakan. Serta cara penulisan pun masih asal, misalnya saja dalam tanda baca, masih terdapat banyak tanda baca elipsis (...)  yang diletakkan bukan pada tempatnya. Bahkan ada yang lebih dari lima titik, yang saya sendiri pun tidak tahu apa maksud penulis memberikan tanda elipsis sebanyak itu. Menjadikan tubuh teks semakin kurang indah dan rumit untuk dibaca.
            Begitu juga dengan cerpen “Anjar-Anjar dan Lelana” karya Denny Herdy. Dari paragraf awal pun sudah kurang begitu menarik, membuat saya (pembaca) malas untuk melanjutkannya. Cerpen “Tuhan, Titip Salam Untuk Donna” karya Inni Indarpuri tidak jauh juga isinya dengan cerpen karya Denny, yaitu menceritakan tentang Donna dan Yunita yang sudah bersahabat sejak kecil, tapi diakhir usia mereka berpisah dengan sangat tragis. Cerpen ini begitu bertele-tele. Ada pembagian babak dalam setiap peristiwa yang diceritakan. Tetapi pembagian babak yang ada tersebut tidak fokus pada satu cerita. Ceritanya meluas kesana-kemari. Jika dibilang novel pendek (novelet), mungkin bisa saja dibilang seperti itu. Selain itu dialog-dialog yang tidak penting pun banyak yang ditulis dalam cerpen tersebut secara berulang kali. Seperti, halo, assalamualaikum, dan sebagainya.
Dari sekian banyak cerpen yang saya baca, ada satu cerpen yang menurut saya cukup menarik, yaitu pada cerpen “Mangga Golek Impian” karya Dang Aji—yang merupakan penulis senior dalam buku ini. Cerpen ini menceritakan tentang seorang sahabat yang ingin sekali bertemu dengan sahabatnya yang berada di luar kota. Selama ini mereka hanya bertemu lewat facebook. Tapi akhirnya mereka pun bertemu meskipun harus menghadapi beberapa rintangan. Ending dalam cerpen ini sangat menarik. Tidak mudah terbaca. Mengejutkan. Logika dan alur cerita pun bermain dan mengalir indah. Tidak menggurui, tidak seperti cerpen-cerpen yang lainnya dalam buku ini.
            Untuk kategori yang kedua, yaitu 11 kisah sejati sahabat facebook. Saya hanya membaca sepintas saja. Karena kisah tersebut hanyalah sebuah cerita diary yang klise. Kurang begitu menarik. Dan menurut saya tidak perlu untuk dibahas.
            Langsung saja berpindah ke kategori tiga, yaitu puisi. Ada 12 penyair dalam buku ini. Kedua belas penyair tersebut adalah Adi Saputra, Rusmin Nuryadi, Ardy Kresna, Eka, Kemas, Azkiya, P. Abatasa, Asma Linda, A. Muhir, Bening, Adi, dan Anam. Dari kedua belas penyair tersebut ada beberapa yang sering memenangkan lomba cipta puisi baik lokal maupun nasional. Dan eksistensi mereka pun tergolong aktif dalam sebuah komunitas-komunitas sastra tertentu. Tapi, hal tersebut hanyalah sebuah prestasi yang menurut saya tidak patut untuk dibanggakan. Karena, terdapat banyak hal yang harus digaris bawahi jika ingin mengaitkan antara para penyair dalam buku ini dengan kredibilitas mereka diluar sana.
Dalam buku ini, pemilihan diksi para penyair  menurut saya masih kurang, penulis terlihat terburu-buru, datar, dan pencitraannya tidak tergambar sehingga ruh puisi tidak dapat dirasakan oleh pembaca. Pemilihan metafor-metafor yang artistik pula tidak muncul, sehingga membuat puisi-puisi yang ada dalam buku ini menjadi sepi dan abstrak. Akan tetapi tidak semuanya seperti itu. Ada satu-dua puisi yang sudah cukup mewakili. Misalnya puisi “Rumah Tua di Bulan Senja Kota Kita” karya Bening Sanubari,
            ....
            senja padam
            bulan sabit menggantung
            di teritis tua rumah kita
            : aku menunggumu kembali menjejakkan prasasti tentang renyah tawa
            juga getas tangis yang kita dendangkan dalam riuh pertemanan
            berkisah tentangmu. tentangku. tentang kita.
            di rumah tua kota kita.

            Bening sudah memberikan ruh pada puisi di atas, sehingga puisi tersebut berkesan hidup dan tidak jenuh untuk dibaca serta menimbulkan artistik yang berbeda dari kebanyakan puisi yang lainnya dalam buku ini.
            Kesimpulan saya diakhir tulisan ini adalah bahwa keksistensian seseorang tidak menjamin kualitas karya yang dihasilkan. Banyak membaca adalah kunci menghasilkan karya yang indah.

NB: Jika ada pembaca yang kurang setuju dengan tulisan ini. Saya mohon maaf. Saya hanya mengungkapkan kegelisahan saya pada buku ini. Semoga bermanfaat.




                                                    Penulis:
                                                    Encep Abdullah, Mahasiswa Diksatrasia Untirta.
                                                    Pecinta buku sastra.