Sastra dan Kita

Rabu, 18 Mei 2011

Hidupku sebagai Manusia

Hidupku sebagai Manusia I
: mewakili sebagian orang

Harus berapa kali aku berkata kepada tuhan
Bahwa aku sudah bosan dengan alur kehidupan ini
Tak ada yang beda
Hidup kadangkala absurd, tak masuk akal
Kapan hidup ini seperti orang gila,
Tapi gila yang tak gila!
Kampret!

Mei, 2011


Hidupku sebagai Manusia II

semenjak sebagian otakku hilang di masjid
hidup kadangkala seperti seorang gadis kecil
yang kehilangan orang tuanya di stasiun kereta api
“mana bapakku…?!”
“mana ibuku…?!”
Lantas ia tersesat

Mei, 2011

Sabtu, 07 Mei 2011

UDIN (Si Penjual Jengkol)

Cerpen: Aray Rayza Alisjahbana


Meskipun masih pagi, namun terik matahari begitu menyengat di tubuh Udin. Seperti biasa setiap pagi ia membawa dagangannya itu dengan sebuah gerobak yang sudah agak reyot. Ya, seperti gerobak yang dibawa oleh para pedagang-pedagang sayur keliling. Persis seperti itu. Dan yang harus kamu tahu, setiap kali gerobak Udin itu melewati orang-orang di sekitarnya, bagi yang tidak biasa mencium baunya maka siap-siap saja untuk menutup hidung. Karena bisa menyebarkan aroma yang kurang menyegarkan.
Semenjak tiga hari belakangan ini, dagangannya memang sedang sedikit pembeli. Ya, mau bagaimana lagi, orang-orang tidak mungkin membeli dagangannya itu setiap hari. Bisa-bisa toilet menjadi seperti semur jengkol. Ya, mungkin. Nyatanya Udin memang seorang pedagang jengkol.
Ini adalah warisan turun-temurun dari kakeknya. Ayahnya, sembilan tahun lalu meninggal akibat kecelakaan—tertabrak mobil saat mendorong gerobak ke pasar— dan kini Udinlah yang menggantikan posisi ayahnya sekaligus menjadi ujung tombak keluarganya. Adik-adiknya yang masih sekolah dasar dan sekolah menengah sangat membutuhkan bantuannya. Ibunya, hanyalah seorang tukang cuci baju di kampungnya. Memang lumayan berat bagi Udin berjualan seperti ini. Dia meninggalkan sekolah menengahnya gara-gara ini. Padahal waktu itu ia sebentar lagi akan ujian akhir sekolah. Harapannya pupus seketika. Kini cita-citanya untuk sekolah ke yang lebih tinggi hanya menjadi khayalan saja dalam hidupnya.
Udin istirahat sebentar di sebuah warung kecil. Baru saja tiga puluh menit ia melangkahkan kakinya dari rumah, tapi ia sudah terlihat lelah. Ya, tubuhnya yang kurus itu memang terlalu memaksakan. Wajahnya sudah agak lusuh. Tapi secara fisik, ia terimbangi dengan postur tubuhnya yang tinggi dan berhidung mancung, sehingga membuatnya tidak terlalu seperti orang kampungan. Hehe...
Tiga puluh menit kemudian, akhirnya Udin pun sampai ditempat ia berjualan. Di Pasar Rau. Pasar yang fenomenal di Kabupaten Serang. Pasar yang kecil, sumpek, agak kumuh. Sampah berserakan di mana-mana. Tapi anehnya banyak sebagian orang kantoran bahkan para pejabat yang membeli barang-barang ditempat itu. Malah tempat itu menjadi pusat penjualan toko-toko emas di wilayah Serang. Udin hanya menggeleng-geleng kepala saja jika ia mencoba membandingkan antara emas-emas itu dengan jengkol-jengkol dagangannya.
“Andai saja jengkol-jengkol ini adalah emas,” ujarnya dengan wajah yang agak memelas. Jengkol-jengkol itu di koyak-koyaknya seperti beras.
“Tolong...! toloong...! copeeet...!” Tiba-tiba saja terdengar teriakan seorang wanita dari arah belakang Udin.
“Mas, copet Mas...!” wanita itu menepuk bahu Udin saat ia melintas ke arahnya. Udin pun langsung ikut mengejar copet itu bersama warga pasar. Dagangannya ia tinggalkan.
Beberapa saat kemudian.
“Ini Mbak, dompet dan kalung Mbak,” Udin menyerahkan barang-barang itu setelah pencopet itu benar-benar sudah tidak berdaya di keroyok warga pasar.
“Coba dilihat lagi Mbak, takut ada yang kurang,” ujarnya lagi. Wanita itu mengecek kembali isi dompetnya.
“Lengkap kok Mas. Makasih yah Mas. Ini buat Mas!” Wanita itu menyodorkan dua lembar uang ratusan ribu pada Udin.
“Waduh Mbak, nggak usah repot-repot. Biar Tuhan yang membalas semua ini.” Lalu wanita itu pun memasukkan kembali uangnya dalam dompet.
“Sekali lagi makasih yah Mas.” Ujar wanita itu, lalu ia pun menghilang dari wajah pasar setelah ia menaiki mobil Honda Jazz-nya.
Tiba-tiba seraut wajah Udin sontak kaget ketika ia melihat dagangannya berserakan. Jengkol-jengkolnya bececeran di tanah.
“Sana kamu pergi! Dasar orang gila!” sentaknya, orang gila setengah telanjang itu pun kabur terbirit- birit.
“Ya Tuhan kenapa jadi seperti ini” ujarnya sambil memunguti jengkolnya itu di tanah yang basah.
***
Di meja ruang tengah—ruang tivi— itu berserakan beberapa bungkus makanan. Ada dua bungkus kacang Garuda yang bungkus atasnya tersobek setengah. Salah satu isi bungkus kacang itu hampir habis. Sedang isi bungkus yang satunya lagi tinggal setengah. Sisa-sisa kulit kacang itu dibuang disisi kiri bungkusnya. Sedangkan makanan yang lain—chitato, cokelat, pilus, dll.— masih utuh disimpan dalam plastik putih bermerek Indomaret di bawah meja.
Di sofa, Iza sedang membaca sebuah majalah Gadis edisi Desember. Ia tiduran terbaring sambil kedua kakinya disilangkan. Rambut Iza yang panjang itu sebagian menyentuh paha Ibunya yang duduk di sofa samping kirinya. Ibunya memandangnya dengan penuh tanda tanya.
“Kapan kamu menikah Za?” Tanya ibunya tiba-tiba malam itu sambil memegang remot tivi.
“Gak tahu mah, belum ketemu cowok yang cocok buat Iza. Semua yang pernah dekat sama Iza sama saja, penjahat.”
“Kenapa nggak berusaha mencari lagi?”
“Ah, biar sajalah Mah, nanti juga ketemu sendiri.”
“Za, Mama malu dengan ejekan teman-teman arisan mama. Sebagian dari mereka ada yang punya anak seusia kamu. Anak-anak mereka sudah menikah dan sudah punya momongan. Kata salah satu dari mereka, kok belum punya cucu juga sih Jeng? Kapan anakmu menikah? Mama kan jadi malu. Mau disimpan di mana muka mama kalau kamu terus-terusan begini.”
“Terus?” Tanya Iza sambil menoleh ke mamanya.
“Ya kamu harus ¬cepat-cepat menikah.”
“Huh, Nyebeliin...!” Iza membanting majalahnya ke meja. Sisa-sisa kulit kacang berserakan dan bungkusnya jatuh ke lantai. Ia pergi menuju kamar.
Ya, memang sedari dulu mamanya menginginkan anak semata wayangnya itu untuk segera menikah. Mungkin sejak ia lulus dari Sekolah Menengah Atas. Tapi Iza menolak permintaan mamanya itu mentah-mentah. Memang, setelah kepergian sang kekasihnya itu dari hidupnya, Iza menjadi sensitif seperti ini. Kini Iza tengah berkuliah di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Kota Serang. Saat ini Ia sudah memasuki semester lima. Ya, lumayan dengan seusianya yang sudah menginjak dua puluh satu-an itu, mungkin sudah layak untuk menikah. Tapi menurutnya untuk persoalan yang satu ini tunggu dulu. Menunggu waktu yang tepat.
Iza masih mengurung diri di kamarnya. Ibunya yang sudah tiga, empat kali mengetuk-ngetuk pintu kamarnya, tidak dihiraukannya. Di kamar, Iza menindih wajahnya dengan bantal. Sampai akhirnya ia pun tertidur pulas dengan air matanya yang menempel basah di bantal itu.
***
Usai kuliah Iza kembali menuju ke pasar Rau. Seperti biasa ia ingin membeli pulsa ke tempat langganannya itu. Kini Ia bersama Ani, teman sekelasnya.
“Tahu nggak An, kemarin aku sempat kecopetan di tempat ini. Untung copet itu tertangkap. Coba kalau nggak, bisa-bisa aku digampar sama mamah, karena kalung dan isi dompetku raib oleh pencopet itu.”
“Terus siapa yang nolongin kamu Za?”
“Abang tukang jengkol.”
“Tukang Jengkol?” Ani mengerutkan kening saat mendengar jawaban Iza.
“Eh... eh... An... An... itu dia orangnya. Iya, itu Abang jengkol yang nolongin aku waktu itu.” Ujar Iza tiba-tiba sambil menujuknya, lalu ia membelokkan setir mobilnya ke arah parkiran. Ani menoleh-noleh ke kaca belakang mobil, saat mobil yang ditumpanginya itu melewati dagangan si abang tukang jengkol.
Iza dan Ani berjalan menghampiri Udin. Mereka berdua berjalan agak cepat. Udin yang sedari pagi menunggu dagangannya itu sedang asik merokok di warung sebelah dagangannya. Dengan mengenakan topinya yang bulat itu, ia terlihat seperti orang yang hendak mau mancing saja. Ia memiringkan topinya ke sebelah kiri sambil mengangkat kaki kanannya di atas paha kirinya.
Seketika mata Udin menatap tajam dua perempuan yang hendak mau menghampirinya itu. Salah satu dari mereka sepertinya tidak begitu asing di matanya. Iza dan temannya yang menghampirinya itu mengenakan baju agak ketat, mencairkan suasana abang-abang tukang becak yang mangkal disitu. Abang-abang becak saling berbisik.
“Melihat dua gadis itu, saya pengen cepet-cepet pulang ke rumah nih.”
“Dasar keong racun.”
“hahaha...”
Iza dan Ani pun semakin dekat menghampiri Udin. Udin membuang puntung rokoknya. Udin pun berdiri.
“Mbak? Mbak yang waktu itu kecopetan di sini itu yah?”
“Masih inget Bang?”
“Ya masih dong Mbak. Masa perempuan secantik Mbak saya lupa.”
“Ah, Abang bisa aja. Oh iya, kenalin bang ini teman saya. Ani.”
Akhirnya di warung itu, mereka pun duduk dan bercakap-cakap sambil menyeruput teh manis dan sepiring roti. Iza dan Ani bertanya-tanya tentang kehidupan Udin. Sesekali percakapan mereka pun terselingi oleh beberapa orang yang membeli dagangan Jengkol Udin. Iza dan Ani begitu terharu mendengar semua kisah Udin. Dari kehidupan keluarganya, kepribadiannya, hingga cita-citanya yang putus di ambang pintu itu.
“Yang sabar yah Bang, semuanya sudah digariskan oleh Tuhan.” Ujar Ani sambil memoleskan tisu dipipinya.
Usai percakapan itu akhirnya mereka berpisah. Iza lupa dengan dirinya yang ingin membeli pulsa. Emosinya terbawa oleh kisah Udin tadi. Iza dan Ani pun melangkahkan kakinya menuju mobil. Namun ketika hendak mau membuka pintu mobil tiba-tiba Iza balik arah lalu menghampiri Udin kembali.
“Bang, dagangannya saya beli semuanya yah?!”
“Emang buat apa Mbak?” Tanya Udin agak bengong.
“Buat tetangga saya yang mau nikahan Bang.”
Udin tidak mampu menolaknya. Wajahnya begitu sumringah. Baginya, mungkin hari itu adalah rezeki yang sudah diberikan oleh Tuhan padanya. Udin membungkus jengkol-jengkolnya itu dalam karung, lalu membawakannya ke bagasi belakang mobil Iza.
“Terimakasih yah Mbak.” Ujar Udin sambil menganggukkan kepalanya di sisi kanan pintu mobil Iza. Iza membuka kaca mobilnya perlahan dan menjawabnya dengan anggukan kepala juga. Lalu Iza pun menancapkan gas mobilnya.
“Katanya mau beli pulsa, kok malah beli jengkol? Aneh. Emang siapa tetangga kamu yang mau nikahan?” tanya Ani dua menit kemudian.
“Nggak tahu, tetangga yang mana kali. Hehe... aku hanya kasian saja dengan Bang Udin dan keluarganya, itu saja.”
“Oh.” Ani menangguk pelan, kemudian memalingkan wajahnya ke arah kiri, menatap matahari senja yang akan segera tenggelam.
***
Di kamarnya, entah mengapa bayangan Udin masih begitu terngiang di pikirannya. Semenjak percakapan sore itu, sikap Iza memang agak sedikit aneh. Seraut wajahnya sepertinya begitu menyimpan beribu empati pada sosok Udin itu. Entah apa yang membuatnya seperti ini.
“Bang Udin, aku begitu terharu dengan semangat Abang. Dengan perjuangan Abang dalam menafkahi diri Abang dan keluarga Abang. Tidak semua laki-laki yang seumuran Abang bisa berpikir sejauh ini. Kebanyakan lelaki hanya ingin mendapatkan kesenangan saja. Tapi Abang, begitu berbeda. Bang Udin? Kok tiba-tiba kamu mengingatkanku dengan wajah seseorang yang pernah aku kenal. Ya, Dion namanya. Tapi lelaki itu sudah tiada dua tahu silam. Aku sangat merindukannya. Dan kini aku menemukannya kembali pada seraut wajah dan hatimu Bang Udin.”
“Izaa...! Apa-apaan ini! Kok bagasi mobil jadi bau begini.” Tiba-tiba teriak mamanya dari luar rumah. Iza pun langsung keluar dari dalam kamar.
“Iya mah, kenapa?”
“Apa ini?” sambil menutup hidungnya.
“Itu jengkol Mah”
“Jengkol? Buat apa?”
“Ya, buat apa aja. Kasih kucing juga nggak apa-apa.”
“Ah, kamu ini ada-ada saja! Bejoo... tolong buang sampah-sampah ini dari mobil!” Tak lama kemudian, sesosok pembantu culun itu pun keluar dari dalam rumah.
“Kok dibuang sih mah?”
“Udah, diam kamu!” bentak ibunya. Iza agak cemberut, lalu ia pun kembali masuk ke kamar.
***
Sebulan ini Iza merasa ada sesuatu yang aneh dengan dirinya. Semenjak kenal dengan Udin, Iza benar-benar tidak mampu melupakan bayangannya. Apalagi belakangan ini Iza selalu main ditempat Udin usai jam kuliahnya.
Mereka sudah semakin akrab saja. Kadang sesekali Iza mencubit pipi Udin. Mereka lupa dengan status mereka masing-masing. Udin, lupa dengan statusnya sebagai penjual jengkol. Iza pun sama, lupa dengan statusnya sebagai anak seorang penjual emas.
“Abang, Mas, aduh enaknya panggil apa yah?”
“Abang saja.”
“Oh iya Bang, saya boleh nanya nggak?”
“Nanya apa?”
“Bang, selama ini perasaan abang bagaimana sih sama Iza?
“Perasaan apa yah Mbak? Saya tidak mengerti.”
“Ya perasaan abang sama Iza. Bang, Iza suka sama abang.”
“Apa? Suka? Ah, Mbak ada-ada saja. Masa Mbak secantik ini suka sama orang seperti saya. Sudah bau jengkol pula.”
“Panggil saya Iza saja yah Bang.”
Percakapan sore itu akhirnya membuahkan hasil.
Esok hari, Iza mempekenalkan Udin pada mamanya. Ia sudah tidak tahan dengan ocehan mamanya itu, agar ia cepat menikah.
“Mah, kenalin, ini Udin. Pacar saya. Sekaligus calon menantu mama. ” Ujar Iza memperkenalkan Udin di sofa ruang tamu. Mamanya sedari tadi memerhatikan seraut wajah Udin dan pakaiannya. Dari ujung kaki hingga ujung kepala.
“Udin? Calon menantu?” Tanya mamanya.
“Iya mah calon menantu mama.”
“Ya, Tuhan akhirnya Engkau mengabulkan juga doa saya. Akhirnya anak saya menikah juga.” Seketika seraut wajah mamanya sumringah.
“Udin, kamu kerja apa?” Tanya mama Iza kemudian.
“Pedagang Jengkol Bu.” Jawab Udin dengan suara melemah sambil menundukkan kepala.
“Apa? Pedagang Jengkol? Jangan jangan yang kemarin itu jengkol dari kamu yah?!” tiba-tiba wajah sumringat itu berubah seketika.
“Iya mah, itu dari dia.”
“Apa?! Sekarang juga kamu keluar! Keluar dari rumah saya! Saya tidak mau rumah saya bau jengkol! Saya tidak suka denga jengkol!” tiba-tiba mamanya Iza berubah seperti harimau, ganas dan liar. Ia berdiri sambil menunjuk-nunjuk wajah Udin. Udin hanya menunduk malu. Lalu Ia pun pergi.
“Mamah apa-apa sih!” Iza keluar menyusul Udin.
“Bang, tunggu Bang! Mau kemana? Maafin mama saya Bang.” Tapi langkah Iza dihalang oleh Bejo.
“Tahan dia, bawa ke kamar!” suruh mamanya pada Bejo.
Seraut wajah pedagang jengkol itu pun hilang dari tatapan mama Iza di sisi pintu.
“Jangan pernah kembali lagi ke sini!” Ujarnya.
***
Seusia kuliah seperti biasa Iza menghampiri Udin. Ia meminta maaf atas segala perlakuan mamanya itu kemarin.
“Iya, tidak apa-apa kok Mbak.”
“Tapi Bang, saya mau hidup sama abang. Saya nggak mau pulang. Izinkan saya tinggal bersama abang.”
“Tinggal sama saya Mbak? Aduh, nanti mamanya situ nyariin lagi. Kasihan Mbak.”
“Abang nggak kasihan sama saya?!” Iza sedikit mengambek.
Akhirnya Iza pun di bawa pulang ke rumah Udin. Udin tidak bisa berbuat apa-apa lagi, walaupun dalam hatinya ia tidak mau melakukan ini.
Sudah dua hari Iza bermalam di rumah Udin. Ia senang dengan adik-adik Udin yang kecil dan lucu. Iza memang tidak punya adik. Kadang ia sangat merasa kesepian di rumahnya. Apalagi sepeninggal ayahnya dua tahun lalu karena strok. Dirumahnya ia hanya ditemani sepasang boneka donal bebek berwarna pink.
“Non, orang tua Non pasti khawatir dengan keadaan Non.” Ujar Ibunya Udin.
“Biarin saja Bu. Mama tidak pernah mengerti dengan keinginan anaknya.”
“Lama-lama di sini nanti badan Non semakin bau jengkol lagi.”
“Nggak apa-apa kok Bu. Saya senang di sini, rame.” Ujarnya sambil bermain dengan adiknya Udin yang bungsu.
“Oh iya, bang Udin kemana kok ngak kelihatan?”
“Lagi di kebun pak Hasyim. Ia memotong rumput di situ.”
“Emang nggak jualan jengkol yah Bu?”
“Katanya, dia tidak mau, takut nantinya Non ketahuan ada di sini.”
“Aduh, jadi nggak enak.”
“Sudah Non, enggak apa-apa.”
Di rumah reyot itu mereka lama berbincang. Sebenarnya Iza merasa tidak enak jika harus berlama-lama di tempat Udin. Tapi, ia juga bingung. Ia sudah terlena pada Udin. Entah apa yang membuatnya nekad begini. Kasihan kah? Karena Udin mirip kekasihnya kah? Atau karena mamanya? Hanya hati Iza yang benar-benar tahu perasaan itu.
“Izaa... Izaa...! Keluar kamu!” tiba-tiba terdengar suara dari luar rumah. Iza yang masih berbincang dengan ibu Udin seketika berhenti.
“Sepertinya saya kenal suara itu.” ujar Iza.
“Izaa... Izaaa...!” suara itu semakin mengeras dari luar. Seisi rumah itu pun keluar semua menghampiri suara itu.
“Mama? Kok bisa kesini?” Iza tidak percaya setengah mati kalau mamanya tu ada di depan matanya. Ia mengusap-usap kembali matanya. “Iya, ini bener-bener Mamah?” Lalu ia pun menelan ludah dalam-dalam.
“Kenapa? Kamu nggak percaya kalau mamah bisa kesini? Hah!” kedua tangannya diletakkan di sisi pingganynya.”Bejoo... bawa pulang anak ini!” suruh mamanya Iza.
Ibunya Udin hanya bisa melongo, tidak bisa berbuat apa-apa.
“Eh, Bu mana anak kamu si Udin itu? Seenaknya saja bawa anak saya kabur! Malah di rumah jelek kayak gini lagi.” Ejek mamanya Iza. “Bisa-bisa saya lapor polisi!” ujarnya lagi.
“Eh.. eh.. ada apa ini? Rame bener?” tiba-tiba Udin datang sambil membawa sebuah golok tajam. “Ibu? Kok bisa kesini?” ujarnya lagi, Udin agak terkaget.
“Wah kamu sudah ngajak berantem yah, sudah bawa golok begitu? Ok! Bejoo... cepat lapor polisi! Bilang kalau anak jengkol ini telah menculik anak saya...!” Cepetan...!” Bejo pun pergi dengan sebuah mobil hitamnya.
“Bu, saya tidak berniat begini sama anak ibu...”
“Sudah! Sudah! Jangan banyak bicara! Orang sudah jelas begini.”
“Mah, saya yang minta tinggal sama dia, bang Udin tidak salah.” Ujar Iza sambil di pegang dua bodigar mamanya yang gemuk-gemuk.
“Sudah! Diam kamu! Pokoknya mama nggak setuju kalau kamu harus kawin sama dia.”
“Bukannya mamah sendiri yang ingin Iza cepat menikah?”
“Ya. Tapi bukan sama orang seperti ini. Kayak nggak ada orang yang lebih kaya dan lebih ganteng saja!” Iza pun terdiam.
Selang dua puluh menit. Polisi dan pasukannya pun datang. Iza, dan keluarga Udin tidak bisa berbuat apa-apa lagi saat Udin di borgol dan di bawa ke mobil tahanan.
“Pak, saya tidak bersalah Pak, Pak!” Lirih Udin. Tapi tetap saja polisi itu tidak menghiraukannya.
Iza, Ibunya Udin beserta adik-adiknya menangis di sisi pintu. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa.
***
Esok hari, Iza hanya diam membisu di kamarnya. Ia masih terus menangis. Tidak kuliah. Tidak mau makan.



Biodata Penulis:

Kenalin, nama aye Aray Rayza Alisjahbana. Tapi sebenernye nama asli aye Encep Abdullah. Aye lagi demen nih nulis cerpen. Ya, semenjak SMA sih sebenarnye. Walupun karya-karya aye masih kayak ceker ayam, tapi aye tetep semangat untuk terus berkarya.
Aye mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa ato disingkatnye UNTIRTA. Tahu ndak? Itu loh yang kampusnya di samping terminal Pakupatan Kota Serang-Banten. Ya udeh pokoke itulah. He..he.. Aye Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Kunjungi blog aye yah: www.pengarangtakpernahmati.blogspot.com
E-mail: encepabdullah@rocketmail.com
FB: Aray Pujangga