Sastra dan Kita

Selasa, 18 Januari 2011

Cerpen Flash Fiction : Gusti



              Wajah Gusti memang cacat. Orang-orang menganggap bahwa orang cacat itu hatinya juga pasti cacat. Persepsi inilah yang membuatnya rendah diri. Wajahnya cacat bermula ketika ia berumur 10 tahun, ia terkena tumpahan air panas ketika ibunya memasak air di dapur. Gusti yang saat itu menduduki kelas 5 SD, meminta berhenti sekolah pada ayahnya. Ia malu dengan wajahnya yang buruk rupa.
 “Gusti, si Indah pasti gak bakalan suka sama kamu lagi, karena wajah kamu kayak monster...” ejek Akbar, musuh beratnya di sekolah. Sejak itu, Ia pun tidak mau lagi bermain ke luar rumah.
***
            “Gusti, sekarang kamu sudah dewasa, umurmu sudah 25 tahun, lihat wajah kamu juga sudah tua begitu.. he he. Sudah saatnya kamu itu berumah tangga. Jangan di rumah saja.” Tegur ayahnya yang melihat anaknya hanya bisanya tiduran saja di kamar.
            Mungkin Gusti pun merasa apa yang dikatakan ayahnya itu benar, dia pun merasa membutuhkan seseorang yang bisa menghangatkan tubuhnya ketika dingin. Tapi ia masih tidak berani untuk keluar rumah. Ayahnya kesal dengan sikap Gusti, karena ayahnya sudah tidak sabar ingin cepat-cepat punya cucu.
***
            “Gusti... ke ruang tamu sebentar!” suruh ayahnya sore itu. Gusti masih terlihat seperti anak kecil yang masih disuruh-suruh saja, tidak sebanding dengan tubuhnya yang besar dan gagah itu.
            “Iya Pak...” jawab Gusti bersiap keluar dari kamarnya.
            Seketika Gusti kaget, ketika tahu ayahnya membawa seorang gadis di ruang tamu. Gusti berbalik arah. Tapi ia pun ditarik Ibunya dari belakang. Gusti pun duduk di sofa sambil menutup wajahnya.
            “Gusti, ini Ani, gadis yang pernah suka sama kamu waktu SD. Bapaknya bilang sama ayah kalau ia memendam perasaan sama kamu dari dulu, meskipun Ani tahu wajah kamu seperti itu tapi dia masih tetap cinta sama kamu.”
            “Terus?”
            “Ayah ingin cepet punya momongan!”
            “Maaf An, aku tidak bisa.” Gusti kembali ke kamarnya.
            “Gustiii....” teriak Ibunya.
            “Pokoknya aku nggak mau, aku adalah si buruk rupa.”
***
            Dua minggu kemudian.
            “Gusti... keluar ke ruang tamu sebentar, ada yang ingin ketemu sama kamu
”suruh ayahnya malam itu.
            “Siapaaa....? Ah gak mau...! pasti mau dijodohin lagi.”
            “Indah namanya.”
            “Indah? Indah orang yang aku suka waktu SD? Kok bisa kesini dia. Ya Tuhan terima kasih, ternyata jodoh gak kemana.” Ujarnya, seketika ia bangkit dari tempat tidurnya. Ia pun langsung menuju ruang tamu. Sebelumnya Gusti merapihkan dulu rambut dan pakaiannya.
            “Indah...?” Ujar Gusti tak percaya. Ia perhatikan Indah dengan seksama. Ia lupa dengan wajahnya yang buruk rupa itu. Terlihat begitu percaya dirinya ia memandang Indah.
            Indah yang tadi menunduk seketika memandang wajah Gusti. Sontak Indah kaget melihat wajah Gusti. Darah disekujur tubuhnya seperti naik ke puncak kepala.
            “Maaf Pak, sepertinya saya salah orang. Permisi...” Indah pun pamit pada ayahnya Gusti. Keluar begitu saja.
            Gusti hanya tercengang. Ia baru ingat akan rupa wajahnya.
            “Indaaaaah....!” Jeritnya.
***
            Tiga tahun kemudian.   
            “Gusti... keluar ke ruang tamu sebentar!” suruh ayahnya yang tahu kalau anaknya itu sedang melamun di kamar.
            “Ada yang ingin bertemu sama kamu.”
            “Siapa?”
“Indah.”
“POKOKNYA AKU TIDAK MAU KAWIN. AKU SI BURUK RUPA.” Teriak Gusti dari kamarnya.
            Indah pun pergi, padahal dialah Indah yang sesungguhnya.

Januari 2011
           
                       


Tidak ada komentar:

Posting Komentar