Pilihan |
Pilihan
Apa yang terbesit dalam ruang pikir kita ketika mendengar istilah ”Sastra Koran”? Tentunya gambaran kita adalah ya, sastra koran adalah karya sastra yang dimuat di dalam koran. Definisi tersebut benar, akan tetapi apakah hanya sebatas itu?
Melihat realita yang ada sekarang ini—bahkan sejak dulu, perkembangan sastra sudah sangat massif di berbagai media. Baik media koran, blog, majalah, dan sebagainya. Ya, walaupun hanya seminggu sekali rubrik sastra nongol di koran—itu pun hanya seabatas penghibur saja. Namun penahkah kita menyadari ternyata banyak hal yang perlu kita eksplorasi dari berbagai sumber media tersebut—khususnya disini saya mengupas kumpulan cerpen di media koran. Banyak hal pula yang harus kita saring, agar kita tidak terjebak ke dalam sastra yang menyimpang dari kaidah sastra yang seharusnya.
Bagi saya karya sastra adalah persoalan antara pengarang, pikiran, hati, kata dan kehidupan. Kelima unsur tersebut adalah hal pokok yang selalu terkandung dalam karya sastra. Begitu pun di dalam cerpen. Cerpen adalah prosa. Prosa adalah bercerita. Bercerita melalui kata, pikiran dan hati. Dan ketiga itu (kata, pikiran, dan hati) tidak akan terlepas dari sisi kehidupan kita—meskipun kita mengarang dengan sebebas-bebasnya.
Membaca cerpen dari berbagai media setiap minggu di koran.. Terbesit dalam benak saya, apakah karya sastra harus dikelompokkan seperti ini? Khususnya karya sastra cerpen? Mungkin. Itu jawaban yang ada dalam hati saya. Akan tetapi, kenapa ruang sebuah karya harus di batasi, kenapa tidak diberikan ruang sebebas-bebasnya. Yang terbesit di dalam pikiran saya juga, berarti setiap pengarang apakah harus mengikuti aturan dalam media koran tersebut? Bagi saya hal ini benar-benar harus dipecahkan.
Misalnya saja, cerpen-cerpen yang dimuat di koran Republika lebih menyodorkan karya yang berbau religi, agamis dan santun. Misalnya dalam karya Rifan Nazhif dalam cerpennya ”Gerobak Bakso” (Republika, 6 Juni 2010), menceritakan tentang seseorang yang sering melalaikan salat karena sibuk dengan dagangannya. Dalam kutipannya:
”Ris, kau tak salat dulu? Dengar tuh, sudah adzan!”
Fandy Hutari dalam cerpennya ”Kepura-Puraan” (Republika, 18 Juli 2010), menceritakan tentang kesabaran seorang satpam yang selalu diusik keprofesianya. Dalam kutipannya:
”Sabar ya Bu, Serahkan semua urusan kepada Allah. Allah tidak tidur. Allah berserta orang-orang yang sabar.”
Sedangkan di koran Kompas sebaliknya, cerpen-cerpen yang dimuat lebih menyodorkan aura syahwatnya. Bebas tanpa batas. Misalnya saja karya Djenar yang berjudul ”Air” (Kompas, 25 Juni 2006) menceritakan tentang perjuangan seorang ibu saat melahirkan dan membesarkan anaknya. Dalam kutipannya:
Air putih kental itu saya terima di dalam tubuh saya. Mengalir deras sepanjang rongga vagina hingga lengket, liat sudah di indung telur yang tengah terjaga. Menerima. Membuahinya. Ada perubahan di tubuh saya selanjutnya. Rasa mual merajalela. Pun mulai membukit perut saya. Ketika saya ke dokter kandungan untuk memeriksakannya, sudah satu bulan setengah usia janinnya.
Dan ”Gerhana Mata” (Kompas, 20 Mei 2007), menceritakan tentang kerinduan seseorang akan suaminya. Dalam kutipannya:
Namun lagi-lagi perasaan ini terasa asli. Walaupun kami hanya bertemu kala siang, atau kala pagi dan malam yang tak asli. Kalimat di bungkus kondom “ASLI, SERATUS PERSEN ANTI BOCOR” yang kami robek sebelum bercinta pun asli. Hangat kulitnya yang tak berjarak. Gerakan tubuhnya yang sebentar menarik sebentar menghentak. Bunyi ranjang berderak. Jantung keras berdetak. Suara yang semakin lama semakin serak, adalah asli. Membuat saya selalu merasa tak pernah cukup dan ingin mengulanginya kembali.
Eep Saefulloh Fatah ” Cinta pada Sebuah Pagi” (Kompas, 25 Mei 2008), menceritakan tentang hubungan perselingkuhan antara majikan dan pembantunya.Dalam kutipannya:
”Tak apa-apa hidungmu pesek. Lebih baik berhidung pesek tapi dengan dua bukit mancung dan terurus di bawahnya,” kata Arnando sambil menyentuh lembut salah satu bukit yang menjulang di dada Asti, pada sebuah pagi yang lain.
Tidak hanya dari sifat antara kedua media tersebut saja yang religi dan bebas. Namun masih banyak perbedaan dan pengelompokkan lainnya yang lebih mendasar. Misalnya saja, dalam koran Republika, bahasa yang digunakan lebih ringan dan mudah dipahami. Sebaliknya koran Kompas nampak lebih berat bacaannya. Kata-kata yang disuguhkan penuh dengan metafor dan surealis (absurd), isi cerita terkadang selalu tersembunyi dibalik kata-katanya. Misalnya, dalam cerpen Seno Gumira Adjidarma yang berjudul ”Dodolidodolibret”, Agus Noer dalam cerpennya ”Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia”, atau pun Djenar Maesa Ayu, cerpennya ”Ikan” dalam kutipannya:
Ia ikan yang terbang. Ia burung yang berenang. Dan saya, adalah saksi yang melihat semua itu dengan mata telanjang.
Suatu hal yang benar-benar di luar logika kita.
Subjektivitas Vs Objektivitas
Dimuatnya sebuah cerpen di media massa—khususnya koran, tidak akan terlepas dari beberapa faktor berikut: (a) selera redaktur; (b) hubungan emosional redaktur dengan pengarang; dan (c) kualitas karya (mengikuti perkembangan sastra itu sendiri). Ketiga faktor tersebut kadangkala dapat merugikan pengarang dan kadangkala menguntungkan pengarang yang mengirimkan naskah (cerpen).
Misalnya di Koran Kompas, selera redaktur dan hubungan antara emosional redaktur dengan pengarang terlihat lebih mencolok. Orang-orang yang sudah tenar, semisal Agus Noer, Sori Siregar, Putu Wijaya, Ayu Utami, mudah sekali karyanya di muat. Mungkin mereka dianggap sebagai senior yang karyanya memang pantas dipublikasikan. Padahal, belum tentu kualitas dari karya pengarang di atas semuanya itu bagus dan layak untuk dipublikasikan. Terkadang redaktur tidak sadar, seharusnya redaktur memberikan peluang kepada penulis-penulis muda untuk ikut berkontribusi memajukan perkembangan sastra Indonesia. Saya rasa, yang tua mengalahlah terlebih dahulu barang sejenak. Toh, kalian (para pengarang) sudah berkontribusi banyak dalam perkembangan sastra pada bangsa ini.
Sekiranya kalau karya penulis-penulis muda kurang berkaidah—dalam menulis karya sastra-- maka para penulis seniorlah yang seharusnya membimbing dan membenahi, beri kritik dan saran kepada penulis muda. Hal sepele seperti ini seharusnya jangan didiamkan berlarut-larut. Karena pada dasarnya akan ada regenerasi yang akan membangkitkan gairah karya sastra—khususnya cerpen—di masa mendatang.
Koran Republika pun saya rasa sama, hanya menerima suatu karya pada satu sisi saja—sisi religi. Seharusnya bukalah ruang yang sebebas-bebasnya untuk penulis muda, hindarilah keeogisan dan selektiflah dalam memilih karya (tanpa melihat siapa pengarangnya terlebih dahulu).
Subjektivitas dan objektivitas ini memang sulit dihindari. Keduanya bagai sistem yang saling mengganduli. Terkadang miring ke kiri dan terkadang pula ke kanan. namun keduanya saling melengkapi. Dan pada intinya, inilah fakta yang ada dalam kesusastraan bangsa kita. S—O (kaidah sastra).
Pengarang Tidak Konsisten
Melihat beraneka ragam tipe dalam sastra koran—terutama cerpen. Maka semakin banyak pula pengarang yang tidak konsisten dengan gaya kepenulisannya. Ketika penulis hanya menggeluti satu tipe koran dan ia tidak mampu untuk menggeluti tipe koran yang lainnya, dan karyanya susah dimuat dalam koran tersebut maka imbasnya adalah pada diri penulis itu sendiri—mampus berkarya. Misalnya saja Rifan Nazhif, cerpennya ”Gerobak Bakso” dan ”Suatu Pertemuan” pernah di muat di harian Republika dan Kompas. Dan saya melihat Rifan nampaknya tidak konsisten dengan dirinya. Di satu sisi dia membicarakan sisi religius di dalam cerpen ”Gerobak Bakso” (Republika, 6 Juni 2010), namun disatu sisi ia keluar dari sisi religiusnya dalam cerpen ”Suatu Pertemuan” (Kompas, 22 November 2009). Inilah kelemahan yang tersodorkan dimuka kita (penulis). Coba renungkan, bagaimana kita bisa konsisten jika dalam berkarya kita selalu dituntut untuk mengikuti aturan-aturan dalam koran tersebut. Jika karya kita ingin dimuat di koran Republika otomatis karya kita pun harus sesuai dengan selera Republika—yaitu religius. Jika tidak, maka karya kita pun hanya menjadi sampah yang dibiarkan begitu saja (dalam tanda kutip). Begitupun di koran Kompas, karya religi susah untuk masuk, terkecuali karya tersebut memang sesuai dengan selera redakturnya.
Meyikapi hal tersebut, kita sebagai penikmat—sekaligus penulis—semakin diombang-ombing saja dengan pengelompokkan karya sastra (cerpen) ini. Bukankah gunanya media adalah untuk memudahkan, memfasilitasi ruang penulis. Namun, jika terus menerus begini apa kata dunia?
Lantas, karya sastra (cerpen) seperti apakah yang harus kita pilih?
Menjawab pertanyaan ini sebenarnya mudah sekali. Yakini saja apa yang menurut kita paling benar—dengan syarat tahu dasarnya. Dan pada intinya kita (penulis) hanyalah manusia biasa bukanlah dewa. Kita hanya mencari kebenaran bukan ketenaran. [*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar