Sastra dan Kita

Rabu, 26 Januari 2011

Lomba KUCB 2011: Keong dan Ikan

Keong dan Ikan


           
            Satu

            Kenapa tuhan menciptakanku seperti ini. Bentukku aneh, tidak seperti kebanyakan teman-temanku disana. Rumahku cuma satu. Selain itu aku selalu membawa rumahku kemana-mana. Aku berjalan lambat, tidak seperti teman-temanku. Mereka dengan leluasa pergi kesana kemari, bisa bermain di alam dengan bebas. Sedang aku, aku selalu terkurung dalam sangkar ini. Tempatku sempit, sumpek, tidak leluasa. Tempatku hanya disitu-situ saja. Rasanya aku ingin sekali berkeliling dunia.
Terkadang aku cemburu dengan teman-temanku disana, sekaligus musuh-musuhku. Aku tidak bisa seperti mereka. Kodok, lincah. Ular, gesit. Ikan, bebas. Jangkrik, bersuara merdu. Sedangkan aku, apa yang bisa aku banggakan dari tubuhku ini.
“Hahaha, dasar Keong lambat! Mana bisa kamu seperti aku…” Ejek kodok sambil ia melompat-lombat dengan girang. Si Kodok itu sudah sering mengejekku—bahkan setiap hari. Aku sudah terbiasa dengan ocehannya. Meskipun dalam hati, aku merasa sangat jengkel dengan sikapnya. Tapi apalah daya, aku ya aku, hanyalah Keong lambat.
Umurku kini sudah semakin renta. Aku kasihan dengan anak-anakku. Aku tidak bisa sepenuhnya menjaga mereka. Apalagi dari serangan musuh. Terkadang makhluk-makhluk darat sering menyerang kami yang ada di semak-semak. Dan sering pula makhluk-makhluk air yang menyerang kami. Mereka mematok, menggigit dan mencabik-cabik tubuh kami. Untung aku dan anak-anakku masih bisa selamat dari serangan-serangan menyeramkan itu. Tapi, aku tetap khawatir, suatu saat nanti kejadian ini pasti akan terulang kembali, tentunya pada anak-anakku kelak hingga ia dewasa. Hal itu tidak bisa di pungkiri lagi dalam kehidupan kami. Serangan demi serangan dan makian pasti akan selalu datang menghadang kami.
“Ibu, aku takut dengan makhluk-makhluk jahat yang dulu menyerang kita itu...” lirih anakku yang paling kecil. “Aku pengen bisa lari.” Sambung perkataannya saat aku mau menanggapi.
“Kamu jangan takut. Ibu selalu disampingmu.”
“Ibu coba lihat, lihat itu. Aku pengen seperti dia.” Tiba-tiba anakku mengalihkan pembicaraan sambil menunjuk dengan anggukan wajahnya ke air semak-semak yang agak sedikit bening itu.
“Tidak bisa sayang, dia adalah ikan dan kamu adalah keong.”
“Kenapa aku tidak bisa?”
“Tuhan yang telah menciptakan kita berbeda sayang.”
“Pokoknya aku pengen bisa seperti dia. Titik!” Tangis anak bontotku itu. Ia mengambek dan kepalanya yang kecil itu langsung masuk ke sarangnya. Anakku tidak mau keluar lagi dari sarangnya.

Dua

Ceritamu bagiku begitu naif. Kamu justru lebih beruntung keong. Kamu punya rumah. Kamu, bisa berlindung dari dingginnya malam, dari dinginnya hujan saat datang. Aku merasa segolonganmu masih bisa merasakan kehangatan dibandingkan aku yang tidak punya rumah. Aku seperti gembel saja luntang-lantung kesana-kemari. Sedangkan kau, begitu tenang dan santai tidak cape mondar-mandir seperti aku. Rupaku pula tak seperti engkau yang masih bisa disembunyikan jikalau malu. Lihat aku. Aku tidak punya kaki. Aku bau amis jika manusia menyentuhku. Dan kebanyakan manusia memburuku setiap hari di tempat ini. Untungnya aku masih bisa selamat sampai detik ini dari kejaran mereka. Keluargaku, teman-temanku, sudah tertangkap oleh jaring-jaring kecil manusia itu. Sudah tersengat oleh setruman kayu yang dibawa oleh manusia itu. Sesudah itu kami dibawa ke ruang dapur mereka. Kadangkala, selain manusia. Sebangsaku pun sering memburuku. Seperti kanibal saja.
Aku ini masih kecil, belum bisa apa-apa, dan tubuhku ini sangat nikmat sekali bagi ikan-ikan dewasa yang siap memburu lalu menyantapku. Kebebasanku tak selamanya menjadi kenyamanan bagi diriku sendiri. Sedangkan kamu, begitu tenang dengan rumahmu. Begitu nyaman dengan duniamu. Aku, tidak bisa sepertimu.
“Ikan, maafkan saya jika salah bercerita.” Ujar Keong.
“Ya, sama-sama.”
Mereka saling tersenyum. Senja pun semakin tenggelam, wajah-wajah mereka sedikit demi sedikit juga ikut tengelam menyambut malam.

Tiga

Prak-prak-prak...
            Tiba-tiba pagi itu terdengar suara hantaman tongkat kayu tak jauh dari tempat tinggal keong-keong itu. Tak jauh dari ikan-ikan yang bergerombol itu. Seketika mereka terbangun dari tidur. Anak-anak keong itu langsung berjalan menuju dekapan ibu mereka. Air di bawah mereka seperti ombak saja, bergoyang-goyang naik turun. Mereka masih menempel pada sebuah tonggakan kayu—rumah mereka—yang cukup kuat. Suara kaki manusia itu pun semakin mendekat. Terus mendekat. Air yang ada dibawah mereka semakin bergoyang kencang, naiknya semakin tinggi. Satu keong jatuh dari kayu, ia tidak kuat menahan pegangan pada tonggakan kayu rumahnya itu. Sabetan dari tongkat kayu manusia-manusia semakin mendekat. Suara getar setruman pun terasa ngilu pada tubuh keong-keong itu. Suaran sepatu boot terdengar dan terasa sedang menendang-nendang apapun disekelilingnya. Sepakan sepatu boot itu lalu mengenai rumah keong, karena rumah keong itu tidak lepas juga dari tanah, manusia itu kemudian mencabutnya dengan keras. Keong-keong itu dilemparkan ke darat. Justru, hal itu semakin menjadi ancaman buat mereka. Bebek-bekek yang baru saja dikeluarkan oleh pemiliknya dari kandang tentu saja menatap tajam keong-keong yang berserakan itu. Bagi bebek-bebek, pagi hari adalah kelaparan yang tidak bisa di tunda.
            Para keong tidak bisa apa-apa, mereka tidak bisa berlari. Serangan dari bebek-bebek tentu saja jauh lebih cepat dari pada mereka yang ingin melarikan diri. Dan keong-keong itu tidak mampu menyelamatkan dirinya masing-masing. Rumah mereka dihancurkan, dan isinya jadi santapan. Nyawa-nyawa keong itu pun lenyap.
            Lalu bagaimana dengan nasib ikan?
            Ya, ikan itu sedang berusaha melarikan diri dari ancaman tangkapan dan sengatan manusia itu. Tapi tentu saja gerakannya tidak secepat langkah manusia, tongkat setruman mereka banyak sekali. Ditempelkan di air pun ikan-ikan yang ada di semak-semak itu akan merasakan radiasi dari sengatannya meskipun  tidak terkena tubuhnya.
            Teman-teman ikan yang lain sudah tertangkap satu per satu. Ikan itu masih berusaha berlari dari kejaran manusia. Ia bersembunyi di akar pohon pisang yang menancap ditanah itu.
            “Sudah penuh belum keranjangmu?” tanya manusia itu pada temannya.
            “Belum, aku melihat masih ada satu lagi ikan yang moloncat-loncat tadi, kemana yah perginya. Tadi dia berlari di bawah pohon pisang ini.”
            “Itu dia tuh, ekornya terlihat.” Tunjuk temannya yang lain.
            “Oh iya, mau kemana kamu perginya ikan jelek...?” dengan langkahnya malu-malu. Lalu setruman itu di putar-putar disekeliling akar pohon pisang itu.
            Dan ikan itu, seketika kejang ditangan manusia itu.
                                                                                                        

Desember 2010



Indahnya Bersyukur

Cerita di atas merupakan sebuah analogi kehidupan yang sering muncul disekitar kita. Hikmah dari kisah ini adalah,

1.      Bersyukurlah dari apa telah diberikan Tuhan kepada kita.
2.      Bimbinglah anak-anak kita agar mereka tidak salah arah dalam memaknai hidup, terutama dalam memaknai siapa dirinya.
3.      Bersabarlah dari segala hinaan dan cercaan dari orang lain, belum tentu mereka itu lebih baik daripada kita. Serta bersabarlah dari segala cobaan yang diberikan Tuhan kepada kita.
4.      Semua makhluk ciptaan Tuhan pasti akan mati (Tuhan tidak membeda-bedakan siapa yang akan diambil nyawanya terlebih dahulu, semua sudah diatur oleh-Nya)


Artikel ini diikut sertakan pada Kontes Unggulan Cermin Berhikmah di BlogCamp

Lomba KUCB 2011: Keong dan Ikan


Keong dan Ikan


           
            Satu

            Kenapa tuhan menciptakanku seperti ini. Bentukku aneh, tidak seperti kebanyakan teman-temanku disana. Rumahku cuma satu. Selain itu aku selalu membawa rumahku kemana-mana. Aku berjalan lambat, tidak seperti teman-temanku. Mereka dengan leluasa pergi kesana kemari, bisa bermain di alam dengan bebas. Sedang aku, aku selalu terkurung dalam sangkar ini. Tempatku sempit, sumpek, tidak leluasa. Tempatku hanya disitu-situ saja. Rasanya aku ingin sekali berkeliling dunia.
Terkadang aku cemburu dengan teman-temanku disana, sekaligus musuh-musuhku. Aku tidak bisa seperti mereka. Kodok, lincah. Ular, gesit. Ikan, bebas. Jangkrik, bersuara merdu. Sedangkan aku, apa yang bisa aku banggakan dari tubuhku ini.
“Hahaha, dasar Keong lambat! Mana bisa kamu seperti aku…” Ejek kodok sambil ia melompat-lombat dengan girang. Si Kodok itu sudah sering mengejekku—bahkan setiap hari. Aku sudah terbiasa dengan ocehannya. Meskipun dalam hati, aku merasa sangat jengkel dengan sikapnya. Tapi apalah daya, aku ya aku, hanyalah Keong lambat.
Umurku kini sudah semakin renta. Aku kasihan dengan anak-anakku. Aku tidak bisa sepenuhnya menjaga mereka. Apalagi dari serangan musuh. Terkadang makhluk-makhluk darat sering menyerang kami yang ada di semak-semak. Dan sering pula makhluk-makhluk air yang menyerang kami. Mereka mematok, menggigit dan mencabik-cabik tubuh kami. Untung aku dan anak-anakku masih bisa selamat dari serangan-serangan menyeramkan itu. Tapi, aku tetap khawatir, suatu saat nanti kejadian ini pasti akan terulang kembali, tentunya pada anak-anakku kelak hingga ia dewasa. Hal itu tidak bisa di pungkiri lagi dalam kehidupan kami. Serangan demi serangan dan makian pasti akan selalu datang menghadang kami.
“Ibu, aku takut dengan makhluk-makhluk jahat yang dulu menyerang kita itu...” lirih anakku yang paling kecil. “Aku pengen bisa lari.” Sambung perkataannya saat aku mau menanggapi.
“Kamu jangan takut. Ibu selalu disampingmu.”
“Ibu coba lihat, lihat itu. Aku pengen seperti dia.” Tiba-tiba anakku mengalihkan pembicaraan sambil menunjuk dengan anggukan wajahnya ke air semak-semak yang agak sedikit bening itu.
“Tidak bisa sayang, dia adalah ikan dan kamu adalah keong.”
“Kenapa aku tidak bisa?”
“Tuhan yang telah menciptakan kita berbeda sayang.”
“Pokoknya aku pengen bisa seperti dia. Titik!” Tangis anak bontotku itu. Ia mengambek dan kepalanya yang kecil itu langsung masuk ke sarangnya. Anakku tidak mau keluar lagi dari sarangnya.

Dua

Ceritamu bagiku begitu naif. Kamu justru lebih beruntung keong. Kamu punya rumah. Kamu, bisa berlindung dari dingginnya malam, dari dinginnya hujan saat datang. Aku merasa segolonganmu masih bisa merasakan kehangatan dibandingkan aku yang tidak punya rumah. Aku seperti gembel saja luntang-lantung kesana-kemari. Sedangkan kau, begitu tenang dan santai tidak cape mondar-mandir seperti aku. Rupaku pula tak seperti engkau yang masih bisa disembunyikan jikalau malu. Lihat aku. Aku tidak punya kaki. Aku bau amis jika manusia menyentuhku. Dan kebanyakan manusia memburuku setiap hari di tempat ini. Untungnya aku masih bisa selamat sampai detik ini dari kejaran mereka. Keluargaku, teman-temanku, sudah tertangkap oleh jaring-jaring kecil manusia itu. Sudah tersengat oleh setruman kayu yang dibawa oleh manusia itu. Sesudah itu kami dibawa ke ruang dapur mereka. Kadangkala, selain manusia. Sebangsaku pun sering memburuku. Seperti kanibal saja.
Aku ini masih kecil, belum bisa apa-apa, dan tubuhku ini sangat nikmat sekali bagi ikan-ikan dewasa yang siap memburu lalu menyantapku. Kebebasanku tak selamanya menjadi kenyamanan bagi diriku sendiri. Sedangkan kamu, begitu tenang dengan rumahmu. Begitu nyaman dengan duniamu. Aku, tidak bisa sepertimu.
“Ikan, maafkan saya jika salah bercerita.” Ujar Keong.
“Ya, sama-sama.”
Mereka saling tersenyum. Senja pun semakin tenggelam, wajah-wajah mereka sedikit demi sedikit juga ikut tengelam menyambut malam.

Tiga

Prak-prak-prak...
            Tiba-tiba pagi itu terdengar suara hantaman tongkat kayu tak jauh dari tempat tinggal keong-keong itu. Tak jauh dari ikan-ikan yang bergerombol itu. Seketika mereka terbangun dari tidur. Anak-anak keong itu langsung berjalan menuju dekapan ibu mereka. Air di bawah mereka seperti ombak saja, bergoyang-goyang naik turun. Mereka masih menempel pada sebuah tonggakan kayu—rumah mereka—yang cukup kuat. Suara kaki manusia itu pun semakin mendekat. Terus mendekat. Air yang ada dibawah mereka semakin bergoyang kencang, naiknya semakin tinggi. Satu keong jatuh dari kayu, ia tidak kuat menahan pegangan pada tonggakan kayu rumahnya itu. Sabetan dari tongkat kayu manusia-manusia semakin mendekat. Suara getar setruman pun terasa ngilu pada tubuh keong-keong itu. Suaran sepatu boot terdengar dan terasa sedang menendang-nendang apapun disekelilingnya. Sepakan sepatu boot itu lalu mengenai rumah keong, karena rumah keong itu tidak lepas juga dari tanah, manusia itu kemudian mencabutnya dengan keras. Keong-keong itu dilemparkan ke darat. Justru, hal itu semakin menjadi ancaman buat mereka. Bebek-bekek yang baru saja dikeluarkan oleh pemiliknya dari kandang tentu saja menatap tajam keong-keong yang berserakan itu. Bagi bebek-bebek, pagi hari adalah kelaparan yang tidak bisa di tunda.
            Para keong tidak bisa apa-apa, mereka tidak bisa berlari. Serangan dari bebek-bebek tentu saja jauh lebih cepat dari pada mereka yang ingin melarikan diri. Dan keong-keong itu tidak mampu menyelamatkan dirinya masing-masing. Rumah mereka dihancurkan, dan isinya jadi santapan. Nyawa-nyawa keong itu pun lenyap.
            Lalu bagaimana dengan nasib ikan?
            Ya, ikan itu sedang berusaha melarikan diri dari ancaman tangkapan dan sengatan manusia itu. Tapi tentu saja gerakannya tidak secepat langkah manusia, tongkat setruman mereka banyak sekali. Ditempelkan di air pun ikan-ikan yang ada di semak-semak itu akan merasakan radiasi dari sengatannya meskipun  tidak terkena tubuhnya.
            Teman-teman ikan yang lain sudah tertangkap satu per satu. Ikan itu masih berusaha berlari dari kejaran manusia. Ia bersembunyi di akar pohon pisang yang menancap ditanah itu.
            “Sudah penuh belum keranjangmu?” tanya manusia itu pada temannya.
            “Belum, aku melihat masih ada satu lagi ikan yang moloncat-loncat tadi, kemana yah perginya. Tadi dia berlari di bawah pohon pisang ini.”
            “Itu dia tuh, ekornya terlihat.” Tunjuk temannya yang lain.
            “Oh iya, mau kemana kamu perginya ikan jelek...?” dengan langkahnya malu-malu. Lalu setruman itu di putar-putar disekeliling akar pohon pisang itu.
            Dan ikan itu, seketika kejang ditangan manusia itu.
                                                                                                        

Desember 2010



Indahnya Bersyukur

Cerita di atas merupakan sebuah analogi kehidupan yang sering muncul disekitar kita. Hikmah dari kisah ini adalah,

1.      Bersyukurlah dari apa telah diberikan Tuhan kepada kita.
2.      Bimbinglah anak-anak kita agar mereka tidak salah arah dalam memaknai hidup, terutama dalam memaknai siapa dirinya.
3.      Bersabarlah dari segala hinaan dan cercaan dari orang lain, belum tentu mereka itu lebih baik daripada kita. Serta bersabarlah dari segala cobaan yang diberikan Tuhan kepada kita.
4.      Semua makhluk ciptaan Tuhan pasti akan mati (Tuhan tidak membeda-bedakan siapa yang akan diambil nyawanya terlebih dahulu, semua sudah diatur oleh-Nya)


Artikel ini diikut sertakan pada Kontes Unggulan Cermin Berhikmah di BlogCamp