Sastra dan Kita

Selasa, 08 Februari 2011

Kutipan Sastrawan


Menulis sajak bagi saya adalah semacam upacara penundaan kematian. Dengan sajak, saya bisa berdialog dengan hidup. Berkompromi dan berpikir tentangnya: menyadari bahwa saya benar-benar manusia.
 –“Warna kita”, Oka Rusmini.

Sastra, bagi saya adalah sebuah cara tak putus-putus menghadirkan manusia sebagai sebuah unikum, untuk menggoyangkan dan mempertanyakan ulang setiap definisi tentang manusia, tepat ketika dia coba dibikin final dan absolute.
–“Suatu Cerita dari Negeri Angin”, Agus R. Sarjono.


Menulis puisi bai saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah kata.
–“O, Amuk, & Kapak”, Sutardji C.B


Kita tidak punya pilihan lain. Kita harus berjalan terus. Karena berhenti atau mundur. Berarti hancur.
–“Tirani dan Benteng”, Taufik Ismail

Menjadi pengarang tidak berarti menduduki tempat lebih tinggi dari lingkunganya. pengarang tetap sebagai bagian dari masyarakat dimana dia hidup. dia tetap manusia biasa dengan serba kekuarangan da kerendahan hati, namun bermartabat.
– Nh Dini: sikap saya sebagai pengarang

… berilah aku satu kata puisi daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi yang kukasih. Angkasa ini bisu. Angkasa ini sepi. Tetapi aku telah sampai pada tepi. Dari mana aku tak mungkin lagi kembali.
–Manusia pertama di angkasa luar, Subagio Sastrowardojo


MANUSIA PELUPA Cerpen: Aray Rayza Alisjahbana




            “Jup, malam ini jadi nggak kita nonton film?”
“Nonton apa? Emang aku ngajakin yah?”
“Ya ampun, bukannya kamu sendiri yang bilang, katanya kamu yang mau bayarin? Gimana sih!” 
“Waduh, aku lupa Ri. Sumpah.”
“Ah dasar! Emang kebiasaan.”
Ruri, teman dekatku di kampus mungkin sudah bosan menanggapi ulahku ini. Semenjak semester satu aku memang sudah sangat dekat dengannya. Kini kita sudah beranjak semester empat. Bagiku dia sudah aku anggap seperti saudara sendiri. Dia pun tahu kalau keadaanku seperti ini. Tapi aku tidak tahu sudah berapa kali aku berbuat begitu pada Ruri. Entahlah aku lupa.
Memang, banyak sebagian orang yang benci dengan sifatku yang seperti ini. Orang-orang sudah menganggapku bukan manusia biasa, mereka bilang aku adalah manusia super.
            “Iya, super-super lupa. Hahaha…” Ejek Leboy, temanku, waktu di kantin.
            Tapi hanya Ruri orang yang masih ingin bersahabat denganku. Meskipun aku selalu merepotkannya. Selalu membuatnya ngambek. Tapi dia selalu mengerti dan segera cepat melupakan apa yang sudah aku lakukan padanya.
            Kata ibu, sewaktu kecil aku memang sering terjatuh, entah karena terpeleset atau pun yang lainnya. Dan sering pula kepalaku terbentur meja, kursi, keramik, bahkan pernah kepalaku terserempet kaca spion mobil ketika hendak mau menyebrang di sekolah. Waktu itu umurku kurang lebih sepuluh tahun. Dan untung waktu itu aku selamat. Aku memang sempoyongan kalau jalan. Hingga saat ini pun aku masih seperti itu, persis seperti orang mabuk. Kata ibu sih saat aku masih dalam kandungan, dia sering ngidam makanan yang aneh-aneh. Entah apa itu. Aku lupa.
            “Jup, kata dokter, kamu terkena amnesia. Tapi hanya menyerang bagian kecil memori otakmu saja. Dan itu bikin kamu sering lupa katanya. Tapi ya kadang ingat juga.” Ujar ibu waktu itu.
            “Namanya penyakit apa yah Bu? Amnesia apa? Kok nggak jelas begitu?”
            “Entahlah ibu juga nggak tahu jelasnya penyakit apa. Ibu juga lupa apa kata dokter itu.”
            “Kok lupa?” Ibu pun terdiam. Aku sempat berpikir sejenak. Apa mungkin ini penyakit bawaan darinya? Entahlah.
            Mendengar hal itu aku sedikit pesimis untuk menjalani hidup ini. Bagaimana jika suatu saat nanti tiba-tiba aku sedang lupa, lalu ada orang yang memanfaatkanku? Dan mereka mengambil apa saja yang aku punya. Apa yang harus aku lakukan?
            “Ada Ruri disampingmu. Ibu percaya sama dia.” Ujar Ibu sore itu.
            “Tapi, aku juga nggak mungkin selamanya bergantung sama dia. Apa nggak ada obat untuk nyembuhin penyakitku ini secara tuntas Bu?”
            “Tak tahulah. Kamu sendiri tahu, ibu hanyalah seorang pedagang nasi uduk. ayah kamu pun sudah tiada sejak kamu dalam kandungan. Sedang kata dokter biaya buat nyembuhin penyakit kamu ini cukup mahal. Dan harus berobat jalan. Kamu tahu, kuliah kamu pun, itu Bibi kamu yang membiayai. Ibu, nggak mau merepotkan bibi kamu lagi yang seorang PNS. Apalagi dia punya dua anak yang harus dia nafkahi. Sudah tahu sendiri, suaminya itu malas bekerja. Bagi ibu, ini pun sudah cukup.”
            Aku hanya menunduk saja mendengar penjelasan dari ibu. Memang, ibu hanyalah seorang pedagang nasi uduk, aku sadar itu. Tapi, aku juga kepingin sembuh dari penyakit ini. Gara-gara aku seperti ini, aku sudah banyak merugikan orang lain. Aku sering mengingkari janji. Aku sering lupa dengan nama teman-temanku di kelas. Tapi anehnya, aku tidak terlalu lupa jika aku menyerap pelajaran saat di kelas. Ibu, pernah bilang padaku bahwa Tuhan akan selalu memberikan jalan untuk orang yang mau belajar dengan sungguh-sungguh. Dan memang benar, perkataan ibu adalah petuah yang selalu terngiang di kepalaku. Petuah dia pun tak pernah aku lupa. Aku bingung dengan diriku sendiri. Kenapa hanya petuah ibu dan mata pelajaran saja yang mungkin bisa aku cerna? Yang bisa ingat? Meskipun kadang-kadang sesekali aku lupa. Tapi tidak sesering aku lupa dengan hal-hal yang selain itu.
            Setiap hendak berangkat kuliah pasti ada saja yang tertinggal di rumah. Entah itu ponsel, buku, pulpen, uang saku, dan sebagainya. Terkadang pula benda-benda itu pun tertinggal di dalam angkot. Sampai-sampai aku pun harus berkeliling mencari angkot itu kembali. Tidak hanya hendak mau berangkat ke kampus saja. Ketika berada di kampus pun terkadang begitu. Usai baca buku, terkadang aku meninggalkan begitu saja buku itu ditempat aku baca. Lalu pasti ada salah satu temanku yang mengembalikannya. Aku benar-benar jengkel dengan kekuranganku ini.
            Aku juga pernah digebukin oleh teman-teman sekelasku, ketika tugas kelompok lupa aku bawa.
            “Ah dasar bego! Itu tugas UAS Goblok!”
            “Kalian yang goblok. Sudah tahu aku pelupa, malah suruh aku yang ngerjain tugas.”
            “Diam lu kampret!” Wajahku semakin bonyok saja.
***
            Kini aku masih merenung sendiri di kamar.
Kenapa tuhan menciptakanku seperti ini? Hidupku tidak normal. Tidak seperti kebanyakan orang. Tuhan, pasti Engkau tahu apa yang aku inginkan sekarang ini. Sembuh dari penyakit ini.
            “Jupri, ada Ruri di luar!” Panggil ibu.
            “Iya Bu, bilang tunggu sebentar!”
            Tak lama aku pun keluar dan menghampiri Ruri. Ia membawa sebuah benda—entah apa itu. Kami pun duduk di teras rumah dengan sebuah tikar bambu cokelat.
            “Jup, ini mainan buat kamu.”
            “Mainan apa ini?”
            “Sudah, kamu ambil saja. Permainan ini mampu membuat ingatanmu sedikit-demi sedikit bisa pulih. Kamu jangan terlalu stres mikirin penyakit kamu. Dicoba yah!” Kami pun berbicang sesaat, tak berapa lama Ruri pun pergi.
            Ah, apa maksud Ruri memberikan benda ini. Benda yang terbuat dari kayu berwarna cokelat berbentuk persegi, panjang sisi-sisinya kurang lebih 30 cm. Di dalamnya berisi pecahan-pecahan kotak kecil yang sudah terpasang, kurang lebih berisi enam puluh pecahan kotak yang warnanya berantakan. Di samping pojok kiri atas ada empat pecahan kotak yang kosong.
Di alas benda itu aku menemukan secarik kertas yang tertempel lakban putih disisi-sisinya.
           
Jup, maaf sebelumnya. Aku ingin jujur sama kamu. Mungkin dengan surat ini kamu bisa tahu perasaanku.
            Jup, sejak aku kenal kamu. Aku merasa, ada sesuatu yang mengganjal dihati ini. Entah perasaan apa. Aku merasa nyaman saja didekat kamu. Apalagi selepas kejadian waktu itu. Meskipun hal itu seharusnya tidak terjadi di antara kita.
Aku tidak mau kehilangan kamu Jup. Semoga kamu bisa merasakan apa yang aku rasakan saat ini.
            Maaf yah Jup, kalau aku lancang. Aku tahu, mungkin selama ini kamu menganggap aku sebagai saudara kamu. Tapi bagiku, bukan sebatas itu.
            Jup, hanya benda ini yang mungkin bisa aku berikan. Aku tahu selama ini kamu selalu resah dengan penyakit kamu. Aku mendapatkan benda ini dari salah seorang teman aku yang menjadi dokter. Di dalamnya ada pecahan kotak-kotak kecil, itu adalah foto aku. Semoga saja benda ini bisa kamu mainkan setiap hari dan bisa menjadikan pecahan-pecahan foto itu menjadi utuh sempurna wajahku. Aku akan kembali lagi padamu suatu saat nanti. Semoga penyakit kamu segera pulih yah Jup. Amin.
                                                                                               
Ruri

***
            Sudah lima hari ini aku masih mengotak-ngatik benda itu. Terlihat mudah tapi, bagiku begitu susah. Aku pasang kesana kemari. Di cocokkan satu sama lain. Tapi tetap saja susah.
            “Ri, sulit sekali memainkan benda yang kamu berikan ini.” Aku masih mengotak-ngatiknya. Sampai-sampai ibu juga membantuku.
            “Emang ini mainan apaan sih Jup?”
            “Kata Ruri sih namanya... Puzzle. Iya, puzzle.”
            “Ruri?”
            Lalu aku pun menceritakan apa maksud dari benda pemberian Ruri itu, juga surat itu. Ibu agak kaget memang setelah mendengar penjelasanku. Sesekali ibu tersenyum dan mengejekku.
            “Kamu suka sama Ruri?”
            “Nggak tahu juga Bu. Aku bingung”
            “Lah, kenapa? Kok bingung? Ya sudah, kamu lanjutkan saja memainkan benda ini. Semoga kamu bisa.” Ibu pun pergi.
            Aku benar-benar bingung. Apakah kamu sesuka itu sama aku Ri? Padahal aku seperti ini. Kamu pun tahu itu. Aku pelupa, kurus, hitam, dan gemuk. Apa coba yang kamu lihat dari aku? Entahlah.
            Sebenarnya aku tidak terlalu memikirkan persoalan antara suka dan tidak suka sama kamu. Apalagi soal surat itu, aku tidak terlalu mengerti apa maksudnya. Aku diamkan saja surat itu. Aku tempel dibelakang pintu kamar.
Aku hanya tertarik pada benda pemberianmu itu saja Ri. Bukan suratnya. Katamu, benda itu sedikit demi sedikit bisa memulihkan penyakitku. Aku pun memainkannya setiap hari. Jika mungkin benda itu dapat terpasang menjadi sesosok wajahmu. Ya, mungkin itu sebagai bonus saja dariku. Ah, memang menyebalkan sekali aku ini.
***
            Dua bulan sudah aku memainkan benda itu. Sedikit demi sedikit memang membantu mempertajam daya ingatku. Kini aku selalu ingat apa yang harus aku bawa ke kampus. Apa yang harus aku selesaikan. Ya, meskipun sampai sekarang pecahan-pecahan foto itu belum terpasang menjadi sesosok bulat wajahmu. Kamu memang cantik dan menggemaskan Ri, baik pula. Tapi sampai detik ini, aku belum bisa merasakan getaran yang harus kuberikan padamu.
            Dulu, aku memang sempat dekat dengan seseorang, sebelum aku mengenalmu. Dian namanya. Si gadis berlesung pipi. Dian pernah juga mengutarakan perasaanya. Ah, tapi aku tidak mau memikirkan cinta. Yang aku pikirkan dalam hidup ini adalah kesembuhanku. Walau terkadang aku munafik dengan semua itu. Dian pun tahu aku seperti ini, pelupa.
            Aku mengenal Dian, hanya beberapa bulan saja. Setelah itu dia pergi entah kemana. Aku pun lupa, apa saja yang sudah dia berikan padaku. Lupa semuanya. Hanya namanya dan seraut wajahnya saja yang aku ingat. Tapi, dia tak lebih cantik darimu Ri, meskipun kamu agak tomboy.
***
            Delapan bulan berlalu. Memang benar-benar gila benda itu. Sampai sejauh ini aku pun belum bisa menjadikan sesosok wajahmu Ri. Aku berpikir, jika aku bisa menjadikan utuh pecahan-pecahan foto itu, berarti aku sudah sembuh seratus persen dari penyakitku ini. Bukan karena atas dasar cinta. Sama sekali bukan itu.
Kini mungkin ingatanku sudah delapan puluh persen pulih. Tapi, kamu dimana Ri? Semenjak kamu memberikan mainan ini. Kamu pergi entah kemana. Aku hanya ingin mengucapkan rasa terima kasihku saja padamu. Meski sampai saat ini aku belum bisa memberikan jawaban dari isi suratmu itu.
“Jup, Ada Ruri di luar!” Tiba-tiba ibu memanggilku.
            “Hah, Ruri?” Aku sontak kaget yang masih mengotak-ngatik benda itu di dalam kamar. 
            “Juprii... cepetan! Kasihan dia nungguin kamu! Ibu lagi masak!” Terdengar suara ibu yang semakin melencing keras di gendang telingaku.
            Aku pun bergegas keluar kamar dan menghampiri Ruri. Aku benar-benar kaget ketika melihat bentuk tubuh Ruri yang berubah. Bajunya yang pink agak tipis itu terlihat lebar ditubuhnya.
            “Ri, kok perut kamuu...?” Sambil menunjuk perut Ruri dengan penuh rasa heran.
            “Jup, kamu tahu, siapa yang ada di dalam perut ini? Ini anak kamu. Iya Jup, ini anak kamu. Kamu masih ingatkan waktu dulu kita di kosan berdua? Saat hujan turun?”
            “Hah anak aku? Di kosan? Ngapain?” Tanyaku semakin heran.
            “JANGAN PERNAH BILANG KALAU KAMU LUPA JUP!” Ujarnya.
            “Hah!????????” Aku bengong setengah mati di sisi pintu.
           
Aku benar-benar LUPA!

                                                                                               
3—7 Februari 2011
                       

PEMULUNG KORAN Cerpen: Aray Rayza Alisjahbana

 

Sepertinya sampai detik ini pun Heri tak ingin berhenti untuk tetap membaca. Entah ia mendapatkannya dari mana. Terpenting adalah dia bisa membaca di manapun dia berada. Meskipun terkadang dia tidak mengerti dengan bacaannya itu.
Anak kecil berwajah lugu itu memang kesehariannya seperti itu. Memunguti setiap tulisan yang sekiranya bisa untuk dibaca. Entah itu dari sobekan koran-koran yang berseliweran dijalan, ditempat pedagang gorengan, atau ia menemukan di bawah kolong jempatan. Semangatnya yang masih belia itu sangat memprihatinkan.
Dia masih mengejar-ngejar sobekan koran itu yang melayang-layang menuju sekolah dasar negeri Singarajan. Ia menangkapnya, membacanya sekilas “Curat Marut Pendidikan di Indonesia”  lalu ia langsung memasukannya dalam tas berbentuk segi empat berukuran panjang-lebar 40x20 cm. Tas itu terbuat dari kain bekas tepung terigu.
Di sisi pagar sekolah itu ia memandangi anak-anak sedang bemain di halaman sekolah. Ada yang sedang main bola, main engklek, dan sebagainya. Ia begitu iri melihatnya. Tapi apalah daya, semua itu hanyalah sebuah harapan kosong. Orang tuanya tidak mampu menyekolahkannya.
“Bapak, Heri pengen sekolah kayak anak-anak itu…” lirihnya di sisi pagar sekolah itu. Tidak lama kemudian ia pun pergi entah kemana.
***
            “Bapak, kapan Heri bisa sekolah?”
            “Sudahlah kamu ngomong apa sih!”
            “Kok Bapak begitu? Umurku sudah sepuluh tahun. Kok belum juga sekolah? Nggak kayak teman-teman aku di luar sana.”
            Wong buat makan sehari-hari saja susah. Kamu minta sekolah.”
            Heri cemberut kembali. Mungkin sudah kesepuluh kalinya ia begini. Pertanyaan-pertanyaan yang selalu ia lontarkan pada bapaknya, pasti jawabnya selalu begitu.
            “Lihat! bapak hanya seorang pemulung. Mending kamu bantuin bapak nyari barang-barang bekas. Bukan sobekan-sobekan koran seperti ini!” Bapaknya melempar tas tepung terigu itu. Isinya berserakan di tanah, ada beberapa yang basah terkena air.
            Heri langsung memungutinya kembali. Lalu ia pun meninggalkan bapaknya dari teras bale itu. Ia langsung masuk ke dalam rumah, memeluk ibunya yang sedang menyuapi adik perempuannya makan ubi rebus.
            “Heri, kamu kenapa?”
            “Aku pengen sekolah Bu…”
            “Ia nanti, kalo ayah sama ibu sudah punya uang.”
            “Kapan punya uangnya? Dari dulu bilangnya begitu terus.”
            Ibunya tidak bisa jawab apa-apa lagi. Keinginan Heri untuk sekolah memang sangat tinggi. Apalagi saat beberapa teman dekatnya itu mulai mengajarinya membaca, terkadang sesekali meminjamkan buku sekolahnya pada Heri. Heri menjadi semakin antusias untuk bersekolah.      
            Ia baru setahun belakangan ini bisa membaca. Setiap malam kadang ia ikut bersama teman-temannya untuk belajar. Untung teman-temannya itu baik dan menerima segala kekurangan yang dimiliknya.
            “Rini, makasih yah sudah ikut numpang belajar disini.” Begitulah ucapnya jika usai belajar di Rumah Rini, teman tetangganya.
            “Iya, tidak apa-apa. Justru aku senang kita bisa belajar disini, juga bareng teman-teman. Besok kesini lagi yah!” Ujar Rini malam itu. Heri hanya menganggukkan kepalanya, sambil memasang kedua kakinya pada sandal jepitnya yang lusuh itu.
            Rini, adalah anak dari seorang kepala sekolah. Buku-buku di Rumah Rini pun lumayan banyak. Rini sering meminjamkan bukunya, kadang memberikannya pada Heri. Tapi Heri seringkali menolaknya. Ia tahu buku itu bukan milik Rini, tapi milik Ayahnya di sekolah. Dan semenjak itulah ia berinisiatif  sendiri untuk mencari sebaris kata-kata yang tercecer di jalanan sebagai pengisi kekosongannya menunggu malam tiba.
***
            “Heri, sudahlah mulai malam ini kamu jangan main ke rumah Rini lagi! Ayah merasa tidak enak sama Pak Romli.” Ujar bapaknya malam itu.
            “Kata Pak Romli juga nggak apa-apa kok. Biar nemenin Rini belajar katanya.”
            “Sudah! Kamu diam! Semenjak kamu sering bergaul di situ, kamu jadi begini. Jawab saja kalo di bilangin.”
            “Ada apa sih Pak? Ribut saja.” Ibunya terbangun sehabis menyusui anak perempuannya itu di kamar.
“Biasa. Ini anakmu. Kalau dibilangin rewel.”
“Sudah sih Pak, kasian si Heri. Untung Pak Romli dan anaknya itu baik.
Mau menerima anak kita belajar di rumahnya. Bapak ini bagaimana sih? Bukannya malah senang anaknya semangat belajar. Kok malah dilarang.”
            “Bukan begitu Bu. Justru aku khawatir jika dia sering bergaul dengan anaknya pak Romli itu. Nanti, dia nggak bakalan berhenti minta sekolah. Sudah tahu kondisi ekonomi kita seperti ini.”
            Heri yang sedari tadi duduk di kursi. Ia menundukkan kepala mendengar kedua orang tuanya saling bertengkar. Tidak lama kemudian ia pun pergi keluar rumah sambil membawa tas kesayangannya. Heri berlari. Dan terus berlari. Ia tidak menghiraukan sahutan kedua orang tuanya yang memanggil-manggilnya, melarangnya untuk pergi.
            Malam semakin sunyi. Kedua orang tuanya pun belum berhasil juga menemukan anaknya itu. Pencarian dimulai dari rumah Rini. Tapi tidak ada sesosok anaknya itu. Malah, Pak Syukur—nama bapaknya Heri—seketika menyesal dari apa yang sudah ia lakukan terhadap anaknya, setelah Pak Romli menceritakan bahwa anaknya itu sangat cerdas dan pintar.
            “Padahal saya sudah mengusulkan dengan Lurah setempat, agar memperhatikan dan bisa menyekolahkan anak-anak kurang mampu di desa ini.” Ujar Pak Romli malam itu. Mendengar hal itu, Pak Syukur segera berlari melanjutkan pencarian anaknya itu.
            Hingga menjelang fajar, Heri pun belum juga ditemukan. Ayahnya sudah menyusuri beberapa tempat yang sering Heri singgahi. Seperti rel kereta api, kolong jempatan, tempat-tempat pedagang gorengan, dan sebagainya. Tapi tetap saja seraut wajah lugu itu belum juga ditemukan.
Setahun-dua tahun berlalu.
            Pak Syukur belum juga bisa menemukan anaknya itu. Meskipun pengumuman sudah di tempel di dinding-dinding pos ronda, di jalanan, di angkot, di tiang listrik, di kantor polisi, dan sebagainya. Tetapi tetap saja hasilnya nihil.
            Pak syukur dan istrinya pun tidak mau terus-menerus seperti ini. Akhirnya mereka mencoba untuk menjalani hidup seperti biasanya dan melupakan semua yang telah terjadi. Meskipun hal ini memang sangat berat bagi mereka.
***
Di luar sana, bocah itu masih mengejar sobekan-sobekan koran yang terbang di jalanan. Masih berada di tempat pedagang-pedagang gorengan. Masih selalu berharap untuk bisa sekolah. Dan masih selalu suka membaca.[*]
           
                                                                                   
Serang, 7 Februari 2011