Sastra dan Kita

Senin, 28 Maret 2011

Cicak Bodoh...

Cerpen: Aray Rayza Alisjahbana

Orang-orang memanggilku cicak. Mungkin kamu tahu wujudku seperti apa, menjijikkan bukan? Ya, sejenisku mungkin serupa monster kecil yang selalu berkeliaran di tembok-tembok, tiang listrik, dan sebagainya setiap malam. Mencari beberapa santap nikmatnya nyamuk-nyamuk yang berseliweran. Apalagi nyamuk-nyamuk itu usai menghisap darah manusia, wah rasanya nikmat sekali, tiada tara.
Sudah pernah lihat tubuhku bukan, tubuhku yang jelek ini? Aku juga terkadang jijik dengan diriku sendiri. Tubuh telanjang dengan ekor yang mengoget-oget seperti mau kawin. Mata yang terlihat menonjol keluar seperti sedang marah, terkadang membikin lelah menatap apa-apa yang ada di sekitarku. Tapi, ya mata inilah yang membuatku tetap bertahan hidup. Lebih-lebih lidah kilatku ini, yang bisa setiap saat menyambar mangsa yang lewat di hadapanku.
Umurku kini sudah menginjak dewasa. Sudah harus mencari pasangan hidup —kawin. Tentu saja dengan cicak juga, yang nanti akan melahirkan cicak-cicak kembali sebagai penerus hidupku nanti. Tapi sampai saat ini aku belum juga mendapatkan itu. Terkadang memang para cicak perempuan selalu direbut oleh cicak lelaki yang macho-macho. Tidak seperti aku ini, pemalu, lemah syahwat. Tidak berani mendekati cicak perempuan yang sedang sendiri, atau sudah siap untuk di kawini. Keinginanku memang tidak sesuai dengan hati. Hati berkata harus, tapi langkah dan kelaminku berkata tidak. Haha... memang aneh.
Setiap malam aku selalu iri ketika melihat beberapa ekor cicak —lelaki dan perempuan— sedang berkejaran mesra di sekitarku. Mungkin saat ini sedang musim kawin. Ya mereka dengan riangnya saling tindih-menindih dan aku hanya menjadi saksi bisu atas perlakuan mereka. Pun manusia-manusia yang ada di bawah, yang sedang menonton teve, makan di warung, tidur di kamar, main petak umpet, dan sebagainya, tak pernah peduli dengan kejadian itu. Mungkin mereka juga sudah merasakan nikmatnya kawin dengan pasangan-pasangan mereka. Sedang, aku hanya sendiri.
Pernah dulu, suatu ketika ada seekor cicak perempuan yang menarik simpatiku untuk mengawininya. Dia malu-malu mendekatiku, secara perlahan. Ekornya memberikan sinyal. Matanya menatap tajam tubuhku. Dari jarak sekira 30 cm, tiba-tiba dia menyerangku. Aku gelagapan. Ditindihnya. Aku mengamuk. Tapi tiba-tiba. Jprettt....!!! seorang anak kecil penghuni rumah menjepret cicak perempuan itu. Cicak perempuan itu seketika jatuh ke lantai. Lantas di kurung dalam plastik. Sedang ekornya masih menempel di tembok, di sampingku, sambil mengoget-oget.
“Haha... dapat satu. Lumayan dapat pahala. Malam ini kan malam jumat. He...” ujar bocah seumuran delapan tahunan-an itu, sambil menggoyang-goyangkan plastiknya.
Untung sekali aku tidak terserang jepretan karet bocah itu. Wah, bisa-bisa aku pun jadi tumbal mereka. Ya, konon katanya, apabila manusia mencari atau membunuh cicak di malam jumat, nanti akan mendapatkan pahala atau ganjaran dari tuhan. Entah, aku tidak pernah tahu. Aku mendengar itu ya, dari seletingan-selentingan percakapan manusia saja. Ah, dasar manusia, selalu mencari sensasi. Aku lupa kalau malam itu adalah malam jumat. Untung cicak perempuan ganjen itu yang kena tumbal. Haha... rasain.
***


Malam ini penghuni rumahku sedang banyak tamu. Aku sangat senang sekali, karena pasti nyamuk-nyamuk akan menggigitinya. Menyedoti darahnya. Wah, ada beberapa yang gemuk manusia itu, empat orang. Cukuplah. Senang sekali rasanya aku. Ayo nyamuk-nyamuk seranglah mereka. Nanti kalau sudah cukup darah di tubuh kalian, pasti kalian akan lemah. Dan aku, akan siap menyerangmu. Licik memang aku ini.
Tapi, sepertinya manusia-manusia itu tidak terlihat ingin tidur. Mereka masih saja main catur. Ngopi. Pastilah mata mereka susah tidur karena zat adiktif atau caffein itu menyebar di tubuhnya. Sial!! Mereka lelaki semua sih, yang perempuan —isteri-isteri lelaki itu— entah pada kemana. Ah, malam ini aku benar-benar lapar. Ingin rasanya cepat-cepat menyantap nyamuk-nyamuk yang berkeliaran.
Malam ini aku kurang begitu nyaman dengan sekelilingku. Dengan suara anak-anak mereka yang masih bermain, berteriak, berebut mainan ini itu sambil jeprat-jepret sana-sini dengan karet. Aku semakin tambah pusing. Sudah sendiri, tidak ada yang menemani. Mencari pasangan kawin pun tidak pernah ketemu. Ketemu tapi malu. Haha...
Hm... Kasihan juga yah mangsa-mangsa di sekitarku itu —nyamuk-nyamuk itu— sedang menunggu manusia-manusia atau penghuni rumah ini terlelap. Nyamuk-nyamuk itu mungkin jika di ibaratkan dengan manusia, mereka sedang main catur dulu, main poker dulu. Menunggu manusia-manusia itu terlelap.
“Skak!” ujar lelaki gendut yang memegang ster putih itu di ruang tamu. Sambil menyeruput kopinya.
“Sial!! Kalah gue,” ujar lelaki gendut yang satunya.
“Masih mau lanjut?”
“Ok. Lanjutkan!”
Ya tuhan, kapan mereka mau tidur. Aku sudah tidak tahan menahan lapar. Ah, pusing aku lama-lama menunggu. Aku juga melihat teman-teman di sekitarku sedang malamun, menunggu santapan tiba. Mungkin mereka juga sedang kelaparan sepertiku. Entah kenapa, aku dan teman-temanku disini kurang begitu suka dengan mangsa selain nyamuk. Nyamuk memang santapan idola kami. Favorit kami.
Ah memang sial, betapa enaknya mereka ditemani dengan pasangan-pasangannya. Tidak kalah juga dengan cicak-cicak yang muda. Sedangkan aku di sini, benar-benar menjenuhkan. Wahai cicak perempuan, datanglah padaku!
Jpret!!! Tiba-tiba saja karet bocah-bocah itu menyerangku bertubi-tubi. Ekorku kena. Aku jatuh. Jatuh. Ah, aku lupa kalau malam ini adalah malam jumat.
SIAL!

26 Maret 2011