Sastra dan Kita

Sabtu, 12 Februari 2011

TRY OUT SNMPTN 2011 BEM FKIP UNTIRTA (bekerja sama dengan PRIMAGAMA)

Ujian Akhir Sekolah sebentar lagi akan dimulai.
Mari asah otak teman-teman sekaligus untuk mengukur kemampuan teman-teman sebelum tes masuk Perguruan Tinggi Negeri (khususnya bagi kelas 3 SMA) dengan mengikuti TRY OUT SNMPTN 2011, yang insya Allah akan dilaksanakan pada:

hari, tanggal      : Minggu, 20 Maret 2011
pukul                : 09.00 s.d. selesai
tempat              : Auditorium Untirta

Biaya: untuk paket IPA (Rp. 20.000), IPS (Rp. 20.000), & IPC (IPA & IPS, Rp 25.000)

Formulir Pendaftaran:
Di BEM FKIP UNTIRTA (PKM Pusat ) atau di Primagama (berbagai cabang di daerah Banten)

Kontak Person:
Encep, 087771480255 (Ketua Pelaksana)
Saepudin, 085920008522 (Ketua BEM FKIP Untirta)
Fairus, 081911186508 (Wakil Ketua)


Tunjukkan kalau teman-teman bisa melakukannya!

Selasa, 08 Februari 2011

Kutipan Sastrawan


Menulis sajak bagi saya adalah semacam upacara penundaan kematian. Dengan sajak, saya bisa berdialog dengan hidup. Berkompromi dan berpikir tentangnya: menyadari bahwa saya benar-benar manusia.
 –“Warna kita”, Oka Rusmini.

Sastra, bagi saya adalah sebuah cara tak putus-putus menghadirkan manusia sebagai sebuah unikum, untuk menggoyangkan dan mempertanyakan ulang setiap definisi tentang manusia, tepat ketika dia coba dibikin final dan absolute.
–“Suatu Cerita dari Negeri Angin”, Agus R. Sarjono.


Menulis puisi bai saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah kata.
–“O, Amuk, & Kapak”, Sutardji C.B


Kita tidak punya pilihan lain. Kita harus berjalan terus. Karena berhenti atau mundur. Berarti hancur.
–“Tirani dan Benteng”, Taufik Ismail

Menjadi pengarang tidak berarti menduduki tempat lebih tinggi dari lingkunganya. pengarang tetap sebagai bagian dari masyarakat dimana dia hidup. dia tetap manusia biasa dengan serba kekuarangan da kerendahan hati, namun bermartabat.
– Nh Dini: sikap saya sebagai pengarang

… berilah aku satu kata puisi daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi yang kukasih. Angkasa ini bisu. Angkasa ini sepi. Tetapi aku telah sampai pada tepi. Dari mana aku tak mungkin lagi kembali.
–Manusia pertama di angkasa luar, Subagio Sastrowardojo


MANUSIA PELUPA Cerpen: Aray Rayza Alisjahbana




            “Jup, malam ini jadi nggak kita nonton film?”
“Nonton apa? Emang aku ngajakin yah?”
“Ya ampun, bukannya kamu sendiri yang bilang, katanya kamu yang mau bayarin? Gimana sih!” 
“Waduh, aku lupa Ri. Sumpah.”
“Ah dasar! Emang kebiasaan.”
Ruri, teman dekatku di kampus mungkin sudah bosan menanggapi ulahku ini. Semenjak semester satu aku memang sudah sangat dekat dengannya. Kini kita sudah beranjak semester empat. Bagiku dia sudah aku anggap seperti saudara sendiri. Dia pun tahu kalau keadaanku seperti ini. Tapi aku tidak tahu sudah berapa kali aku berbuat begitu pada Ruri. Entahlah aku lupa.
Memang, banyak sebagian orang yang benci dengan sifatku yang seperti ini. Orang-orang sudah menganggapku bukan manusia biasa, mereka bilang aku adalah manusia super.
            “Iya, super-super lupa. Hahaha…” Ejek Leboy, temanku, waktu di kantin.
            Tapi hanya Ruri orang yang masih ingin bersahabat denganku. Meskipun aku selalu merepotkannya. Selalu membuatnya ngambek. Tapi dia selalu mengerti dan segera cepat melupakan apa yang sudah aku lakukan padanya.
            Kata ibu, sewaktu kecil aku memang sering terjatuh, entah karena terpeleset atau pun yang lainnya. Dan sering pula kepalaku terbentur meja, kursi, keramik, bahkan pernah kepalaku terserempet kaca spion mobil ketika hendak mau menyebrang di sekolah. Waktu itu umurku kurang lebih sepuluh tahun. Dan untung waktu itu aku selamat. Aku memang sempoyongan kalau jalan. Hingga saat ini pun aku masih seperti itu, persis seperti orang mabuk. Kata ibu sih saat aku masih dalam kandungan, dia sering ngidam makanan yang aneh-aneh. Entah apa itu. Aku lupa.
            “Jup, kata dokter, kamu terkena amnesia. Tapi hanya menyerang bagian kecil memori otakmu saja. Dan itu bikin kamu sering lupa katanya. Tapi ya kadang ingat juga.” Ujar ibu waktu itu.
            “Namanya penyakit apa yah Bu? Amnesia apa? Kok nggak jelas begitu?”
            “Entahlah ibu juga nggak tahu jelasnya penyakit apa. Ibu juga lupa apa kata dokter itu.”
            “Kok lupa?” Ibu pun terdiam. Aku sempat berpikir sejenak. Apa mungkin ini penyakit bawaan darinya? Entahlah.
            Mendengar hal itu aku sedikit pesimis untuk menjalani hidup ini. Bagaimana jika suatu saat nanti tiba-tiba aku sedang lupa, lalu ada orang yang memanfaatkanku? Dan mereka mengambil apa saja yang aku punya. Apa yang harus aku lakukan?
            “Ada Ruri disampingmu. Ibu percaya sama dia.” Ujar Ibu sore itu.
            “Tapi, aku juga nggak mungkin selamanya bergantung sama dia. Apa nggak ada obat untuk nyembuhin penyakitku ini secara tuntas Bu?”
            “Tak tahulah. Kamu sendiri tahu, ibu hanyalah seorang pedagang nasi uduk. ayah kamu pun sudah tiada sejak kamu dalam kandungan. Sedang kata dokter biaya buat nyembuhin penyakit kamu ini cukup mahal. Dan harus berobat jalan. Kamu tahu, kuliah kamu pun, itu Bibi kamu yang membiayai. Ibu, nggak mau merepotkan bibi kamu lagi yang seorang PNS. Apalagi dia punya dua anak yang harus dia nafkahi. Sudah tahu sendiri, suaminya itu malas bekerja. Bagi ibu, ini pun sudah cukup.”
            Aku hanya menunduk saja mendengar penjelasan dari ibu. Memang, ibu hanyalah seorang pedagang nasi uduk, aku sadar itu. Tapi, aku juga kepingin sembuh dari penyakit ini. Gara-gara aku seperti ini, aku sudah banyak merugikan orang lain. Aku sering mengingkari janji. Aku sering lupa dengan nama teman-temanku di kelas. Tapi anehnya, aku tidak terlalu lupa jika aku menyerap pelajaran saat di kelas. Ibu, pernah bilang padaku bahwa Tuhan akan selalu memberikan jalan untuk orang yang mau belajar dengan sungguh-sungguh. Dan memang benar, perkataan ibu adalah petuah yang selalu terngiang di kepalaku. Petuah dia pun tak pernah aku lupa. Aku bingung dengan diriku sendiri. Kenapa hanya petuah ibu dan mata pelajaran saja yang mungkin bisa aku cerna? Yang bisa ingat? Meskipun kadang-kadang sesekali aku lupa. Tapi tidak sesering aku lupa dengan hal-hal yang selain itu.
            Setiap hendak berangkat kuliah pasti ada saja yang tertinggal di rumah. Entah itu ponsel, buku, pulpen, uang saku, dan sebagainya. Terkadang pula benda-benda itu pun tertinggal di dalam angkot. Sampai-sampai aku pun harus berkeliling mencari angkot itu kembali. Tidak hanya hendak mau berangkat ke kampus saja. Ketika berada di kampus pun terkadang begitu. Usai baca buku, terkadang aku meninggalkan begitu saja buku itu ditempat aku baca. Lalu pasti ada salah satu temanku yang mengembalikannya. Aku benar-benar jengkel dengan kekuranganku ini.
            Aku juga pernah digebukin oleh teman-teman sekelasku, ketika tugas kelompok lupa aku bawa.
            “Ah dasar bego! Itu tugas UAS Goblok!”
            “Kalian yang goblok. Sudah tahu aku pelupa, malah suruh aku yang ngerjain tugas.”
            “Diam lu kampret!” Wajahku semakin bonyok saja.
***
            Kini aku masih merenung sendiri di kamar.
Kenapa tuhan menciptakanku seperti ini? Hidupku tidak normal. Tidak seperti kebanyakan orang. Tuhan, pasti Engkau tahu apa yang aku inginkan sekarang ini. Sembuh dari penyakit ini.
            “Jupri, ada Ruri di luar!” Panggil ibu.
            “Iya Bu, bilang tunggu sebentar!”
            Tak lama aku pun keluar dan menghampiri Ruri. Ia membawa sebuah benda—entah apa itu. Kami pun duduk di teras rumah dengan sebuah tikar bambu cokelat.
            “Jup, ini mainan buat kamu.”
            “Mainan apa ini?”
            “Sudah, kamu ambil saja. Permainan ini mampu membuat ingatanmu sedikit-demi sedikit bisa pulih. Kamu jangan terlalu stres mikirin penyakit kamu. Dicoba yah!” Kami pun berbicang sesaat, tak berapa lama Ruri pun pergi.
            Ah, apa maksud Ruri memberikan benda ini. Benda yang terbuat dari kayu berwarna cokelat berbentuk persegi, panjang sisi-sisinya kurang lebih 30 cm. Di dalamnya berisi pecahan-pecahan kotak kecil yang sudah terpasang, kurang lebih berisi enam puluh pecahan kotak yang warnanya berantakan. Di samping pojok kiri atas ada empat pecahan kotak yang kosong.
Di alas benda itu aku menemukan secarik kertas yang tertempel lakban putih disisi-sisinya.
           
Jup, maaf sebelumnya. Aku ingin jujur sama kamu. Mungkin dengan surat ini kamu bisa tahu perasaanku.
            Jup, sejak aku kenal kamu. Aku merasa, ada sesuatu yang mengganjal dihati ini. Entah perasaan apa. Aku merasa nyaman saja didekat kamu. Apalagi selepas kejadian waktu itu. Meskipun hal itu seharusnya tidak terjadi di antara kita.
Aku tidak mau kehilangan kamu Jup. Semoga kamu bisa merasakan apa yang aku rasakan saat ini.
            Maaf yah Jup, kalau aku lancang. Aku tahu, mungkin selama ini kamu menganggap aku sebagai saudara kamu. Tapi bagiku, bukan sebatas itu.
            Jup, hanya benda ini yang mungkin bisa aku berikan. Aku tahu selama ini kamu selalu resah dengan penyakit kamu. Aku mendapatkan benda ini dari salah seorang teman aku yang menjadi dokter. Di dalamnya ada pecahan kotak-kotak kecil, itu adalah foto aku. Semoga saja benda ini bisa kamu mainkan setiap hari dan bisa menjadikan pecahan-pecahan foto itu menjadi utuh sempurna wajahku. Aku akan kembali lagi padamu suatu saat nanti. Semoga penyakit kamu segera pulih yah Jup. Amin.
                                                                                               
Ruri

***
            Sudah lima hari ini aku masih mengotak-ngatik benda itu. Terlihat mudah tapi, bagiku begitu susah. Aku pasang kesana kemari. Di cocokkan satu sama lain. Tapi tetap saja susah.
            “Ri, sulit sekali memainkan benda yang kamu berikan ini.” Aku masih mengotak-ngatiknya. Sampai-sampai ibu juga membantuku.
            “Emang ini mainan apaan sih Jup?”
            “Kata Ruri sih namanya... Puzzle. Iya, puzzle.”
            “Ruri?”
            Lalu aku pun menceritakan apa maksud dari benda pemberian Ruri itu, juga surat itu. Ibu agak kaget memang setelah mendengar penjelasanku. Sesekali ibu tersenyum dan mengejekku.
            “Kamu suka sama Ruri?”
            “Nggak tahu juga Bu. Aku bingung”
            “Lah, kenapa? Kok bingung? Ya sudah, kamu lanjutkan saja memainkan benda ini. Semoga kamu bisa.” Ibu pun pergi.
            Aku benar-benar bingung. Apakah kamu sesuka itu sama aku Ri? Padahal aku seperti ini. Kamu pun tahu itu. Aku pelupa, kurus, hitam, dan gemuk. Apa coba yang kamu lihat dari aku? Entahlah.
            Sebenarnya aku tidak terlalu memikirkan persoalan antara suka dan tidak suka sama kamu. Apalagi soal surat itu, aku tidak terlalu mengerti apa maksudnya. Aku diamkan saja surat itu. Aku tempel dibelakang pintu kamar.
Aku hanya tertarik pada benda pemberianmu itu saja Ri. Bukan suratnya. Katamu, benda itu sedikit demi sedikit bisa memulihkan penyakitku. Aku pun memainkannya setiap hari. Jika mungkin benda itu dapat terpasang menjadi sesosok wajahmu. Ya, mungkin itu sebagai bonus saja dariku. Ah, memang menyebalkan sekali aku ini.
***
            Dua bulan sudah aku memainkan benda itu. Sedikit demi sedikit memang membantu mempertajam daya ingatku. Kini aku selalu ingat apa yang harus aku bawa ke kampus. Apa yang harus aku selesaikan. Ya, meskipun sampai sekarang pecahan-pecahan foto itu belum terpasang menjadi sesosok bulat wajahmu. Kamu memang cantik dan menggemaskan Ri, baik pula. Tapi sampai detik ini, aku belum bisa merasakan getaran yang harus kuberikan padamu.
            Dulu, aku memang sempat dekat dengan seseorang, sebelum aku mengenalmu. Dian namanya. Si gadis berlesung pipi. Dian pernah juga mengutarakan perasaanya. Ah, tapi aku tidak mau memikirkan cinta. Yang aku pikirkan dalam hidup ini adalah kesembuhanku. Walau terkadang aku munafik dengan semua itu. Dian pun tahu aku seperti ini, pelupa.
            Aku mengenal Dian, hanya beberapa bulan saja. Setelah itu dia pergi entah kemana. Aku pun lupa, apa saja yang sudah dia berikan padaku. Lupa semuanya. Hanya namanya dan seraut wajahnya saja yang aku ingat. Tapi, dia tak lebih cantik darimu Ri, meskipun kamu agak tomboy.
***
            Delapan bulan berlalu. Memang benar-benar gila benda itu. Sampai sejauh ini aku pun belum bisa menjadikan sesosok wajahmu Ri. Aku berpikir, jika aku bisa menjadikan utuh pecahan-pecahan foto itu, berarti aku sudah sembuh seratus persen dari penyakitku ini. Bukan karena atas dasar cinta. Sama sekali bukan itu.
Kini mungkin ingatanku sudah delapan puluh persen pulih. Tapi, kamu dimana Ri? Semenjak kamu memberikan mainan ini. Kamu pergi entah kemana. Aku hanya ingin mengucapkan rasa terima kasihku saja padamu. Meski sampai saat ini aku belum bisa memberikan jawaban dari isi suratmu itu.
“Jup, Ada Ruri di luar!” Tiba-tiba ibu memanggilku.
            “Hah, Ruri?” Aku sontak kaget yang masih mengotak-ngatik benda itu di dalam kamar. 
            “Juprii... cepetan! Kasihan dia nungguin kamu! Ibu lagi masak!” Terdengar suara ibu yang semakin melencing keras di gendang telingaku.
            Aku pun bergegas keluar kamar dan menghampiri Ruri. Aku benar-benar kaget ketika melihat bentuk tubuh Ruri yang berubah. Bajunya yang pink agak tipis itu terlihat lebar ditubuhnya.
            “Ri, kok perut kamuu...?” Sambil menunjuk perut Ruri dengan penuh rasa heran.
            “Jup, kamu tahu, siapa yang ada di dalam perut ini? Ini anak kamu. Iya Jup, ini anak kamu. Kamu masih ingatkan waktu dulu kita di kosan berdua? Saat hujan turun?”
            “Hah anak aku? Di kosan? Ngapain?” Tanyaku semakin heran.
            “JANGAN PERNAH BILANG KALAU KAMU LUPA JUP!” Ujarnya.
            “Hah!????????” Aku bengong setengah mati di sisi pintu.
           
Aku benar-benar LUPA!

                                                                                               
3—7 Februari 2011
                       

PEMULUNG KORAN Cerpen: Aray Rayza Alisjahbana

 

Sepertinya sampai detik ini pun Heri tak ingin berhenti untuk tetap membaca. Entah ia mendapatkannya dari mana. Terpenting adalah dia bisa membaca di manapun dia berada. Meskipun terkadang dia tidak mengerti dengan bacaannya itu.
Anak kecil berwajah lugu itu memang kesehariannya seperti itu. Memunguti setiap tulisan yang sekiranya bisa untuk dibaca. Entah itu dari sobekan koran-koran yang berseliweran dijalan, ditempat pedagang gorengan, atau ia menemukan di bawah kolong jempatan. Semangatnya yang masih belia itu sangat memprihatinkan.
Dia masih mengejar-ngejar sobekan koran itu yang melayang-layang menuju sekolah dasar negeri Singarajan. Ia menangkapnya, membacanya sekilas “Curat Marut Pendidikan di Indonesia”  lalu ia langsung memasukannya dalam tas berbentuk segi empat berukuran panjang-lebar 40x20 cm. Tas itu terbuat dari kain bekas tepung terigu.
Di sisi pagar sekolah itu ia memandangi anak-anak sedang bemain di halaman sekolah. Ada yang sedang main bola, main engklek, dan sebagainya. Ia begitu iri melihatnya. Tapi apalah daya, semua itu hanyalah sebuah harapan kosong. Orang tuanya tidak mampu menyekolahkannya.
“Bapak, Heri pengen sekolah kayak anak-anak itu…” lirihnya di sisi pagar sekolah itu. Tidak lama kemudian ia pun pergi entah kemana.
***
            “Bapak, kapan Heri bisa sekolah?”
            “Sudahlah kamu ngomong apa sih!”
            “Kok Bapak begitu? Umurku sudah sepuluh tahun. Kok belum juga sekolah? Nggak kayak teman-teman aku di luar sana.”
            Wong buat makan sehari-hari saja susah. Kamu minta sekolah.”
            Heri cemberut kembali. Mungkin sudah kesepuluh kalinya ia begini. Pertanyaan-pertanyaan yang selalu ia lontarkan pada bapaknya, pasti jawabnya selalu begitu.
            “Lihat! bapak hanya seorang pemulung. Mending kamu bantuin bapak nyari barang-barang bekas. Bukan sobekan-sobekan koran seperti ini!” Bapaknya melempar tas tepung terigu itu. Isinya berserakan di tanah, ada beberapa yang basah terkena air.
            Heri langsung memungutinya kembali. Lalu ia pun meninggalkan bapaknya dari teras bale itu. Ia langsung masuk ke dalam rumah, memeluk ibunya yang sedang menyuapi adik perempuannya makan ubi rebus.
            “Heri, kamu kenapa?”
            “Aku pengen sekolah Bu…”
            “Ia nanti, kalo ayah sama ibu sudah punya uang.”
            “Kapan punya uangnya? Dari dulu bilangnya begitu terus.”
            Ibunya tidak bisa jawab apa-apa lagi. Keinginan Heri untuk sekolah memang sangat tinggi. Apalagi saat beberapa teman dekatnya itu mulai mengajarinya membaca, terkadang sesekali meminjamkan buku sekolahnya pada Heri. Heri menjadi semakin antusias untuk bersekolah.      
            Ia baru setahun belakangan ini bisa membaca. Setiap malam kadang ia ikut bersama teman-temannya untuk belajar. Untung teman-temannya itu baik dan menerima segala kekurangan yang dimiliknya.
            “Rini, makasih yah sudah ikut numpang belajar disini.” Begitulah ucapnya jika usai belajar di Rumah Rini, teman tetangganya.
            “Iya, tidak apa-apa. Justru aku senang kita bisa belajar disini, juga bareng teman-teman. Besok kesini lagi yah!” Ujar Rini malam itu. Heri hanya menganggukkan kepalanya, sambil memasang kedua kakinya pada sandal jepitnya yang lusuh itu.
            Rini, adalah anak dari seorang kepala sekolah. Buku-buku di Rumah Rini pun lumayan banyak. Rini sering meminjamkan bukunya, kadang memberikannya pada Heri. Tapi Heri seringkali menolaknya. Ia tahu buku itu bukan milik Rini, tapi milik Ayahnya di sekolah. Dan semenjak itulah ia berinisiatif  sendiri untuk mencari sebaris kata-kata yang tercecer di jalanan sebagai pengisi kekosongannya menunggu malam tiba.
***
            “Heri, sudahlah mulai malam ini kamu jangan main ke rumah Rini lagi! Ayah merasa tidak enak sama Pak Romli.” Ujar bapaknya malam itu.
            “Kata Pak Romli juga nggak apa-apa kok. Biar nemenin Rini belajar katanya.”
            “Sudah! Kamu diam! Semenjak kamu sering bergaul di situ, kamu jadi begini. Jawab saja kalo di bilangin.”
            “Ada apa sih Pak? Ribut saja.” Ibunya terbangun sehabis menyusui anak perempuannya itu di kamar.
“Biasa. Ini anakmu. Kalau dibilangin rewel.”
“Sudah sih Pak, kasian si Heri. Untung Pak Romli dan anaknya itu baik.
Mau menerima anak kita belajar di rumahnya. Bapak ini bagaimana sih? Bukannya malah senang anaknya semangat belajar. Kok malah dilarang.”
            “Bukan begitu Bu. Justru aku khawatir jika dia sering bergaul dengan anaknya pak Romli itu. Nanti, dia nggak bakalan berhenti minta sekolah. Sudah tahu kondisi ekonomi kita seperti ini.”
            Heri yang sedari tadi duduk di kursi. Ia menundukkan kepala mendengar kedua orang tuanya saling bertengkar. Tidak lama kemudian ia pun pergi keluar rumah sambil membawa tas kesayangannya. Heri berlari. Dan terus berlari. Ia tidak menghiraukan sahutan kedua orang tuanya yang memanggil-manggilnya, melarangnya untuk pergi.
            Malam semakin sunyi. Kedua orang tuanya pun belum berhasil juga menemukan anaknya itu. Pencarian dimulai dari rumah Rini. Tapi tidak ada sesosok anaknya itu. Malah, Pak Syukur—nama bapaknya Heri—seketika menyesal dari apa yang sudah ia lakukan terhadap anaknya, setelah Pak Romli menceritakan bahwa anaknya itu sangat cerdas dan pintar.
            “Padahal saya sudah mengusulkan dengan Lurah setempat, agar memperhatikan dan bisa menyekolahkan anak-anak kurang mampu di desa ini.” Ujar Pak Romli malam itu. Mendengar hal itu, Pak Syukur segera berlari melanjutkan pencarian anaknya itu.
            Hingga menjelang fajar, Heri pun belum juga ditemukan. Ayahnya sudah menyusuri beberapa tempat yang sering Heri singgahi. Seperti rel kereta api, kolong jempatan, tempat-tempat pedagang gorengan, dan sebagainya. Tapi tetap saja seraut wajah lugu itu belum juga ditemukan.
Setahun-dua tahun berlalu.
            Pak Syukur belum juga bisa menemukan anaknya itu. Meskipun pengumuman sudah di tempel di dinding-dinding pos ronda, di jalanan, di angkot, di tiang listrik, di kantor polisi, dan sebagainya. Tetapi tetap saja hasilnya nihil.
            Pak syukur dan istrinya pun tidak mau terus-menerus seperti ini. Akhirnya mereka mencoba untuk menjalani hidup seperti biasanya dan melupakan semua yang telah terjadi. Meskipun hal ini memang sangat berat bagi mereka.
***
Di luar sana, bocah itu masih mengejar sobekan-sobekan koran yang terbang di jalanan. Masih berada di tempat pedagang-pedagang gorengan. Masih selalu berharap untuk bisa sekolah. Dan masih selalu suka membaca.[*]
           
                                                                                   
Serang, 7 Februari 2011
           
           

Rabu, 02 Februari 2011

Lomba menulis: Catatan sahabat peterpan: ARIEL, TOPENGMU SUDAH TERBUKA



            Tapi buka dulu topengmu
            Buka dulu topengmu
            Biar kulihat warnamu
            Kan kulihat warnamu....
           

Siapa yang tidak kenal dengan lagu Peterpan yang berjudul “Topeng” tersebut? Tentu lagu tersebut sangat tidak asing lagi bagi teman-teman. Lagu yang membuming  dan fenomenal di era tahun 2002-an itu nampaknya menjadi boomerang tersendiri bagi sang vocalis.
Kasus Ariel yang selama ini tengah gencar di media massa maupun elektronik—kurang lebih satu tahun belakangan ini—sudah tidak mampu lagi menutupi topeng aslinya. Masyarakat sudah mulai buram dengan sosok Ariel. Mungkin sebagian fans-nya pun sudah berpaling dan berpindah ke sosok Ariel yang lain.
Topeng Ariel yang ganteng dan berwajah segar itu kini sudah layu di mata orang. Meskipun dia selalu membantah bahwa apa yang ada di dalam video tersebut bukanlah dirinya. Sudahlah Riel, Jangan terlalu memaksakan untuk menutupi semua perbuatanmu itu. Allah maha tahu dan maha melihat.
Saya turut prihatin dengan kejadian ini. Apalagi bagi para remaja, termasuk saya sendiri. Akibat beredarnya video itu di internet, tidak sedikit para remaja terkena dampaknya. Awalnya mungkin mereka tidak tahu. Berangkat dari media, tentu saja orang-orang pun penasaran. Apalagi sosok itu adalah seorang figur yang terkenal. Unggahan video di internet pun semakin tidak terbendung lagi. Dari anak-anak kecil, remaja, orang tua, hingga para pejabat negeri ini. Sungguh sangat memprihatinkan.
Ada apa denganmu Riel? Apakah engkau sudah terlalu bangga dengan ketampananmu itu? Sehingga semua wanita yang tergiur padamu itu, engkau campakkan. Kasian mereka Riel…! Tapi mungkin semua itu juga bukan sepenuhnya salahmu, mungkin para wanita/fans mu itu juga yang genit dan ingin dijamah olehmu. Godaanmu memang begitu berat, semakin engkau naik daun maka semakin besar pula angin yang menerpamu.
 Sikapmu itu bagi saya sudah berada di atas normal. Saya tidak tahu apakah engkau melakukannya secara sadar atau tidak. Tapi, sekilas saya melihat video itu (dengan terpaksa), nampaknya engkau sadar dengan apa yang engkau lakukan dengan Luna Maya dan Cut Tari dalam video itu.
Ariel? Karena ulahmu itu, tidak sedikit orang-orang yang terkena getahmu. Dari keluargamu, teman-teman seperjuangmu di Peterpan, hingga masyarakat di kota kelahiranmu yang kini tengah menjadi kota mati karena ulahmu. Dan apakah engkau tahu? Kini engkau sudah diklaim sebagai bintang porno di negeri ini, bukan lagi sebagai Bintang di Surga. Sangat TRAGIS.
            Saya pernah membaca sekilas berita di internet, bahwa aktor panas Jepang pun, Miyabi, katanya tertarik untuk bermain hot denganmu. Ya Tuhan, semua ini bukan hanya akan berdampak pada Ariel saja nantinya, tapi bangsa ini pun akan terkena imbasnya jika hal ini benar-benar terjadi. Negara yang bermayoritas muslim ini tentu saja tidak mau jika ada warganya yang dicap sebagai bintang bokep, apalagi menyebar ke luar negeri. Mengerikan.
 Memang sungguh berat untuk mengembalikan kembali citra topengmu itu kawan. Semoga di kemudian hari engkau sadar dengan apa yang sudah engkau lakukan ini. Segeralah engkau menghapus jejakmu yang kotor itu dengan segera bertaubat kepada Allah. Pintu taubat-Nya masih selalu terbuka untukmu wahai sahabat. Jangan menunda selagi engkau masih bisa.
Biarkan semua ini menjadi masa lalu yang tertinggal buatmu nanti, buat para sahabatmu, buat bangsa ini. Aku dan bintang, masih menunggumu disini. Masih menunggu karya-karyamu yang luar biasa.
Segeralah buka topengmu yang baru kawan!

                                                                                               
31 Januari 2011







Biodata Penulis:

Nama lengkap Encep Abdullah. Lahir di Serang, 20 September 1990. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (Diksatrasia) UNTIRTA, Serang-Banten.
Alamat rumah, Jl. Ciptayasa Pontang, Kp. Burak, Ds. Singarajan, Rt. 04/02, Kec.
Pontang, Kab. Serang, Banten.
No. Kontak:  087771480255
FB : Aray Pujangga










 

Lomba Naskah Pengalaman Pribadi: Belum Diberi Kesempatan Menjadi Pemimpin


Belum Diberi Kesempatan Menjadi Pemimpin


            Perkenalkan terlebih dahulu, nama saya Encep Abdullah. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Untirta Serang, Banten. Saya punya kisah dari salah satu tema yang ditawarkan dalam lomba ini, yaitu sebuah kegagalan. Boleh kiranya saya menceritakan pengalaman pribadi saya kepada teman-teman tentang sebuah kegagalan.
Semenjak semester satu lalu, saya mulai mencoba untuk bergelut dengan dunia organisasi—saya penasaran, karena di SMP maupun SMA sama sekali saya tidak bersentuhan dengan organisasi. Awal mulanya memang terpaksa, tapi lama-kelamaan setelah bersentuhan di dalamnya, ternyata banyak hal positif yang saya dapatkan. Hingga akhirnya saya kecanduan untuk ikut lagi di organisasi lain yang ada di kampus. Baik itu organisasi internal maupun eksternal.
Di organisasi internal saya mengikuti LDK, Klasik (keluarga musik), dan Himpunan Mahasiswa Jurusan. Sedangkan di eksternal saya mengikuti Hamas (Himpunan Mahasiswa Serang), Kubah Budaya (Komunitas Sastra), dan Rumah Dunia (Gol A Gong).
Memang benar apa kata kebanyakan orang, sebuah organisasi mampu mendorong seseorang untuk menjadi yang berbeda daripada orang lain yang hanya berkecimpung dibidang akademik saja. Sebuah organisasi mampu membangun sebuah rasa tanggung jawab, etika di masyarakat, wawasan, menambah teman, dan sebagainya. Mungkin tidak semuanya seperti itu, bisa juga sebaliknya, aktif di organisasi, tapi mandeg di akademik. Tapi saya lebih banyak mendapat hal yang positif ketimbang negatif. Alhamdulillah.
Proses perubahannya memang teramat begitu panjang. Seseorang yang baru pertama kali bergelut di dunia organisasi tentu sangat berbeda daripada orang yang sudah berpengalaman di dalamnya. Tidak semudah itu memang menjalankan roda sebuah organisasi. Butuh perjuangan yang ekstrim. Setahun, dua tahun sudah kini aku menjalaninya. Meskipun ada beberapa organisasi yang harus saya tinggalkan. Saya sadar, saya hanyalah manusia biasa, bukan super hero yang punya kekuatan lebih. Ternyata saya tidak kuat menjalani semua organisasi yang saya ikuti. Ada beberapa faktor juga yang mengakibatkan kenapa saya harus keluar dari organisasi tersebut. Misalnya saja, saya kurang sreg dengan para penghuni di dalam organisasi tersebut, atau saya dituntut oleh janji (dari salah satu organisasi) untuk ikut disatu organisasi saja, atau kadang saya juga jenuh di dalamnya, penuh dengan ideologi yang fanatik. Dan kini saya hanya fokus di beberapa organisasi saja. Di  internal saya memilih Himpunan Hahasiswa Jurusan atau Hima, dan di eksternal saya memilih Kubah Budaya dan Rumah Dunia.
Kenapa saya lebih memilih organisasi yang tersebut di atas?
Hima, merupakan wadah dari seluruh Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di kampus yang menjalankan segala bentuk kegiatan berbasis bahasa dan sastra, dengan dinaungi oleh Prodi (Program studi/Jurusan). Di Hima ini otomatis mau tidak mau saya harus berada di dalamnya. Apalagi seringkali saya mendapat kepercayaan untuk menjadi sekretaris maupun ketua pelaksana kegiatan.
Kubah Budaya, merupakan akronim dari Komunitas Perubahan Budaya. Kubah dapat dikatakan sebagai salah satu komunitas sastra yang berada di wilayah Serang. Sebagai mahasiswa sastra, tentu saja saya harus ikut di dalamnya. Meskipun sempat fakum beberapa bulan. Tapi kini saya mulai kembali merajut cinta di Kubah. Walau hanya sekadar ngopi bareng.
Rumah Dunia, juga merupakan komunitas sastra yang digawangi oleh Gol A Gong. Mau tidak mau juga saya harus bergelut di dalamnya. Tapi saya tidak se-intens di Kubah. Di rumah Dunia hanya mampir sesekali saja, saat ada kegiatan. Di rumah Dunia pun saya di tunjuk menjadi ketua angkatan, yaitu ketua angkatan 16.
Mungkin pembaca bingung, mana kegagalan yang seharusnya saya diceritakan?
Ya, di atas hanyalah sebuah cerita awal sebelum saya beranjak ke cerita selanjutnya. Karena hal ini sangat berkaitan.
Berbicara banyak tentang organisasi yang saya geluti. Di sini saya hanya akan menceritakan kegagalan saya di organisasi Hima atau Himpunan Mahasiswa Jurusan saja.
Pada periode akhir kepengurusan 2009—2010 lalu, saya ditunjuk oleh calon ketua hima dan teman-teman saya yang satu kepengurusan untuk menjadi calon wakil ketua Hima. Tidak ada niatan sama sekali saya untuk itu. Betapa kagetnya saya  saat itu, ditunjuk secara langsung. Saya tidak punya gambaran dan bayangan sedikitpun dalam pencalonan ini. Seminggu lagi pendaftaran ditutup. Lawan kami sudah mendaftarkan diri. Sedangan kami belum. Saya masih ragu dan bimbang. Apalagi sang calon ketua, seorang perempuan senior yang satu tingkat di atas saya, Suci namanya. Apakah tidak ada calon ketua yang lain, laki-laki barangkali? Pikir batin saya.
Menjelang akhir pendaftaran, saya selalu dihantui oleh beberapa faktor yang membelunggu pikiran saya. Dari teman-teman saya, para senior saya, mereka memojokkan saya untuk segera mencalonkan diri. Saya benar-benar semakin bingung. Akhirnya saya putuskan untuk meminta izin terlebih dahulu pada kedua orang tua saya. Syukur Alhamdulillah, saya diizinkan.
Seharusnya hal ini tidak mendadak seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi. Menjelang sehari pendaftaran terakhir, akhirnya kami mencalonkan diri dengan terpaksa. Kami tidak ingin mengecewakan orang-orang yang sudah memberikan kami kepercayaan. Kami pun sibuk mengurusi segala persyaratan. Sehari rasanya tidak mungkin cukup untuk mendapatkan semua persyaratan itu. Tapi, dengan segala jerih payah dan segala daya upaya, akhirnya kami pun lolos verifikasi persyaratan. Alhamdulillah.
Setelah itu kami mempersiapkan untuk kampanye di kampus. Baik itu di kelas-kelas maupun melalui selebaran pamflet dan spanduk yang terpasang di sisi-sisi pagar kampus. Berawal dari keterpaksaan, kini kami semakin optimis untuk menang dan tekad kami untuk terus maju semakin berkobar. Finansial sudah terkuras, tenaga pun juga terkuras. Kami tidak mau perjuangan kami sia-sia.
Sesion debat pun tiba sudah. Kami saling memaparkan visi dan misi. Saling baku hantam satu sama lain. Ada tiga panelis yang menguji kami. Mereka adalah para aktivis-aktivis senior yang sudah berpengalaman.
Saya, khususnya sangat tertekan saat debat ini berlangsung. Saya yang masih bau kencur, belum bisa ngoceh (berbicara lantang di muka umum), berani-beraninya duduk di kursi calon pempimpin itu. Saya tidak percaya bisa melakukan hal ini. Benar-benar diluar dugaan.
Dua hari kemudian perhitungan suara pun di mulai. Malam itu saya tidak ikut. Karena sudah lelah, jadi saya pulang saja ke rumah untuk istirahat. Suci dan teman-teman yang mewakilkan. Pagi-pagi saya membuka kotak pesan di HP, ternyata pesan dari Suci, kurang lebih begini pesannya:
Ass. Encep, sepertinya kita belum diberi kesempatan untuk menjadi pemimpin. Tetap semangat yah walaupun kita kalah. :-)
Saya agak kaget mendapat kabar tersebut, saya menghelas nafas sedikit, mencoba menghilangkan segala pikiran yang berseliweran di otak saya. Akhirnya mau tidak mau saya harus menerima kenyataan ini.
Satu tahun berlalu.
Dunia seperti matahari yang terbit di pagi hari, lalu esoknya ia datang kembali. begitu pula halnya dengan saya, kehidupan ini memang benar-benar cepat berlalu. Kini kepengurusan Bagus dan Suwarno 2009—2010 akan segera berakhir (nama lawan saya yang menang mencalonkan diri tahun lalu).
Lantas siapakah yang akan menggantikan posisi mereka pada kepengurusan berikutnya?
Untuk tahun ini saya optimis, pasti banyak yang mencalonkan diri untuk menjadi ketua dan wakil ketua Hima. Saya melihat banyak potensi yang melekat pada diri teman-teman kepengurusan 2009—2010 ini, khususnya yang semester tiga. Baik dari perempuan maupun laki-laki. Sebulan sebelum pendaftaran pencalonan dibuka, saya sudah memprediksi siapa saja yang bakal menjadi calon. Satu, dua, tiga orang sudah terlihat.
Tapi, tunggu dulu. Ternyata prediksi saya meleset. Satu minggu lagi pendaftaran ditutup, tapi ternyata tidak ada satu pun yang mencalonkan diri untuk menjadi pasangan kandidat. Ya Tuhan, malah lebih parah dari tahun lalu begini. Akhirnya, saya yang sudah senior—sudah semester lima—harus menasihati, mengarahkan, serta harus menunjuk dari salah satu pengurus Hima 2009—2010. Tapi tetap saja mereka masih enggan, entah karena takut atau tidak punya calon pendamping. Entahlah. Terpenting bagi saya adalah selalu menekan mereka. Tapi nyatanya hasilnya nihil. Oh betapa pusingnya saya dan kak Bagus (Ketua Hima 2009—2010) mencari pasangan calon  berikutnya ini. Saya benar-benar kewalahan. Ada yang beralasan sibuk dengan organisasi lain, sibuk dengan akademik, takut untuk menjadi pemimpin, macam-macamlah alasan mereka. Saya juga bisa merasakan saat dulu saya menjadi mereka dan ditunjuk begitu saja. Lah, tapi kenapa sekarang saya memaksa mereka? Entahlah saya juga bingung, atau mungkin saya takut, karena kalau tidak ada pasangan calon tahun ini, pasti saya lagi yang akan terkena imbasnya.
 Beberapa bulan yang lalu memang ada beberapa teman saya bahkan kak Bagus sendiri, mereka menyarankan agar saya mencalonkan kembali pada periode berikutnya, tapi sebagai ketua buka wakil. Weleh-weleh...
Menjelang dua hari pendaftaran terakhir, memang benar, saya lagi yang terkena imbasnya. Teman-teman dari semester tiga tidak ada yang mau mencalonkan diri. Mereka masih bingung. Akhirnya saya pun ditunjuk kembali. Setelah ada satu pasangan calon yang mendaftar (Mayang dan Mela, teman saya semester lima).
Awalnya saya menyerahkan kemenangan ini pada mereka, saya mundur. Lagi-lagi saya dipojokkan, dengan salah satu teman saya dari semester tiga (yang merupakan sekeretaris saya saat kegiatan Bulan Bahasa kemarin), Tanti namanya. Dia menangis dihadapan saya, dia meminta agar saya mencalonkan diri. Waduh, semakin ribet saja. Ya sudah saya terpaksa lagi-lagi harus mencalonkan diri.
Banyak teman-teman yang juga mendukung saya, termasuk kak Bagus dan wakilnya. Mereka tidak mau kepemimpinan di pegang oleh perempuan. Saya lebih dipercaya oleh mereka ketimbang lawan saya. Waduh, kepercayaan lagi yang menjadi bumerang bagi saya. Akhirnya, malam itu saya sms Fajar, teman akrab saya semester tiga untuk mendampingi saya menjadi wakil. Fajar mengerti dengan keadaan, dia pun menerima menjadi wakil saya.
Kali ini saya optimis bisa menang. Karena pencalonan satu tahun yang lalu itu, menjadi bekal dan pengalaman saya pada pencalonan kali ini. Saya tidak merasa deg-degan ataupun gemetar. Saya sudah hafal betul teknis dan aturan mainnya dari KPU.
Kembali sesion debat pun dimulai. Debat kali ini berbeda dari tahun yang lalu, lebih menantang. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan para penelis pun membuat suasana debat semakin memanas. Debat pun berakhir dengan tepuk tangan meriah dari para pendukung saya dan pendukung lawan. Saya merasa puas dengan debat kali ini, karena sistemnya saling membantai satu sama lain.
Seperti biasa hari yang ditunggu-tunggu datang juga, yaitu perhitungan suara. Saya dan Fajar sangat optimis menang. Saya tidak terlalu pusing untuk tahun ini. Karena saya sudah yakin pendukung saya banyak, dari semester satu, tiga, lima, dan tujuh. Mereka sudah berjanji akan memilih saya dan Fajar.
Malam itu, perhitungan suara pun dimulai. Entah kenapa, saya pun mulai merasa deg-degan. Saat itu saya tidak didampingi wakil saya, katanya dia capek. Kali ini saya yang menggantikan posisi Suci, calon ketua saya tahun lalu. Skor pun saling menyusul, saya dan lawan saya begitu tegang menunggu hasil akhir perhitungan suara ini.
Dari pukul 11.00 hingga pukul 03.00 dini hari, akhirnya perhitungan suara pun selesai. Perhitungan suara memang bergantian, dari pasangan calon Presma, pasangan calon BEM FKIP, lalu pasangan calon HIMA yang terakhir.
Waktu itu saya tertidur ditempat perhitungan suara. Mata saya sudah agak letih saat itu. Lalu saya pun dibangukan oleh teman saya. Perhitungan suara sudah selesai, katanya. Aku pun melihat skor akhir di white boar yang ada ditempat perhitungan suara itu.
Skor akhir:  Encep & Fajar = 97,  Mayang & Mela = 108
Ya Tuhan, saya gagal lagi dalam pencalonan ini. Aku tidak menyangka.
Ternyata, dari semester satu hingga semester tujuh, banyak yang tidak mencontreng. Pantas saja skor kedua pasangan sangat sedikit begini. Katanya, banyak yang golput juga. Saya sangat kecewa dengan janji teman-teman yang katanya mau mendukung saya. Tapi nyatanya begini. Tidak ada yang memilih, hanya beberapa saja.
Malam itu saya langsung mengabari Fajar dengan sms yang seperti Suci kirimkan tahun lalu.
Ass. Fajar, sepertinya kita belum diberi kesempatan untuk menjadi pemimpin. Tetap semangat yah walaupun kita kalah. :-)
Fajar pun membalas sms saya seperti ini:
Seharusnya A Encep yang harus tetap semangat dan harus tetap sabar. Karena sudah gagal untuk yang kedua kalinya.
Saya pun langsung tersadar, benar juga apa kata Fajar.
Akhirnya saya merenung dari semua kegagalan ini. Kenapa bisa seperti ini secara terus-menerus?
Diakhir tulisan ini saya hanya bisa menyimpulkan, bahwa sesuatu yang tidak diawali dari niatan diri sendiri, itu tidak akan berjalan lancar. Karena hanya diri kita sendirilah yang menentukan, yang akan menjadi sesuatu, bukan orang lain. Semua yang kita lakukan harus berawal dari keikhlasan dan ketulusan, bukan paksaan.
Tapi semua itu tidak membuatku patah semangat, justru dari pengalaman ini saya menjadi semakin lebih dewasa, semakin mengerti akan arti sebuah kehidupan.

Kita tidak punya pilihan lain. Kita harus berjalan terus. Karena berhenti atau mundur, berarti kita HANCUR.(Taufik Ismail, Sastrawan)