BILA kita sedang asyik membaca buku, semisal Jakarta Undercover karya Moamar Emka, apa yang terbesit dalam ruang pikir kita? Terhanyut bersama Emka lewat goresan-goresan pena yang dituangkan dalam buku tersebut? Atau sebaliknya, ‘mengabaikan’ dia, seraya pikiran kita bebas menafsirkan wacana atau informasi yang dia kemas dengan bahasa-bahasa penggugah gairah seksual?
Menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas bukan persoalan mudah. Setiap kepala tentu memiliki jawaban berbeda-beda. Dalam pergulatan filsafat, perbedaan jawaban atas pertanyaan seperti itu telah melahirkan karakteristik yang mencirikan dua tradisi besar: modernisme dan post-modernisme.
Dalam tradisi modernisme, penulis atau pengarang adalah figur yang sangat penting dan sentral. Sebuah karya tulis selalu diidentifikasikan dengan penulisnya. Figur penulis menjadi ‘jantung’ perhatian pembaca, sehingga batas antara dia dengan hasil karyanya menjadi kabur. Karya dianggap sebagai hasil ‘kejeniusan’ atau ‘kepandaian’ sang penulis. Otoritas dan keotentikkan dilegetimasi melalui ‘tanda tangan’ atau ‘hak cipta’ pengarang. (Yasraf Amir Piliang: 1999)
Selain itu, dalam diskursus modernisme pembaca selalu bersikap dingin, tidak berpikir kritis terhadap apa yang dibacanya. Dia terlena dengan ide-ide atau hasil temuan sang penulis, tanpa mempertanyakan kebenarannya. Pembaca menjadi obyek hegemoni keinginan, nafsu, selera, kegelisahan, kegembiraan, kesenangan, dan totalitas penulis. Keadaan itu membuat pembaca tidak sadar bahwa dirinya sedang dijajah oleh sang kolonial bernama penulis.
Ketika menelaah karya Emka, pembaca yang masuk dalam kategori ini selalu merasa dibayang-bayangi sosok Emka dan tersihir dengan keindahan bahasanya. Eksistensi Emka senantiasa menghiasi rung pikir dan daya kreatifnya, sehingga sikap kritis dan daya imajinitifnya menjadi lumpuh layu. Pada posisi ini, pembaca secara tidak sadar telah memasuki hutan belantara modernisme dan berposisi sebagai ‘cecunguk’ sang penulis.
Berbeda dengan tradisi modernisme, tradisi post-modernisme justru tega ‘membunuh’ sang penulis. Penulis tidak lagi mempunyai tempat dalam teks “pengarang telah mati”, kata Roland Barthes dalam karya monomentalnya The Pleasure of the Tex. Ini tentunya hanya sebuah metafora untuk menggambarkan bahwa tidak ada lagi ‘semangat’ dan ‘jiwa’ penulis dalam karyanya. Penulis tidak lagi berbicara. Suaranya menghilang bersamaan dengan munculnya teks atau karya tulis. Begitu berada di tangan pembaca, karya tulis akan terkelupas, meledak, dan tersebar tak terkendalikan oleh penulisnya.
Otoritas teks tidak lagi berada di tangan penulis, melainkan pada bahasa. Bahasa yang memainkan peran, bukan sang penulis. Posisinya tergantikan oleh bahasa yang dia bungkus dalam bentuk susunan kata atau kalimat. Setiap karya dapat ditemukan kode-kode bahasanya, tanpa ‘kehadiran’ penulisnya.
Sebagai contoh, bila kita membaca buku Jakarta Undercover, kita memahami bahwa bukan Emka yang berbicara melalui karyanya, akan tetapi bahasa-bahasa erotis kehidupan malam Jakarta, semisal diskotik, pelacuran, tarian telanjang, lelaki hidung belang, dan wanita penghibur. Emka, dalam konteks ini, tak lebih hanyalah seorang ‘broker’ atau ‘perantara’ yang memberi rung gerak bahasa-bahasa erotis ini untuk berbicara.
Bagi Barthes, sebagaimana dikutip Piliang, teks (termasuk karya Emka) adalah kombinasi dari tulisan-tulisan, yang diambil dari berbagai kebudayaan dan memasuki ruang tertentu, yang kesemunya saling berdialog dan berinteraksi. Ruang ini, menurut Barthes, ditempati oleh pembaca. Dalam hal ini, kedudukan Emka berkenaan dengan Jakarta Undercover lebih sekadar sebagai ‘pembaca’ ketimbang ‘penulis’ atau ‘pengarang’. Dia adalah ‘ruang’, tempat bahasa-bahasa erotis kehidupan malam Jakarta berinteraksi dalam suatu dialog tertentu.
Pada kondisi itu, karya tulis hanyalah sekadar arena permainan tanda-tanda bahasa yang berada di luar jangkauan kekuasaan sang penulis. Secara sosial dan ekonomis, seorang yang sudah menghasilkan karya memang berhak berpredikat ‘seorang pencipta’, memiliki ‘hak cipta’, dan mempunyai otoritas atas royalty berupa imbalan finansial; akan tetapi ia tidak berhak atas otoritas makna tekstual. Secara tekstual, ia mempunyai kedudukan sama dengan orang lain, yaitu sebagai tamu, namun sebagai penentu makna dia telah mati (ST. Sunardi: 2002).
Kematian sang penulis, menurut Barthes, selalu diikuti dengan kelahiran pembaca. Dia berbeda dengan pembaca pada tradisi modernisme. Dia tidak lagi terbelenggu dengan tirani penulis. Pada saat membaca suatu karya, dia bebas terbang ke mana saja, menembus dinding tebal gagasan penulis, serta melampaui ‘kejeniusan’ penulis itu sendiri. Dengan kata lain, wafatnya penulis diikuti dengan kebebasan pembaca untuk berpatisipasi menghasilkan pluralitas makna dalam teks.
Lantas, apa fungsi penulis selaku perangkai kata atau kalimat dalam sebuah karya jika otoritasnya ‘dibunuh’? Terhadap pertanyaan ini, kaum post-strukturalis memiliki jawaban yang bervariatif. Michel Foucault, yang lebih getol dalam kajian teks dan wacana, berpendapat bahwa fungsi penulis adalah pendistribusi wacana. Tanpa dirinya suatu karya tak akan pernah lahir dan tak akan hadir di hadapan pembaca.
Sebagai distributor wacana, penulis berhak mendapatkan penghargaan setinggi-tingginya dari pembaca, kerena telah bersusah payah membuka jendela pengetahuan bagi banyak manusia. Namun, penghargaan itu jangan sampai membuat kita kehilangan energi untuk bersikap kritis terhadap suatu karya. Akhirnya, hanya dua kata untuk menumbuhkan dan merawat sikap kritis: ‘bunuh’ penulis!
Sumber: A. Sihabul Millah (Jawa Pos, 4 Juni 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar