Sastra dan Kita

Selasa, 18 Januari 2011

Resensi Buku Sastra "Selaksa Makna Cinta" Karya Dang Aji, dkk.













Judul Buku       : Selaksa Makna Cinta
Penulis              : Dang Aji, dkk.
Penerbit            : Pustaka Puitika, Bantul, Yogyakarta
Tahun Terbit     : Oktober 2010
Tebal                : 387 halaman
ISBN               : 978-602-97092-1-6




Selaksa Makna Cinta: Makna yang Belum Terungkap


            Ketika saya membaca sebuah buku antologi cerpen dan puisi Selaksa Makna Cinta atau disingkat SMC ini, tiba-tiba saya jadi teringat dengan tulisan di belakang jilid buku ini, yang tertulis: Antologi ini merupakan kekeyaan tersembunyi, yang tak pernah tersentuh, bahkan tak terlihat oleh penglihatan kita. Namun jauh dari semua yang kita pikirkan, mereka yang tergabung dalam antologi ini merupakan bibit-bibit cerdas yang akan menunjukkan bakat-bakat mereka, hanya saja mereka sedikit terlambat dalam kemunculannya. Bacalah buku ini, Anda akan menemukan bakat-bakat luar biasa dan tidak akan kalah dari seniornya.
            Begitu meyakinkan bukan?
            Ternyata slogan di atas hanyalah sebuah daya tarik tersendiri yang dibuat oleh penerbit supaya pembaca penasaran dengan buku antologi ini. Jujur, ketika saya selesai membacanya rasanya tidak ada kaitannya sama sekali dengan slogan di atas yang begitu meyakinkan itu. Biar tidak penasaran, baiklah akan saya ceritakan saja bagaimana isi buku ini.
            Buku antologi ini merupakan karya dari Dang Aji. dkk. Featuring Akhi Dirman Al-Amin, Anam Khoirul Anam, Ifa Afianty, Riawanati Elyta, dan Riyanto El-Harist. Buku ini terdiri atas tiga kategori, kategori pertama terdiri atas 16 cerpen, kategori kedua  terdiri atas 11 kisah sejati sahabat facebook,  dan kategori terakhir terdiri atas 12 puisi.
            Ketiga kategori ini menceritakan tentang sebuah cinta dan persahabatan. Cinta kepada lawan jenis, suami, istri, kawan sejati, dan Tuhan. Tiap-tiap kategori mencirikan kekhasannya masing-masing.
            Tetapi, kekhasan disini bagi saya banyak yang kurang begitu menarik. Misalnya saja cerpen-cerpen dalam buku ini. Ceritanya kebanyakan klise dan membosankan. Hal-hal yang sudah kebanyakan orang alami diceritakan kembali dengan gaya cerita yang biasa. Misalnya dalam cerpen pertama buku ini yang berjudul “Dan Langitpun Berbias Ungu” karya Riyanto El-Harist, menceritakan tentang seorang Jupri yang ingin merantau ke kota, tapi tidak disetujui oleh ibunya. Tapi akhirnya ia nekat karena ia kasihan dengan adik-adiknya yang cacat itu. Tanpa dia bekerja, adik-adiknya akan makan apa. Di kota Jupri menemukan seorang sahabat yang sangat setia padanya, sayangnya temannya itu pun juga cacat. Hal ini mengingatkan ia pada adik-adiknya, dst…
Dalam cerpen ini ada beberapa keganjalan seperti, logika bercerita, alur/plot, konflik, dan tata cara penulisan (EYD dan tanda baca). Perhatikan penggalan cerita berikut: Tak banyak orang peduli di jam sesibuk itu, semua tak penting membantu orang cacat seperti Ridwan. (SMC, hal: 17), tetapi perhatikan juga penggalan dilembar berikutnya: Pihak aparat kampung setempat memang sengaja menitipkan lelaki kurus itu pada Ridwan. (SMC, hal: 18)
            Bagaimana ceritanya seseorang yang dibenci dan dijauhi, tiba-tiba dipercaya oleh banyak orang. Tidak ada penjelasan pula sebelumnya, kenapa bisa seperti itu. Cerita dalam cerpen ini pun menjadi cacat (teks). Begitu pun dengan alur cerita, menjadi di luar kemasan.
            Berikut juga dengan cerpen-cerpen yang lainnya, seperti dalam cerpen kedua “Julie Juliette” karya Riawani Elyta. Dalam cerpen ini, saya tidak menemukan titik permasalahan. Cerita terlalu datar dan dipaksakan. Serta cara penulisan pun masih asal, misalnya saja dalam tanda baca, masih terdapat banyak tanda baca elipsis (...)  yang diletakkan bukan pada tempatnya. Bahkan ada yang lebih dari lima titik, yang saya sendiri pun tidak tahu apa maksud penulis memberikan tanda elipsis sebanyak itu. Menjadikan tubuh teks semakin kurang indah dan rumit untuk dibaca.
            Begitu juga dengan cerpen “Anjar-Anjar dan Lelana” karya Denny Herdy. Dari paragraf awal pun sudah kurang begitu menarik, membuat saya (pembaca) malas untuk melanjutkannya. Cerpen “Tuhan, Titip Salam Untuk Donna” karya Inni Indarpuri tidak jauh juga isinya dengan cerpen karya Denny, yaitu menceritakan tentang Donna dan Yunita yang sudah bersahabat sejak kecil, tapi diakhir usia mereka berpisah dengan sangat tragis. Cerpen ini begitu bertele-tele. Ada pembagian babak dalam setiap peristiwa yang diceritakan. Tetapi pembagian babak yang ada tersebut tidak fokus pada satu cerita. Ceritanya meluas kesana-kemari. Jika dibilang novel pendek (novelet), mungkin bisa saja dibilang seperti itu. Selain itu dialog-dialog yang tidak penting pun banyak yang ditulis dalam cerpen tersebut secara berulang kali. Seperti, halo, assalamualaikum, dan sebagainya.
Dari sekian banyak cerpen yang saya baca, ada satu cerpen yang menurut saya cukup menarik, yaitu pada cerpen “Mangga Golek Impian” karya Dang Aji—yang merupakan penulis senior dalam buku ini. Cerpen ini menceritakan tentang seorang sahabat yang ingin sekali bertemu dengan sahabatnya yang berada di luar kota. Selama ini mereka hanya bertemu lewat facebook. Tapi akhirnya mereka pun bertemu meskipun harus menghadapi beberapa rintangan. Ending dalam cerpen ini sangat menarik. Tidak mudah terbaca. Mengejutkan. Logika dan alur cerita pun bermain dan mengalir indah. Tidak menggurui, tidak seperti cerpen-cerpen yang lainnya dalam buku ini.
            Untuk kategori yang kedua, yaitu 11 kisah sejati sahabat facebook. Saya hanya membaca sepintas saja. Karena kisah tersebut hanyalah sebuah cerita diary yang klise. Kurang begitu menarik. Dan menurut saya tidak perlu untuk dibahas.
            Langsung saja berpindah ke kategori tiga, yaitu puisi. Ada 12 penyair dalam buku ini. Kedua belas penyair tersebut adalah Adi Saputra, Rusmin Nuryadi, Ardy Kresna, Eka, Kemas, Azkiya, P. Abatasa, Asma Linda, A. Muhir, Bening, Adi, dan Anam. Dari kedua belas penyair tersebut ada beberapa yang sering memenangkan lomba cipta puisi baik lokal maupun nasional. Dan eksistensi mereka pun tergolong aktif dalam sebuah komunitas-komunitas sastra tertentu. Tapi, hal tersebut hanyalah sebuah prestasi yang menurut saya tidak patut untuk dibanggakan. Karena, terdapat banyak hal yang harus digaris bawahi jika ingin mengaitkan antara para penyair dalam buku ini dengan kredibilitas mereka diluar sana.
Dalam buku ini, pemilihan diksi para penyair  menurut saya masih kurang, penulis terlihat terburu-buru, datar, dan pencitraannya tidak tergambar sehingga ruh puisi tidak dapat dirasakan oleh pembaca. Pemilihan metafor-metafor yang artistik pula tidak muncul, sehingga membuat puisi-puisi yang ada dalam buku ini menjadi sepi dan abstrak. Akan tetapi tidak semuanya seperti itu. Ada satu-dua puisi yang sudah cukup mewakili. Misalnya puisi “Rumah Tua di Bulan Senja Kota Kita” karya Bening Sanubari,
            ....
            senja padam
            bulan sabit menggantung
            di teritis tua rumah kita
            : aku menunggumu kembali menjejakkan prasasti tentang renyah tawa
            juga getas tangis yang kita dendangkan dalam riuh pertemanan
            berkisah tentangmu. tentangku. tentang kita.
            di rumah tua kota kita.

            Bening sudah memberikan ruh pada puisi di atas, sehingga puisi tersebut berkesan hidup dan tidak jenuh untuk dibaca serta menimbulkan artistik yang berbeda dari kebanyakan puisi yang lainnya dalam buku ini.
            Kesimpulan saya diakhir tulisan ini adalah bahwa keksistensian seseorang tidak menjamin kualitas karya yang dihasilkan. Banyak membaca adalah kunci menghasilkan karya yang indah.

NB: Jika ada pembaca yang kurang setuju dengan tulisan ini. Saya mohon maaf. Saya hanya mengungkapkan kegelisahan saya pada buku ini. Semoga bermanfaat.




                                                    Penulis:
                                                    Encep Abdullah, Mahasiswa Diksatrasia Untirta.
                                                    Pecinta buku sastra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar