Sastra dan Kita

Selasa, 18 Januari 2011

SERIUS dan POPULER dalam SASTRA




Dalam dunia kesusastraan Indonesia mungkin kita sudah tidak asing lagi mendengar istilah sastra serius dan sastra populer. Kedua istilah tersebut acap kali bahkan sering kali menjadi perdebatan dikalangan akademis. Namun sebenarnya, apakah yang menjadi perdebatan pada kedua istilah ini?
Berbicara sastra serius berarti kita berbicara tentang agama, politik, budaya, cinta, sejarah dan semangat perjuangan Indonesia. Berbicara sastra serius pula berarti kita berbicara tentang sesuatu yang berat, membosankan, bahkan njelimet. Sastra serius (dibaca: karya sastra) sebenarnya sudah lahir sejak zaman sebelum era kemerdekaan. Misalnya saja, Siti Nurbaya karya Marah Rusli, Azab dan Sengsara karya Merari Siregar yang keduanya terbit di tahun 1920-an (oleh Balai Pustaka). Kedua karya sastra (novel) tersebut jika kita kaji bersama-sama pasti akan menimbulkan interpretasi (pandangan) yang begitu beragam. Dalam novel Siti Nurbaya, ada yang menilai Syamsul Bahri berperan antagonis dan ada pula yang menilai protagonis, begitupun dengan tokoh Datuk.
Lalu ada pula yang bilang Siti Nurbaya adalah kisah kawin paksa, dan ada pula yang bilang bukan. Nah, dari sinilah salah satu hal yang membuat karya sastra itu dikatakan serius. Penuh dengan perdebatan dan mengasah otak pembaca untuk berpikir. Jika kita kaji lebih dalam lagi, sebenarnya kisah Siti Nurbaya itu adalah kisah pemberontakan bangsa kita yang sedang dijajah dan ingin merdeka. Dalam Novel itu (Siti Nurbaya), Siti Nurbaya di analogikan sebagai bangsa Indonesia dan Datuk adalah di analogikan sebagai penjajah. Selain itu mungkin masih banyak lagi ruang yang masih bisa diinterpretasikan lagi oleh para pembaca.
Lain halnya dengan sastra populer. Sastra populer lebih mudah dicerna oleh para pembaca. Gaya bahasa yang digunakan pun tidak seberat gaya bahasa yang dipakai dalam sastra serius. Sastra populer seringkali disebut karya penghibur saja, bukan karya orang terpelajar (ada beberapa yang berpendapat begitu). Ya, memang karena isinya yang begitu lugas dan tidak membuat orang berpikir lama—bisa sekali baca, selesai. Coba bandingkan dengan membaca sastra serius—tidak akan memahami dengan sekali baca, mesti berulang.
 Sastra populer lahir sejak era 80-an, yang dipelopori oleh Hilman dengan serialnya “Lupus”, lalu menyusul Gol A Gong dengan serialnya “Balada Si Roy”. Keberadaan sastra populer hingga kini semakin menggeser keberadaan sastra serius di rak-rak toko buku. Namun pada dasarnya keduanya memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Sastra populer akan cepat hilang karena selalu mengikuti perkembangan zaman, lain halnya sastra serius yang akan tetap abadi sepanjang masa serta akan selalu menjadi bahan perbincangan di kalangan akademis. Semisal, karya Pramoedya A. Toer, Marah Rusli, Sapardi Djoko Damono, dll.
Namun yang menjadi permasalahan sekarang adalah terkadang orang-orang awan bingung menentukan mana karya sastra yang populer dan mana yang serius? Jawabannya mudah sekali sebenarnya. Jika karya tersebut sedang gencar dan membuming dan diberitakan dimana-mana, itulah yang populer. Di toko-toko buku begitu menumpuknya karya tersebut. Berbeda dengan sastra serius yang bukunya susah didapat dan masih bisa dihitung dengan jari jumlahnya. Lalu mana yang harus dipilih”? serius atau populer? Selera pembaca yang menentukan.



Penulis:

Encep Abdullah
Mahasiswa Diksatrasia Untirta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar