Setiap manusia pasti mempunyai keunikan tersendiri dalam hidup ini. Dalam artian setiap individu memiliki perbedaan yang sangat mencolok dengan individu yang lain. Baik itu dari segi fisik, sikap, maupun karakter. Ada yang ingin berjuang hidup dengan keglamorannya, kekayaannya, kemewahannya. Ada juga yang berjuang hidup dengan kesederhanaanya, namun pada intinya tetap satu tujuan yaitu mencapai kebahagiaan. Sama halnya dengan sebuah sajak, ia ditulis oleh seorang penyair lewat kata-kata, hidup matinya sebuah sajak adalah terletak pada kata yang ia bawa. Menulis sajak bukanlah seperti membuang sampah. Menulis sajak adalah kekuatan untuk bertahan hidup. Menulis sajak adalah persoalan yang harus diungkapkan, meskipun tidak ada jawaban. Setiap pengungkapan seorang penyair pun begitu beragam. Ada yang mengungkapkan dengan sajak panjang dan ada pula yang mengungkapkan dengan sajak pendek bahkan sangat pendek.
Akan tetapi apakah sebenarnya hakikat sajak panjang dan pendek?
Pada dasarnya, baik sajak panjang ataupun sajak pendek tetap saja dibilang sajak. Kebebasan seorang penyair tidak bisa diganggu gugat, karena semua itu berurusan dengan emosi. Apalagi jika emosi seorang penyair benar-benar membeludak, setiap kata yang ia lontarkan pasti akan mengalir dengan sendirinya. Namun, perlu ditelusuri pula kenapa seorang penyair menulis sajak panjang? kenapa pula ia juga menulis sajak pendek?
Berbicara sajak panjang, mungkin dalam benak saya langsung tertuju dengan sosok Rendra, sang Burung Merak dari Solo. Sajak-sajaknya selalu haus akan perpolitikan negeri ini. Sajak-sajaknya yang selalu menangis akan jeritan negeri ini. Namun disini saya tidak berbicara soal Rendra. Saya akan berbicara tentang sosok regenerasi Rendra. Siapakah dia?
Agus R. Sardjono-lah jawabannya. Ya, penyair kelahiran Bandung ini adalah sosok satu-satunya regenerasi sang Burung Merak. Rendra Sendiri mengakui akan hal itu. Dalam kumpulan puisi Agus R. Sardjono “Suatu Cerita dari Negeri Angin” Rendra mengatakan “Tidak ada generasi lagi setelah saya selain Agus R. Sardjonolah puncaknya.” Benarkah demikian?
Lihat saja dalam kumpulan puisi Agus R. Sardjono “Suatu Cerita dari Negeri Angin.” Dalam sajak-sajaknya, Agus bercerita melalui sajak-sajak panjang (kebanyakan), selain itu ia pun bercerita tentang perpolitikan sosial di negeri ini. Misalnya dalam sajaknya yang berjudul “Suatu Cerita dari Negeri Angin” yang merupakan judul Sampul bukunya, selain itu ada sajaknya yang berjudul “Sajak Palsu” yang bercerita tentang segala kepalsuan dalam negeri ini.
Sajak-sajak panjang Agus R. Sardjono bagi saya cukup menarik untuk dibaca. Ia bercerita begitu saja layaknya ia bercerita dalam sebuah cerpen. Gaya bahasa yang sederhana, lugas dan tidak njelimet, tidak seperti sajak-sajak orang (penyair) kebanyakan, yang begitu rumit. Sajak-sajaknya selain bercerita tentang politik sosial di negeri ini, ia juga bebicara soal cinta meskipun selalu ia kait-kaitkan dengan politik.
Lalu bagaimana dengan sajak pendek?
Berbicara sajak pendek, pikiran saya langsung tertuju pada sajak haiku. Apa itu sajak haiku? Haiku adalah salah satu bentuk puisi tradsional Jepang yang paling penting. Haiku adalah sajak terikat yang memiliki 17 silaba/sukukata terbagi dalam tiga baris dengan tiap baris terdiri dari 5, 7, dan 5 sukukata. Sejak awalnya, sering muncul kebingungan antara istilah Haiku, Hokku dan Haikai (Haikai no Renga). Hokku adalah sajak pembuka dari sebuah rangkaian sajak-sajak yang disebut Haikai no Renga. Hokku menentukan warna dan rasa dari keseluruhan rantai Haikai itu, sehingga menjadi penting, dan tak jarang seorang penyair hanya membuat hokku tanpa harus menulis rantai sajak lanjutannya.
Istilah Haiku baru muncul 1890an, diperkenalkan oleh Masaoka Shiki. Haiku boleh dibilang pembebasan Hokku dari rantai Haika. Haiku bisa berdiri sendiri, sudah utuh pada dirinya tanpa tergantung pada rantai sajak yang lebih panjang. Tokoh lain dalam reformasi Haiku ini adalah Kawahigashi Hekigoto yang mengajukan dua proposisi:
1. Haiku akan lebih jujur terhadap realitas, jika tidak, ada "center of interest" (pusat kepentingan, fokus perhatian) di dalamnya.
2. Pentingnya impresi penyair pada hal-hal yang diambil dari kehidupan sehari-hari dan warna-warna lokal (ini tidak jauh berbeda dari kaidah hokku, TSP).
Singkatnya, sejarah haiku muncul baru pada penggal terakhir abad ke-19. Sajak-sajak yang terkenal dari para empu jaman Edo (1600-1868) seperti Basho, Yosa Buson, dan Kobayashi Issa seharusnya dilihat sebagai hokku dan harus diletakkan dalam konteks sejarah haikai meski pada umumnya sajak-sajak mereka itu sekarang sering dibaca sebagai haiku yang berdiri sendiri. Ada juga yang menyebut Hokku sebagai "Haiku klasik", dan Haiku sebagai "Haiku modern".
Di luar Jepang, terutama di Barat (mungkin awalnya dari penerjemahan haiku Jepang) haiku mengalami degradasi(?) dengan absennya beberapa prinsip dasar hokku (haiku klasik). Pola sajak 17-silaba itu menjadi tidak ketat diikuti. Akhirnya haiku di barat hanya tampil sebatas bentuk pendeknya saja.
Haiku tidak memiliki rima/persajakan (rhyme). Haiku "melukis" imaji ke benak pembaca. Tantangan dalam menulis haiku adalah bagaimana mengirim telepati pesan/kesan/imaji ke dalam benak pembaca hanya dalam 17 silaba, dalam tiga baris saja!
Dalam bahasa Jepang, kaidah-kaidah penulisan haiku sudah pakem dan harus diikuti. Dalam bahasa lain, kadang sulit untuk mengikuti pola ini, dan biasanya menjadi lebih longgar.
Haiku bisa mendeskripsikan apa saja, tetapi biasanya berisi hal-hal yang tidak terlalu rumit untuk dipahami oleh pembaca awam. Bebarapa haiku yang kuat justru menggambarkan kehidupan keseharian yang dituliskan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan kepada pembaca suatu pengalaman dan sudut pandang baru/lain dari situasi yang biasa tersebut. Haiku juga mengharuskan adanya "kigo" atau "kata (penunjuk) musim", misalnya kata "salju" (musim dingin), "kuntum bunga" (musim semi), sebagai penanda waktu/musim saat haiku tersebut ditulis. Tentu saja kata-kata penanda musim ini tidak harus selalu jelas-terang.
Bagaimanapun juga, saat ini haiku di tiap-tiap tradisi bahasa mengikuti aturan-aturannya sendiri sesuai sifat alami bahasa di mana haiku tersebut dituliskan.
Bagaimana dengan haiku Indonesia?
Terbesit dalam benak saja, Wing Kardjo adalah orangnya. Ia merupakan salah satu sastrawan Indonesia yang menulis sajak haiku—mungkin satu-satunya. Dalam kumpulan puisinya “Pohon Hikayat” yang diterbitkan oleh Forum Sastra Bandung sebagai bentuk usaha pencapaian ia dalam hidup. Buku ini diterbitkan setelah ia meninggal.
Wing Kardjo yang merupakan dosen di salah satu universitas di Jepang. Mungkin karena keadaan geografislah itulah yang membuat ia menulis sajak haiku ini. Dalam kumpulan sajaknya, ia ingin keluar dari aturan-aturan yang sebenarnya. Ia konsisten dengan gaya 3 baris sajaknya. Meskipun di Jepang aturannya tidak seperti itu. Layaknya Chairil dan Sutardji yang membebaskan diri dan keluar dari jalur bentuk dan penulisan puisi yang seharusnya. Contoh salah satu sajak Haiku Wing Kardjo:
Dilemma
Menulis sajak
otak rusak. Berhenti.
Benak sesak.
Apa yang ada di dalam benak saya setelah membaca sajak haiku?
Sajak Haiku Wing kardjo bagi saya adalah sebuah sajak yang bisa menggubris batin dan pikiran saya. Dengan bahasanya yang singkat tersebut, otak saya (pembaca) menerawang kemana-mana. Sedikit kata, namun mempunyai banyak makna.
Perbedaan
Setelah membaca sajak –sajak panjang dan sajak sajak pendek (Agus R. Sardjono dan Wing Kardjo) saya mempunyai pandangan sebagai berikut:
Sajak-sajak panjang menuntut stamina si penyair dalam menjaga agar baris-baris sajaknya tidak jatuh membosankan. Sajak-sajak panjang yang hanya mengulang-ulang baris yang tak perlu, menghambur-hamburkan kata yang tak perlu, menambah-nambahkan kata/frasa/kalimat yang tak perlu hanya demi memanjang-manjangkan sajaknya bisa dipastikan gagal. Alih-alih merampungkan pembacaannya, seorang pembaca sajak semacam ini boleh jadi akan menghentikan pembacaannya setelah bait pertama.
Sajak-sajak panjang memerlukan energi lebih untuk menuliskannya, memerlukan kecermatan tinggi. Kalau sajak pendek bisa dianalogikan dengan cerpen, sajak panjang bisa dianalogikan dengan roman/novel. Setiap baris dan bait dalam sajak panjang dituntut mampu menahan minat pembaca untuk terus merampungkan pembacaannya. Sajak-sajak panjang nyaris tak mungkin dihasilkan dalam kerja sekali jadi. Sajak panjang bukanlah cerita jurnal yang sekali ditulis bisa berlembar-lembar. Sajak pendek menuntut kedalaman makna dalam kejernihan kristalisasi pengungkapan, sajak panjang menuntut kedalaman sekaligus keluasan wawasan batin si penyair. Dalam sajak-sajak panjang, penyair seakan dituntut mendemonstrasikan ketrampilannya mengunjukkan kekayaan diksi, kemerduan musikalitas, kedalaman hikmah dan keluasan bacaannya akan buku kehidupan.
Menulis atau membaca sajak panjang tidak lebih sulit atau lebih mudah daripada sajak pendek. Panjang atau pendeknya sebuah sajak tidak semata tergantung selera penyair tetapi lebih tergantung pada kebutuhan sajak itu sendiri. Sajak yang memang perlu pendek tidak usah dipanjang-panjangkan, sajak yang memang perlu panjang tak usah dipendek-pendekkan.
Kita sebagai penyair, cukupkan seperlunya saja dalam menulis. Itulah kesederhanaan sajakmu, kecantikannya yang jujur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar