Sastra dan Kita

Minggu, 02 Januari 2011

Pengamen Kaya dan Pengamen Gokil



            Dengan pakaian compang-camping Hendro menggendong gitar kesayangannya sambil menghisap sebatang rokok. Ia berjalan dari rumahnya menuju terminal Pakupatan  —memang jarak antara rumahnya dengan terminal tidak begitu jauh, sekitar 100 meter ke arah barat. Di terminal yang lumayan besar di kota Serang itu ia menjajakan dirinya semingu sekali saat sekolah libur, sekadar menghilangkan rasa penatnya saja dari tugas-tgas sekolah. Mekipun debu-debu banyak berkeliaran diwilayah terminal tersebut, tapi Hendro tidak mengurungkan niatnya untuk tetap menghibur para musafair sembari membantu rekan bermainnya itu mencari sesuap nasi.
            “Boy, dari tadi ditungguin, akhirnya datang juga.” Ujar Doni sambil memakan pisang goreng di warungnya, dengan kakinya yang diangkat satu di atas kursi kayu panjang.
            “Sorry Don, gue disuruh nyokap dulu nganterin belanja di Supermarket.” Sambil menepuk bahu Doni agak keras. Pisang goreng Doni keluar dari mulutnya. “Sialan lho!” ujar Doni.
            Doni bagi Hendro adalah teman bermainnya yang asik diluar jam sekolahnya. Doni adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ayahnya seorang penjual pisang goreng, kasian Doni harus menjadi tumpuan utama di keluarganya. Ia berhenti sekolah sejak kelas 5 SD karena orang tuanya tidak mampu lagi membiayainya sekolah—saat itu ibunya jatuh sakit karena keguguran adik keduanya.
            “Hen, ayo kita beraksi.” Itulah kata-kata yang selalu Doni lontarkan jika ia sudah siap untuk menghibur para penumpang bus. Ia mengambil gendangnya yang ada di warung.
            Mereka berdua segera berlari menuju sasaran pertama, bus Asli Prima. Sekarang tepat pukul 10.00 pagi. Mereka tahu bus Asli berangkat pukul 11. 30. Mereka bisa setengah jam menghibur para penumpang yang sedang menunggu keberangkatan bus. Lagu pertama pun meraka nyanyikan...
            Selang beberapa menit, ketika mereka sedang menyayikan lagu kedua yang berjudul “Darahmuda-nya Bang Haji,” mereka begitu tercengang ketika melihat ada seorang penumpang perempuan cantik masuk ke bus dan duduk di kursi depan. Rambutnya panjang bak mayang terurai. Lesung pipinya menghiasi wajahnya yang imut. Mereka berdua melongo dan berhenti menyanyikan lagu.
            “Gilaa...” Serentak mereka berdua kagum melihatnya tanpa banyak berkedip.
            “Mas... Mas... Mas..., kenapa berhenti main gitarnya? Mas...?” salah seorang penumpang bus menepuk bahu mereka bedua. Tapi mereka juga belum tersadar.
            “Woy...!” Bentak bapak kondektur karena menghalaginya jalan. Serentak mereka berdua pun kaget dan langsung melanjutkan lagu yang sempat terpotong. Nyanyian mereka makin ngawur, dari Darah Mudanya Bang Haji diganti menjadi I Love U Bibehnya—Changcuters dengan genre dangdut.          
Sebenarnya bukan sekali-dua kali mereka melihat perempuan cantik saat mengemen. Tapi bagi mereka perempuan yang dilihatnya itu, sangat berbeda dan istimewa. Karisma dari setiap lekuk tubuhnya seperti serdialog dengan lekuk tubuh mereka berdua. Usai bernyanyi, mereka berdua pun meminta uang kepada para penumpang. Khusus buat sang perempuan, mereka berdua berebut untuk berkenalan. Para penumpang yang lain menyaksikan aksi mereka berdua. Kedua lelaki itu tidak meminta uang tetapi minta nomor telepon perempuan itu. Tapi perempuan itu haynya diam seribu bahasa. Karena saking kesalnya dengan mereka berdua—sedari tadi menggoda terus—perempuan itu pun tersenyum lebar dengan tiba-tiba, dengan kagetnya mereka berdua sambil melompat serentak, kepala mereka pun terbentur atap bus. Mereka bedua saling bertabrakan karena berlari dari arah pintu yang berlawanan.
“Gila... gigi perempuan itu kagak nahan Boy... kayak abis ditabrak pesawat tempur aja...” ujar Doni sambil memeang detak jantugnya.
“Hahaha...” Mereka berdua tersenyum girang di warung Doni.
            Esok hari Hendro beraktivitas seperti biasanya. Wajahnya kembali putih bersih.

           
                                                                                                                        Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar