Sastra dan Kita

Minggu, 02 Januari 2011

Muhzen (Cerpen yang terbit di Radar)


 
Muhzen terus saja memerhatikan rupiah yang dipegangnya. Ia memutar-mutar lembaran yang bergambar Kapitan Pattimura itu sambil duduk termangu. Ia membayangkan angka nol dalam rupiah itu bertambah.
“Coba saja nolnya nambah dua lagi, mungkin cukup untuk membahagiakan istri dan anak-anakku dirumah.”
Apa yang dilakukannya dalam sebuah becak reyot itu hanyalah sebuah angan-angan belaka. Malam semakin larut, ia belum juga pulang. Lembaran rupiah Kapitan Pattimura baru ia renggut sepuluh lembar saja sejak pagi tadi. Wajahnya murung, ia tak tega pulang ke rumah tanpa membawa rupiah yang cukup. Tak seperti hari-hari sebelumnya, lebih dari cukup.
Muhzen adalah lelaki yang tegar dan sabar. Meski memang kebutuhan ekonominya sangat tercekik. Belum lagi buat biaya anaknya sekolah. Ia mempunyai dua anak. Satu perempuan dan satu laki-laki. Yang perempuan sudah menginjak kelas 2 SMP, sedangkan yang laki-laki baru masuk sekolak dasar. Terkadang uang tunggakan sekolah anaknya yang perempuan, selama tiga bulan pun belum ia bayar.
“Makan apa malam ini…” Pikirnya dalam hati. Sesekali ia membuka dompet yang ada di saku belakang celananya dengan perasaan pasrah. Terakhir kali anak dan istrinya hanya makan nasi dengan garam saja.
“Pasti mereka sedang kelaparan sekarang” Muhzen tak kuasa menitikkan air mata.
Terkadang ia sering cemburu terhadap orang-orang kaya yang ia lihat setiap hari di gedongan-gedongan kota Jakarta itu. Ia merasa iri melihat mereka yang dengan mudahnya mengencangkan isi perut istri dan anak-anak mereka. Ia sadar dulu ia tidak makan bangku sekolah. Mau tidak mau akhirnya pun ia menjadi seperti ini. Dan dia berpikir, jangan sampai anak-anaknya menjadi seperti dia.
Muhzen terus mengayuh becaknya. Ia nampak lelah, umurnya yang sudah menginjak kepala empat itu memang tak bisa dipungkiri lagi. Dalam perjalanan pulang ia selalu berangan-angan, andai saja ada durian runtuh yang jatuh menimpanya. Sesuatu yang jarang sekali ia pikirkan. Sedari tadi pikirannya memang tak pernah berhenti berangan-angan.
Kini ayuhan sepedanya mulai melemah. Ia beristirahat sejenak di sebuah pos ronda yang atapnya bolong-bolong. Ada empat pemuda disitu. Mereka sedang bemain kartu. Di sisi kanan-kiri mereka tergeletak beberapa bungkus rokok dan beberapa cangkir kopi yang masih hangat. Uang-uang ribuan hingga lima puluh ribuan tergeletak di tengah-tengah empat pemuda itu.
“Baru pulang Bang? Pasti banyak duit nih?!” Tanya seorang pemuda sambil membanting kartunya.
“Boro-boro banyak duit, buat beli sebungkus rokok saja rasanya tidak cukup.”
“Gabung aja sini! Kita main bareng!”
“Ah, perbuatan bejad.”
            Muhzen membaringkan tubuhnya. Tangannya menyilang di bawah kepalanya, tangannya ia jadikan sebagai bantal. Sambil menatap bintang-bintang yang terlihat dari atap pos ronda yang bolong-bolong itu, ia masih saja berangan-angan.
            “Andai saja aku banyak uang. Aku pasti sedang santai di rumah. Minum segelas teh sambil menonton tivi ditemani istri dan anak-anak. Hmm.... andai saja ada uang yang jatuh dari langit, ya... dua juta cukuplah.”
            “Yes... menaang...!!! hahaha... pasti istri gue seneng malam ini.” Pemuda tadi meluapkan kegembiraannya.
            “Sial...!!!” Keluh pemuda yang lain sambil membanting kartunya.
            “Gue cabut dulu, stok duit gue abis nih.” Pemuda itu pun pergi.
            “Sana! Ambil duit dulu yang banyak baru kesini lagi. Hahaha...”
            “Bang sini main! Lawan kurang nih!” Ajak salah seorang pemuda yang lain kepada Muhzen sambil menepuk siku kirinya.
            “Liat nih bang saya menang, banyak duit. Ah dari pada melamun yang tidak jelas begitu. Nunggu durian runtuhmah nggak bakalan datang-datang sampai kiamat juga” Duit yang dipegangnya di kipas-kipas ke wajah Muhzen.
            Muhzen berpikir dua kali untuk melakukan hal itu. Tapi bisikan setan terus membuyarkan keimanan Muhzen. Ia tergoyah. Dan akhirnya ia ikut dalam permainan  itu.
            “Abang punya apa buat dijadikan taruhan?”
            “Ini ada duit sepuluh ribu, gimana? Ditambah jam tangan jelek ini deh” ia melepaskan jam tangannya yang sudah agak sedikit berkarat.
            “Ah jam tangan jelek gitu, paling dua puluh ribuan. Tapi, ya sudahlah.”
            Malam pun terus beringsut. Mereka yang cuma memakai kolor dan kaos singlet itu menggigil kedinginan. Namun sesekali mereka mengisap sebatang rokok dan menyeruput kopi sebagai penghangat. Muhzen masih memilih-milih kartunya. Lalu ia menggertakan kartunya sebagai perlawanan. Pemuda yang lain pun tak kalah semangat. wajah-wajah mereka nampak terlihat serius. Kartu di tangan Muhzen masih tinggal sedikit lagi. Salah satu pemuda yang duduk di samping kirinya pun melirik-lirik kartu terakhir yang dipegang Muhzen. Pemuda itu nampaknya ragu-ragu untuk mengeluarkannya.
            “Poker...!” Pemuda itu menggertakan kartunya yang terakhir setelah pemuda disampingnya mengeluarkan kartu As-kriting nya.
            “Sial! Kalah deh” Keluh para pemain yang lain, termasuk Muhzen.
            “Masih berani main lagi Bang...?” Tantang pemuda yang menang itu.
            Muhzen mengerutkan dahinya. Ia sudah tidak punya apa-apa lagi. Ia merasa terpukul dan diremehkan oleh pemuda itu.
            “Masih mau main lagi nggak Bang?”
            “Ah, masa baru sekali main udah keok begitu!”
            Harga dirinya semakin terasa di injak-injak oleh pemuda-pemuda itu. Sepasang matanya tertuju pada sebuah benda yang selama ini menjadi tumpuan hidupnya. Tak banyak pikir lagi, benda itu pun dijadikan taruhannnya.
            “Maafkan saya, semua ini kulakukan untuk kalian, istriku, anak-anakku.” Dalam benaknya terlintas bayangan mereka yang sedang terbaring di lantai sambil mengelus-elus perut karena kelaparan. “Saya pasti datang membawa makanan buat kalian.” sambil membetulkan urutan kartu ditangannya.
            Malam benar-benar sudah larut malam. Mata Muhzen sudah berkelap-kelip. Pikirannya buyar dan tak fokus. Ia sering salah mengeluarkan kartu. Sehingga kesempatannya untuk menang sangat kecil. Lima batang rokok sudah habis di hisapnya. Beberapa gelas kopi pun sudah kosong, hanya cicak-cicak saja yang menyeruput bekas-bekasnya. Muhzen pun pindah posisi, yang tadinya duduk kini ia menjongkok. Sebenarnya ia sudah tidak kuat menahan lelah. Tapi ia berpikir semua itu dilakukan semata untuk keluarganya di rumah.  “Mau kapan lagi saya dapat uang” Gerutunya.
            Pemuda-pemuda itu pun sudah banyak yang menguap. Kopi-kopi dan rokok yang sudah mereka habiskan tidak bisa menjadi penghalang mata mereka. Satu per satu pemuda- pemuda itu pun tertidur sambil menggenggam kartu-kartu mereka. Hanya Muhzen saja yang masih bertahan meskipun matanya sedikit demi sedikit dinaikkan dan diturunkan.
            Melihat lawan-lawannya terkapar. Muhzen langsung menatap tajam uang yang berserakan, pun uang pemuda tadi yang menang, yang di taruh di bundelan sarungnya. Entah setan apa yang sudah merasuki pikirannya. Ia pun nekad mengambil uang-uang itu dan melarikan diri dengan becaknya.
            Ia terus mengayuh becaknya dengan kencang. Sembari melengos ke kiri-kanan, takut ada orang yang melihat.
            Jantungnya deg-degan tak karuan. Sebenarnya ia bimbang untuk melakukan hal ini, namun bisikan setan tak mampu membuatnya mengurungkan niat bejad itu.
            “Saya harus cepat-cepat sampai rumah.”
            Terus ia mendayuh becaknya dengan cepat.
            Beberapa menit kemudian, setelah ia melewati jembatan pertama menuju rumahnya. Tiba-tiba saja ia mendadak langsung mengerem laju becaknya. Dan ia berhenti sejenak di bawah pohon waru yang lumayan besar. Dari kejauhan, sekitar 20 meter darinya, ia melihat ada tiga orang sedang mengetuk-ngetuk pintu salah satu rumah warga. Ia terus memerhatikan ketiga orang itu. Mereka berpindah dari satu rumah ke rumah lain. Namun tak ada satu pintu pun yang dibuka. Ketiga orang itu, dua perempuan dan satu laki-laki. Kelihatan seperti seorang ibu dengan kedua anaknya. Mereka berpakaian agak lusuh.
            “Kok sepertinya saya kenal dengan mereka”     Muhzen mengusap-usap matanya. “Apa mungkin mata saya sudah rabun yah...” Ia semakin mendekati ketiga orang itu. Semakin dekat. “Sepertinya saya memang kenal mereka, tapi dimana yah?” Muhzen mengingat-ingat. “Astagfirullah, itu kan istri dan anak-anak saya...! Sedang apa mereka disini...” Langkah muhzen semakin mendekat, namun masih nampak ragu.
            Tiba-tiba saja, seorang anak perempuan dari ketiga orang itu jatuh pingsan setelah mengetuk pintu rumah yang tertulis Pak RT Kosim di papan nama di samping kiri atas pintu itu. “Ya Ampun memang benar itu Istri dan anak-anak saya, Ristiiii...” Muhzen pun menghampiri mereka dengan berlari.
            “Abah...?” Seru kedua orang yang masih sadar itu.
            “Emak, Andi, sedang apa kalian disini? Risti kenapa?” Muhzen merangul anak perempuannya yang pingsan.
            “Abah kemana aja, kami lapar sekali Bah...”
            “Ya ampun ibuu..., Andi, Risti, maafin Abah. Karena Abah kalian jadi sepert ini” Muhzen merangkul istri dan kedua anaknya sambil duduk di teras rumah Pak RT tersebut.
            “Ya sudah, ayo kita pulang! Lihat, abah bawa banyak uang. Semoga saja jam segini ada warung yang masih buka.”
            Muhzen menggotong anak perempuannya yang pingsan, lalu mereka sekeluarga berjalan menghampiri becak. Mereka berjalan pun kelihatan lambat, karena perut mereka yang kosong.
            Namun tiba-tiba saja terdengar teriakan beberapa orang dari arah sebelum jembatan itu. Langkah mereka semakin mendekati Muhzen dan keluarganya.
            “Maliiing....!!! Maliiing...!!! Maliiing....!!!” Suara itu terus semakin mendekat. Muhzen tidak sadar akan teriakan itu.
            “Naaah... itu becaknya!” tunjuk salah seorang pemuda yang menang main kartu itu. Ternyata beberapa menit kemudian ia terbangun setelah ia tertidur pulas, lalu melihat uang di sekelilingnya hilang dan ia membangunkan dua rekannya ditemani warga lain untuk mencari Muhzen.
            “Iya bener itu becaknya” langkah mereka semakin cepat.
            “Nah, itu dia malingnya tuh...!” tunjuk pemuda itu dengan tajam.
“Maliiiing....! Maliiiing....!” teriakan mereka membuat warga kampung setempat terbangun dan keluar rumah.
            Seketika Muhzen baru sadar, dialah yang menjadi incaran suara itu. Dan dengan lahapnya tubuh Muhzen dijadikan santapan pentungan warga.
Istri dan kedua anaknya hanya pasrah melihat kejadian itu.

                                                                                   
Serang, 24 Juli 2010





Tidak ada komentar:

Posting Komentar