Sastra dan Kita

Minggu, 02 Januari 2011

Wanita itu Bukan Isteriku


           
Aku memerhatikannya dari lantai bawah mal Ramayana Cilegon, aku duduk di samping pos satpam sambil menghisap sebatang rokok, sedangkan ia berada di lantai dua. Aku perhatikan setiap gerak-geriknya. Ia sedang sibuk memilih-milih baju dengan seorang perempuan sekira seumur dengannya. Wajahnya nampak terlihat kebingungan. Ia sesekali mencoba mengenakan baju-baju itu namun tidak memakainya, hanya menggoyang baju-baju yang di pilihnya saja ketubuhnya  ke kiri dan ke kanan. Ia memang begitu cantik, tubuhnya seksi seperti lekuk gitar kesayanganku. Rambutnya bak mayang terurai, panjang sebahu. Hidungnya terlihat mancung, mirip bintang film India. Benar memang apa kata Bos. Ia benar-benar sesosok perempuan sempurna. Pantas sekali Bos menginginkannya.
            “Apa yang harus saya lakukan Bos? Saya sudah menemukannya.” Aku hubungi bos lewat telepon genggam sambil mataku terus saja menatap tajam perempuan itu.
            “Jangan sampai lepas, cari tahu siapa dia! Dan bawa kemari!”
            “Baik Bos” Sambil kubuang puntung roko lalu kuinjak.
            Kembali lagi kutatap wajahnya, Seketika saja perempuan itu menghilang. “Sial!” kuinjak lagi puntung rokok itu. Lalu, aku pun bergegas berjalan naik ke lantai atas sambil kugunakan kaca mata hitamku yang kuambil dari saku belakangku.
            Dua-tiga kali aku bolak-balik dari lantai satu ke lantai lainnya. Namun jejaknya sudah hilang ditelan bumi. Mataku masih menyorot tajam setiap sudut tempat. Ah, aku benar-benar telah kehilangan jejak.
”Bisa mati aku...” mulutku tak ubahnya nyeletuk sendiri.
            Tak berpikir panjang lagi, aku segera turun dari lantai tiga menuju mobil hitam avanza milik bos. Hatiku tidak tenang sepanjang perjalanan. Mau kemana arah kutuju. Waktu terus berputar, waktuku tak banyak. Lima hari aku tidak menemukan identitasnya, nyawaku bisa melayang dengan pistol bosku. Sedang hari ini adalah hari keempat pencarianku akan identitas wanita itu.
            Baru kali ini aku disuruh memburu seorang wanita. Biasanya sasaranku adalah para lelaki kantoran yang berduit. Kuculik, lalu minta tebusan. Tak dapat tebusan, maka nyawalah yang akan melayang. Aku tidak bisa menghitung, sudah berapa banyak nyawa ya sudah aku binasakan. Sudah seperti tuhan saja.
Semenjak kepergian isteriku setahun silam karena diculik dan ditemukan dijurang dengan keadaan sudah tidak bernyawa lagi, aku berubah menjadi seperti ini. Yang kerjaannya mematai orang, menguras hartanya, lalu kuancam nyawanya. Sepertinya aku sudah menaruh dendam. Tapi kenapa semua orang yang harus aku jadikan korban. Aku sendiri bingung.
            Seketika lamunanku terbuyar, saat sepasang mataku tak sengaja menembus cermin toko kosmetik. Aku menemukannya kembali.  Aku belokkan setir mobilku ke parkiran. Aku memerhatikannya dari dalam mobil. Aku masih menunggu.
            Lima belas menit berselang. Ia pun keluar bersama seorang lelaki, sekira seumuranku. Wanita itu memeluk pinggang lelaki itu.
”Kemana teman perempuannya itu? Dan siapa lelaki itu?” Tanya aku dalam hati.           
            Mereka bergegas masuk ke dalam mobil. Nampaknya mereka sedang terburu-buru. Aku pun bersiap-siap dengan mengerang-erang gas mobilku.
Grem...grem...gremmm!

**
            Di sebuah tempat terpencil mereka berhenti. Mereka masuk ke sebuah rumah kecil seperti gubuk. Tempat ini sunyi. Gelap. Tidak banyak penghuni. Selain itu menyeramkan, karena di sampingnya adalah tempat pemakaman. Terlihat banyak kuburan yang masih segar, nampaknya barusan di kubur 2—3 hari yang lalu. Meskipun usiaku sudah berkepala empat tapi aku masih saja takut dengan hal seperti ini. Memang aneh.
            ”Ah lama benar mereka di dalam” Sambil kubuka sebungkus rokok yang ada dihadapanku. Kuambil lalu kuhisap dengan rasa gigil. Gigil yang menyeramkan. Hanya rokok ini yang bisa mengalihkan pikiranku agar tidak kemana-mana.
            Sudah kuhabiskan sepuluh puntung rokok tapi mereka belum juga keluar. Aku yakin yang mereka tempati bukan rumah mereka. Jadi aku masih tetap menunggu di sini. Kurang lebih sudah dua jam. Sekarang sudah pukul 23.00. Aku pun tak sabar lagi. Penasaran. Lalu aku pun keluar dari mobil meski dengan rasa takut, setan.
            Dengan lirik kiri-kanan, aku mengendap-endap menuju rumah itu. Rumah itu terlihat begitu mistis. Di depan rumah itu banyak patung-patung anjing dan harimau serta terpajang kepala-kepala rusa dan semacam tengkorak manusia. Semakin membuat bulu kudukku merinding.
            Aku mengintip dari jendela samping yang sedikit terbuka. Dengan kaki menjinjit, pegal rasanya. Tak tahan dengan rasa sakit ini. Aku pun mengambil sebuh kursi yang tergeletak di teras rumah itu, meski sudah reyot.
”Nah, barusan dengan ini terlihat jelas.” Aku pun naik kursi itu.
             Sontak aku, saat melihat posisi wanita itu. Ia sedang kesakitan. Di sebuah ranjang bambu perutnya sedang dipijit-pijit oleh seorang nenek tua. Entah siapa itu. Darah bercucuran di sela-sela kedua kaki wanita itu, sarung yang ia kenakan banjir darah. Sedang lelaki yang menemaninya itu terlihat begitu cemas sambil  menjambak-jambak rambutnya sendiri. Sesekali ia menggigit jari telunjuknya. Sedangkan wanita itu masih saja mengerang kesakitan.
            Gubrak...!!! tiba-tiba saja aku terjatuh dari kursi yang reyot itu. ”Sial!” Aku pun langsung berlari menuju mobil. Sambil kubersihkan baju-bajuku yang kotor. Cukup sampai disini saja pengintaianku malam ini. Aku pun bergegas pulang.

***
            ”Bego! Kenapa kamu tidak terus intai mereka hingga selesai! Percuma saja kalau begitu! Yang saya inginkan cuma dia bukan alamat rumah dukun itu! Ngerti!”
            ”Maaf Bos.” tanganku menyilang ke bawah sembari menundukan kepala.
            ”Oke, saya kasih waktu kamu tiga hari lagi. Jika tidak, kamu tahu sendiri akibatnya.” Bos pun pergi dari ruang kerjanya.
            Aku sudah terlanjur kontrak perjanjian dengan bos di atas materai. Dengan nominal uang yang lumayan mengiurkan, 50 juta rupiah. Aku benar-benar gila. Sebenarnya, apa yang sedang aku lakukan ini. Entahlah. Tapi aku sudah biasa seperti ini. Ini sudah menjadi pekerjaanku sejak isteriku pergi.
            Hari ini aku kembali beraksi. Aku temui tempat yang kemarin, sekiranya aku bisa mendapatkan informasi dengan bertanya pada nenek tua itu tentang wanita dan lelaki yang kemarin datang. Dan akhirnya aku pun tahu jawabannya.
            Mereka adalah sepasang kekasih. Wanita itu bernama Rini. Ia bekerja di toko kosmetik di Cilegon. Ia adalah wanita simpanan lelaki itu. Dan lelaki itu bernama Ucok. Dia adalah pegawai kantor perusahaan elektronik di kota Serang. Mereka datang di kediaman nenek itu untuk menggugurkan kandungan Rini. Kasihan sekali wanita itu. Aku tak habis pikir, kenapa wanita selalu menjadi korban. Seketika saja aku pun teringat akan bayang-bayang isteriku. ”Semoga engkau tenang di alam sana sayang.”
            Malam ini, tepat malam minggu. Aku menghampiri toko kosmetik yang kemarin itu. Barangkali ia sedang ada di sana. Dan dugaanku tepat. Sesampainya di toko, aku pun masuk dan pura-pura menjadi pembeli. ”Ah, malu sekali aku masuk di toko seperti ini. Ini kan tempat para wanita.” Dalam hati aku menggerutu. Terpaksa.
            Di setiap celah-celah barang-barang yang menumpuk aku meliriknya sekali-dua kali. Ia terlihat pucat sekali. Mungkin akibat aborsi kemarin. Ia duduk sambil memijat-mijat keningnya.
            ”Kamu kenapa Rin?” tanya teman perempuan yang duduk disampingnya.
            ”Nggak apa-apa kok, hanya sedikit pusing saja.”
            ”Kalau kamu sedang tidak enak badan jangan di paksain. Ya sudah, lebih baik kamu pulang dan istirahat. Biar aku yang menghubungi Mas Ucok agar dia bisa mengantarmu pulang.”
            Selang beberapa menit kemudian, lelaki itu pun datang menjemput Rini. Dengan cepat ia membawa Rini menuju mobil. Namun ia nampak kasar menarik Rini. Terdengar celetukan lelaki itu di telingaku ”Kamu ini merepotkan! Tidak tahu apa, aku tadi sedang senang-senang di kafe!”
            ”Menurutku lelaki ini adalah lelaki yang tidak beres. Sudah punya isteri, tapi mainannya banyak.” Dari celah barang-barang di toko itu aku masih menatap mereka. Tak lama kemudian setelah mereka menyalakan mesin mobil. Aku pun keluar. Aku mengikuti arah kemana mereka pergi.
            Di tengah perjalanan, tiba-tiba saja mereka berhenti di jembatan gantung. Terlihat dibawahnya adalah jurang. Air di bawah mengalir deras, terdengar bergemuruh di telingaku. Meskipun aku berada di dalam mobil. Aku bingung, mau apa mereka di tempat seperti ini. Aku pun berhenti tak jauh berada di belakang mereka, sekira 30 meter jarak antara mobilku dengan mobil lelaki itu.
            Lelaki itu keluar dari mobilnya. Ia membuka pintu dari arah tempat duduk Rini. Lelaki itu menarik Rini dengan kasar, lalu menamparnya.
            ”Lebih baik kamu mati saja ke jurang! Aku sudah tidak membutuhkanmu lagi! bagiku kamu sudah tidak segar! Kamu hanya merepotkanku saja!”
            ”Mas, kamu apa-apaan sih! Apa salah saya?  Kamu itu nggak jelas!”
            ”Aku sudah muak bercinta denganmu!” Ditampar lagi wanita itu. Lelaki itu pun berusaha menjatuhkan Rini ke Jurang. Namun Rini tetap melawan. Ia memegang sisi pintu mobil agar ia tidak terlempar. Lelaki itu terus berusaha melepaskan genggaman tangan Rini dari pintu mobil. Akhirnya tangan Rini pun lepas. Namun Rini masih berusaha melawan dengan menendang kemaluan lelaki itu. Rini lepas dari genggaman Lelaki itu. Ia pun berlari menuju ke arahku.
            ”Pak, tolong saya pak! Tolong sayaa...!” Ia menggedor-gedor kaca mobilku. Namun aku tetap diam ditempat.
            Tak lama lelaki itu pun menghampiri Rini kembali. Ia hempaskan pukulan di kepala Rini. Ia benturkan kepala Rini di kaca pintu mobilku. Wajah Rini di dorong di kaca sehingga dengan jelas sekali aku melihat air mukanya yang begitu mengharapkan pertolongan. Tiba-tiba saja wajahnya, wajahnya yang barhidung mancung itu mengingatkanku akan bayang isteriku. Aku terus menatapnya, memerhatikannya dengan seksama. Seketika saja wajah itu pun berubah menjadi wajah isteriku. Hatiku merasa ingin memberontak. ”Aku tidak terima jika isteriku dianiaya seperti ini.” Langsung saja kubuka pintu dengan hentakan amat keras. Aku pun keluar dan menghajar lelaki itu habis-habisan tanpa memberi ampun, sampai ia tersungkur tak berdaya. Aku semakin teringat dengan isteriku yang mati di tempat seperti ini. Aku berpikir mungkin dialah yang membunuh isteriku waktu itu. Tapi entahlah. Saking kesalnya aku ludahi ia. Aku injak-injak tubuhnya. Aku merasa puas. Dan seketika saja Rini langsung memelukku. Erat, sangat erat. Aku merasakan kehangatan tubuh isteriku pada tubuhnya. Pelukannya, pelukan mesra itu. Pelukan yang sangat aku rindukan dengan isteriku. ”Pak, tolong bawa aku pulang.” Pinta ia sambil menahan isak tangisnya.
Sepanjang perjalanan pulang, tak hentinya aku melirik wajahnya. Memerhatikannya dengan seksama. Mulai dari matanya, hidungnya, bibirnya. Semua itu, benar-benar persis seraut wajah isteriku. Aku tak sanggup bila harus menyakitinya.
Esok hari di ruang kerja,
”Maafkan saya Bos, saya tidak bisa membawanya kemari” dan peluru itu, langsung menembus kepalaku. MUNCRAT!


           
                                                                                           Pontang, 16 September 2010       

             
           
           
           
           

                       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar