Sastra dan Kita

Minggu, 02 Januari 2011

Dona, Tunggu Aku Satu Tahun Lagi


 
Irfan masih memandangi foto Dona di kamarnya. Ia tatap tajam foto kekasihnya itu, ia cium lalu dipeluk erat-erat didadanya. Baginya bayangan Dona tidak akan pernah hilang dari pikirannya. Gadis manis berlesung pipi itu sudah membikin hati irfan terlena dan membuat ia tak mampu berpaling pada gadis lain.
“Selamat ulang tahun yah. Semoga umurmu panjang.” Ujar Dona setahun yang lalu di rumah Irfan sambil memberikan sebuah kado kecil berisi dua cincin yang terukir nama mereka berdua.
“Makasih yah sayang.” Ucap Irfan, sambil mengecup kening Dona. Wajah Dona sedikit memerah, tersipu malu.
“Semoga kado ini membuat kita semakin menyatu dan tak terpisahkan.” Ujar Dona dengan tatapan matanya yang menyorot tajam di mata Irfan. Irfan hanya mengangguk pelan.
Ucapan ulang tahun itu, sudah genap yang keenam Dona lontarkan pada Irfan. Terhitung semenjak mereka belum berpacaran. Kado-kado yang Dona berikan sejak pertama kali selalu Irfan simpan baik-baik, sebagai wujud rasa menghargai atas segala pemberiannya. Hadiah dari Dona itu mungkin sudah penuh menghiasi meja belajar Irfan di kamarnya.
Bagi Irfan memiliki Dona adalah suatu anugerah terindah yang diberikan oleh Tuhan padanya. Semenjak kelas 3 SMA, mereka sudah menjalin kasih. Jika dihitung hingga hari ini, mereka sudah berpacaran selama tiga tahun. Kini mereka berdua tengah berkuliah di kampus yang sama, namun berbeda jurusan. Irfan, jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, sedangkan Dona jurusan Biologi. Meskipun berbeda jurusan dan jarak gedung antara Dona dan Irfan lumayan jauh, tapi mereka selalu menyempatkan diri untuk bertemu setiap hari. Kini mereka juga tengah menyusun laporan akhir kuliahnya (dibaca: skripsi).
“Kapan yah kita lulus?” Ujar Dona dengan nada pelan.
“Insya Allah secepatnya.” Jawab Irfan sambil memerhatikan Dona dengan seksama. Dona menyedot jus jeruk yang ada di meja samping kirinya. Begitupun Irfan.
“Aku nggak mau lama-lama di kampus ini. Aku perempuan. Kata Ibu, aku tidak boleh menunda-nunda untuk cepat menikah. Yah, semoga saja kita bisa cepat-cepat lulus dari kampus ini.”
“Amin.” Singkat jawab Irfan, seperti ia tak mau menjawab panjang lebar, ia tidak terlalu menghiraukan pernyataan tentang nikah. Irfan menarik nafas panjang lalu mengeluarkannya secara perlahan.
Pernikahan bagi Irfan bukanlah harapan yang ingin ia wujudkan dalam jangka pendek ini. Ia masih ingin fokus belajar. Rencananya setelah lulus S-1 ia ingin melanjutkan kuliah ke S-2. Lebih-lebih ia berharap ingin jadi profesor. Bayangan menikah dalam benaknya belum terbayang sama-sekali. Sebenarnya Irfan agak sedikit syok dengan pernyataan Dona tentang nikah itu. Ia tidak menceritakan kebimbangan hatinya itu pada Dona. Ia takut menyakiti hati Dona.
**
            Irfan mengusap-usap matanya, dengan penglihatan matanya yang masih samar-samar, sontak saja ia kaget dan langsung berdiri ketika melihat jam di dinding kamarnya itu sudah menunjukkan pukul 08.00. Tidak terasa hari ini adalah hari penentuannya dimana ia harus mempertanggungjawabkan tulisan yang dibuatnya.
            “Ya, Tuhan....” Sambil terburu-buru, ia bingung harus melakukan apa. Sambil menggaruk-garuk kepalanya, dengan lekas ia pergi ke kamar mandi. Setelah itu ia bongkar dan mengacak-acak lemari di kamarnya. Sibuk memilih-milih baju apa yang akan ia kenakan untuk sidang skripsi hari ini. Wajahnya terlihat semakin pucat saja. Beban-beban sepertinya sedang berkeliling di kepalanya. Dalam benaknya telintas kata—GAWAT.
            Akhinya pagi itu ia berangkat dengan kemeja batik panjang. Terlihat seperti pejabat saja penampilannya. Ia tidak punya waktu lagi. Sidang ini tidak bisa di tunda-tunda. Jika telat, maka ia harus rela menunggu setahun lagi untuk sidang skripsi.  Ia kebagian sidang tepat pukul 08.30, sepanjang perjalanan di bus pikirannya tidak karuan, melayang kesana-kemari.
            “Apa yang harus aku lakukan ya Tuhan... tolong aku.” Wajahnya nampak seperti bulan kesiangan, semakin pucat. Tak henti-hentinya ia melirik arloji di tangannya.
            Tepat pukul 10.00 ia tiba di kampus. Ia sudah telat satu jam. Ia berlarian dari pintu gerbang ke gedung sidang. Rambutnya yang panjang lurus itu tersibak angin pagi yang sepoi-sepoi, semakin berantakan saja penampilannya—kusut.
            Dengan seraut wajah seperti cacing kepanasan, Irfan pun masuk ke ruangan sidang skripsi. Terlihat teman-temannya sudah cukup rapi dan duduk tenang pada nomor urut  di tempat duduk masing-masing. Matanya langsung menyorot tajam pada tempat duduk yang bernomor urut tiga, dengan cepat ia pun duduk paling depan. Teman-temannya menatap heran pada Irfan—jam segini baru datang.
            “Nomor urut 5!” Seru asisten Dosen memanggil nomor urut sidang berikutnya.
            “APA?!” Irfan tersontak kaget sambil berdiri lalu ia duduk lagi. Ia mengerutkan kening di dahinya. Menjambak rambutnya. Ternyata Ia sudah tertinggal dua angka. Bayangan untuk cepat lulus membuyar di kepalanya. Keringat dingin mengucur deras di tubuhnya.
            “Dona, Dona, Dona, Donaaaa...!” Batinnya menjerit. Pikirannya tidak akan lepas dari Dona. Pernyataan yang pernah Dona lontarkan tentang ingin cepat lulus masih terngiang di otaknya.
Irfan masih duduk cemas di kursinya. Tidak lama kemudian ia berdiri dengan perasaan penuh kecewa. Ia pun pergi meninggalkan ruangan.
“Impianku pupus sudah. Donaaa......!!!” Ia menjerit dalam ruang kelas yang sepi.
Tiba-tiba di kantong celana depannya terasa sebuah getaran kemudian menyusul nada dering ungu “percaya padaku.” Dilhatnya nama pada layar putih kecil miliknya itu, “Dona”.
Seraut wajah Irfan seperti orang yang sedang memilih antara hidup dan mati. Darah disekujur tubuhnya seakan mendadak berhenti. Dona tahu bahwa hari ini Irfan sedang sidang skripsi.
Sudah tiga kali nada dering ungu itu berputar, namun Irfan masih bimbang untuk mengangkat telepon dari Dona. Ia hanya bisa mengayun-ayunkan hp-nya itu ke kiri dan ke kanan lalu ke atas dan ke bawah.
“Ya tuhan...” Lirih batin Irfan yang semakin tercekam.
Akhirnya Irfan meninggalkan ruangan dan ia pergi entah kemana.
**
            “Kok telepon aku nggak diangkat? Bagaimana sidang tadi pagi? Sukses?” Tanya Dona sore itu di rumah Irfan.
            “Maaf.” Jawab Irfan tanpa panjang lebar. Tanpa menjelaskan sedikitpun perkara yang tadi pagi ia alami.
“Kamu aneh.” Sambil menatap heran pada Irfan.
“Nggak kok, nggak apa-apa.”
“Kok pertanyaaku tidak dijawab?”
“Pertanyaan yang mana?” Irfan pura-pura tidak tahu.
“Itu, yang tadi.”
“Oh.” jawab Irfan dengan singkat.
Dona merasa kesal dengan jawaban Irfan yang tidak jelas. Irfan menjelaskan kalau sidangnya ditunda minggu depan. Dona dua kali menghelakan nafas. Bingung menyikapi sang kekasihnya itu.
“Semoga sukses yah sayang.” Dona memeluk Irfan dengan mesra. Tapi Irfan hanya diam. Ia merasa dirinya jahat, telah membohongi Dona. Irfan memikirkan apa akan ia lakukan ke depan. Ia tidak mau mengecewakan Dona. Dona sudah memberikan segalanya buat Irfan. Irfan tidak mau membalas semua kebaikannya itu dengan sia-sia.
**
Malam itu, Irfan duduk di depan layar komputernya. Sepertinya ia ingin  meluapkan semua perasaannya. Jari-jari dari bagian tubuhnya yang agak sedikit atletis itu pun mulai meremas-remas huruf alfabet pada tubuh keyboard komputernya. Matanya yang bulat cokelat itu menitikkan butiran-butiran air mata yang hangat. Air matanya membasahi jari-jari tangannya. Keyboard pun terasa licin, basah air matanya.
Kumandang adzan subuh pun terdengar. Irfan terbangun dari tidur lelapnya semalaman. Irfan langsung menatap layar komputernya yang masih menyala, ia melihat sudah lima halaman ia tulis. Sebagai anak bahasa dan sastra, tulisannya itu pun terangkai indah dan bagus. Ia pun berinisiatif untuk mengirimkan karyanya itu di media massa—tulisannya memang sudah sering tercecer di media massa, jadi ia optimis karyanya itu bisa menembus kembali koran lokal di kotanya itu. Ia ingin berbagi dengan masyarakat akan kisah konyol yang dialaminya itu.
Usai menulis sebuah karya, Irfan melewati hari-harinya masih dengan rasa kecewa. Perasaan yang ia luapkan lewat tulisan itu tidak mampu meredam kegelisahannya. Ia merasa dirinya telah berdosa pada Dona. Dona yang selama ini setia dan tulus, kini sedang di kadalinya dengan tidak terhormat.
“Dona, bagaimana sidang skripsimu?” Suatu pagi di kantin kampus. Irfan tahu kalau kemarin Dona sudah menjalankan sidang skripsinya.
“Alhamdulillah berjalan lancar Ay. Kamu sendiri?” Dona balik bertanya. Irfan kembali menghela nafas.
“Ya, aku juga Alhamdulillah lancar.” Kembali Irfan berbohong. Padahal ia sama sekali belum menjalankan sidang skripsi.
“Semoga hasil akhir kita memuaskan.”
“Semoga saja.” Irfan mengalihkan pandangannya dari Dona. Hatinya benar-benar ingin menjerit. Semakin hari ia semakin merasa bersalah saja dari apa yang dilakukannya itu.
**
            Minggu pagi, tiba-tiba Dona merasa tidak enak badan. Badannya terasa nyeri dan mual. Mungkin karena banyak pikiran yang sedang melanda akhir-akhir ini—memikirkan sidang skripsi dan pengumuman akhir sidang, di tambah lagi pernyataan dari ibunya yang menyuruh Dona supaya cepat-cepat menikah. Seharian ini sepertinya Dona akan beristirahat saja di rumah, tidak berpergian—biasanya kalau minggu adalah hari mainnya dengan Irfan.
            Tidak biasa, Irfan pun yang biasanya hari minggu selalu mengajak Dona bermain dengan mengabarinya lewat telepon, namun sampai detik ini pun telepon dari Irfan belum terdengar juga di hp- Dona.          
Hari minggu yang aneh. Ketik status Dona di dinding fesbuknya lewat handphone, sambil ia beselimut hangat dikamarnya.
Tok...tok...tok...
Tiba-tiba terdengar ketukan dari pintu kamar Dona.
“Dona... ayo sarapan dulu, terus minum obat.” Suruh ibunya dari balik pintu.
“Iya bu, sebentar.”
Tak lama kemudian Dona pun keluar dari kamarnya, ia masih mengenakan baju tidurnya yang semalam. Mukanya agak pucat. Ia pun berjalan menuju dapur sambil memegang-megang perutnya. Ia mencuci muka dan menggosok gigi terlebih dahulu sebelum ia menuju meja makan.
Mukanya sudah agak sedikit segar. Ia sudah tidak tahan ingin cepat sarapan dan meminum obat. Namun tidak biasanya, pagi itu ia ingin menyentuh koran (minggu) yang ada di tempat meja ayahnya itu—koran langganan ayahnya.
Dilihatnya halaman perhalaman koran itu. Dengan kagetnya Dona melihat dalam kolom sastra, tertulis karya atas nama “Irfan Prasetyo” dengan judul cerpennya “Satu Tahun Lagi.” Dona membacanya dengan seksama tanpa banyak berkedip. Ia begitu tercengang saat membaca untaian kata pada akhir cerpen Irfan.

Maafkan aku sayang. Aku telah berhianat padamu. Tunggu aku satu tahun lagi.

Dona tahu apa isi dari cerpen kekasihnya itu. Apalagi kata-kata terakhir dalam cerpen itu. Air mata Dona mengalir membasahi pipinya yang lembut. Ia tidak jadi sarapan dan minum obat pagi ini. Sudah tidak berselera lagi baginya. Kini batinnya seperti tertusuk sebuah pisau tajam. Air matanya semakin mengalir deras. Ia merasa dirinya sudah dicampakkan oleh kekasihnya. Tak lama kemudian ia berjalan menuju kotak tempat menyimpan pisau di dapur. Matanya menyorot tajam pisau itu. Pikirannya sudah melayang-layang kesana-kemari. Sambil memegang pisau, ia tatap tajam koran itu sambil berkata,
“Koran ini akan menjadi saksi atas segala perbuatanmu. Selamat Tinggal...” Darah pun mengalir deras di dapur.
Sore hari kabar ini terdengar di telinga Irfan. Ia baru sadar kalau seharusnya karya itu tidak di publikasikan ke media, Irfan tidak tahu nantinya akan seperti ini. Semuanya sudah terlambat.
            Satu tahun pun berlalu. Dikamarnya, kembali Irfan memandangi foto kekasihnya itu, Irfan hanya bisa berkata,
            “Dona, andai saja kamu masih ada disini sekarang, pasti aku akan langsung meminangmu, detik ini juga. Dona, aku masih ingat dengan kata-katamu dulu. Lihat, kini aku sudah lulus dengan hasil yang memuaskan. Tapi apalah daya, percuma semua itu aku dapatkan jika tanpamu. Tuhan, aku hanya ingin berpesan pada-Mu. Tolong jaga bidadariku disana. Sampaikan salam maafku untuknya. Disini aku sangat merindukannya”.

                                                                                         

Desember 2010

           


           

           



           
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar