Sastra dan Kita

Minggu, 02 Januari 2011

Bukan Perempuan Biasa


 
“Aku akan selalu ada disampingmu. Meski jiwa dan ragaku terkuras. Harta kita pun terkuras. Emas-emas dagangan kita dulu habis oleh penyakitmu. Dan hingga sejauh ini, Tuhan pun masih menguji kita.” Minah berdialog dengan suaminya, meski tak pernah ada balasan dari mulut suaminya itu. Sambil mangangkatnya dari tempat tidur lalu mengikatnya dengan kain hitam sampai suaminya benar-benar menancap di punggungnya. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 06.00, mungkin para pelanggannya sudah menunggu di depan pintu rumah mereka masing-masing. Sudah menjadi kebiasaan sehari-hari seperti ini dalam kehidupan Minah. Badannya yang terlihat masih kekar dan kuat meski sudah berumur 42 tahun. Karena pada masa mudanya dulu ia selalu bergelut dengan dunia olah raga. Sehingga sampai detik ini, dengan kebugarannya ia bisa membawa suaminya itu menancap di punggungnya, sekira selisih tiga tahun dari umurnya. Badan suaminya tidak seindah dulu, berotot. Sekarang, tinggal tulang-tulangnya saja yang Minah bawa. Dagingnya sudah habis di makan virus.
            Minah mendorong gerobaknya dengan keringat bercucuran. Padahal ia baru saja menginjakkan kakinya di rumah pelanggannya yang pertama. Ya, setiap pagi selalu begitu. Sedangkan suaminya yang lumpuh itu selalu dibaringkan di teras rumah setiap kali ia melayani pembelinya—rumah siapa pun.
            ”Mbak, kenapa sih si bapak selalu dibawa-bawa? Kenapa tidak ditinggal saja di rumah?” Salah seorang pembeli bertanya.
            ”Kekuatan saya akan selalu ada jika ia ada di samping saya. Ia adalah segalanya bagi saya.” Jelas Minah dengan penuh keyakinan.
            ”Emang keluarga Mbak kemana?”
            ”Mereka sudah tidak mau peduli lagi dengan keadaan kami. Mereka enggan mengurusi orang lumpuh. Apa boleh buat saya harus berjuang keras menjalani hidup ini.” Sambil memotong lontong dagangannya.
            “Anak Ibu?”
            “Anak?” Ia berhenti memotong-motong lontong. Tiba-tiba matanya menatap tajam awan langit yang mendung diatasnya. Terlintas dalam benaknya bayangan itu.        
            Lima belas tahun yang lalu, Minah masih nampak ceria dengan rumah tangganya. Dengan diberikannya seorang anak perempuan yang amat lucu. Sekira sudah berumur tiga tahun. Anak perempuannya itu bagaikan cahaya yang selalu menerangi gelapnya lampu hidup. Kehidupan Minah dan suaminya penuh dengan warna dan keceriaan. Namun sayang, kejadian yang tidak diiinginkan  terjadi. Anaknya meninggal dunia karena tersambar petir akibat kelalaian kedua orang tuanya saat hujan lebat turun. Anak itu keluar rumah saat melihat banyak air berjatuhan di luar. Seketika anaknya hangus seperti ayam panggang. Dan sejak itulah suaminya pertama kali terkena serangan jantung. Namun Minah sabar menghadapi cobaan itu. “Tuhan selalu menyertaiku” Dalam hatinya.
            “Mbaaak....” Pembeli itu menepuk bahu Minah dan seketika minah pun tersadar dari lamunannya. Kembali ia memotong-motong lontongnya.



***

Minah melangkahkan kakinya kembali ke pelanggan selanjutnya. Suaminya pun ia gendong kembali dengan penuh kasih sayang dan keikhlasan tiada tara. Sebelumnya ia meminumkan obat terlebih dahulu agar suaminya itu tidak kejang-kejang—biasanya begitu jika tidak diberi obat. “Aku harus tetap kuat... harus!” Gerutunya.
Sekitar 100 meter ia berjalan dari pelanggannya yang pertama, ia pun sampai di depan rumah pelanggannya yang kedua. Terlihat pelanggannya yang kedua sudah menunggu disisi pintu rumah. Minah mengangguk sambil tersenyum, menandakan ia sudah siap melayani pelanggannya yang kedua itu. Dibaringkannya kembali suaminya itu. Namun kali ini ia membaringkannya di sofa pelanggannya—tidak seperti biasanya.
“Sudah tidak apa-apa, baringkan saja disitu.” Jelas pelangganya yang muda dan berwajah tampan itu.
“Terima kasih Den” Dengan rasa ketidakenakannya pada pemuda itu.
            Pemuda itu pun menyerahkan dua piring kepada Minah. Satu piring untuk istri pemuda itu. Lalu pemuda itu pun bertanya,
            “Ibu, kenapa si bapak selalu dibawa-bawa jualan? Kenapa tidak ditinggal saja di rumah?” Pertanyaan yang sama dengan sebelumnya.
            ”Kekuatan saya akan selalu ada jika ia ada di samping saya. Ia adalah segalanya bagi saya.” Jelas Minah dengan penuh keyakinan. Seperti halnya ia menjawab pertanyaan dari pelanggannya yang pertama.
            ”Keluarga Ibu?”
            ”Mereka sudah tidak mau peduli lagi dengan keadaan kami. Mereka enggan mengurusi orang lumpuh. Apa boleh buat saya harus berjuang keras menjalani hidup ini.” Pun sambil memotong lontong dagangannya.
            “Anak Ibu?” lagi pertanyaan itu keluar dari mulut pelangganya.
            “Anak?” Ia berhenti memotong-motong lontong. Tiba-tiba matanya menatap tajam pisau yang dipegangnya. Terlintas dalam benaknya bayangan itu.
            Dua tahun yang lalu. Anak lelakinya—anak keduanya, selalu ia manja, ia sayang, ia belai. Seperti halnya pada anaknya yang pertama. Anak lelakinya saat itu sudah duduk di kelas 6 sekolah dasar. Namun ia sangat nakal. Terutama saat di dalam kelas. Ia selalu membikin onar. Kenakalannya itu berawal dari teman sepermainannya di luar sekolah. Ia selalu bermain dengan pengamen, gelandangan di perempatan lampu merah. Dan Minah yang pada saat itu sibuk dengan bisnis emasnya—ditemani sang suami. Ia tidak tahu akan perkembangan anaknya. Pada suatu hari, Minah menerima surat dari sekolah anaknya. Anaknya sudah melawati batas berbuat onar di sekolah. Anaknya mencabuli teman perempuannya di kelas. Dan ditemukan di dalam tasnya, banyak majalah porno dan VCD porno. Minah kaget setengah mati akan ulah anaknya itu. Anaknya diskors selama satu minggu.
            Sepulang dari sekolah. Minah menghukum anaknya. Minah melarang anaknya untuk keluar rumah. Minah tidak memberinya uang jajan sama sekali. Setiap kali ada teman-temannya yang mengajak main, Minah langsung mengusir mereka. Minah pusing mengadapi semua itu. Harga dirinya merasa terhina akibat ulah anaknya itu. Dengan penuh emosi Minah menampar wajah anaknya, berulang kali. Kesabarannya hilang kendali, ia memberontak dan berjalan menuju dapur. Di ambillah sebuah benda tajam, lancip, mengkilap. Tiada lain benda itu adalah PISAU. Seketika dengan emosinya yang membeludak, anaknya yang sedari tadi hanya terdiam membisu kini berlumuran darah di perutnya. Beberapa menit kemudian, barulah Minah sadar. Namun semuanya sudah terlambat. Dan sejak itu pula suaminya mendadak terserang struk.
            “Ibuu... Ibuu...” Pemuda itu melambai-lambaikan tangannya di wajah minah. Lalu pemuda tampan itu pun menepuk bahu Minah. Seketika Minah pun tersadarkan kembali dari lamunannya.
            “Ya Tuhan...” Minah sambil memenjamkan matanya sekali.

***
           
Tak henti-hentinya Minah melangkahkan kakinya kembali ke pelanggan selanjutnya. Suaminya pun ia gendong kembali tanpa mengeluh sedikitpun. Dan tidak lupa Minah meminumkan obat terlebih dahulu pada suaminya “Aku harus tetap kuat... harus!” Gerutunya kembali.
Sekitar sudah melewati beberapa pelanggannya sejak pagi tadi, kini ia berjalan menuju pelanggan setianya yang terakhir. Seperti biasa Minah mengangguk sambil tersenyum, menandakan ia sudah siap melayani pelanggannya yang terakhir itu. Dibaringkannya kembali suaminya. Namun kali ini Minah mendapat sedikit keistimewaan yang belum pernah dirasakan. Pelangganya menyuruh agar suaminya di baringkan di tempat tidur saja. Sesuatu yang benar-benar istimewa bagi Minah.
“Sudah tidak apa-apa, baringkan saja disitu.” Jelas pelangganya yang sudah naik haji lima kali itu.
“Terima kasih Pak Haji” Rasa ketidakenakannya pun kembali bersarang dihatinya.
            Sama halnya dengan pelanggan pemuda tampan, Pak Haji itu pun menyerahkan dua piring kepada Minah. Satu piring tentu untuk istrinya. Dan pertanyaan-pertanyaan seperti sebelumnya pun terlontar kembali,
            “Bu, kenapa si abah selalu dibawa-bawa jualan?” Tanya Pak Haji.
            ”Kekuatan saya akan selalu ada jika ia ada di samping saya. Ia adalah segalanya bagi saya. Benar-benar segalanya.” Keyakinannya semakin kuat. Air mukanya menunjukkan benar-benar ia sangat mencintai suaminya.
            ”Keluarga Ibu?”
            ”Mereka sudah tidak mau peduli lagi dengan keadaan kami. Mereka enggan mengurusi orang lumpuh. Apa boleh buat saya harus berjuang keras menjalani hidup ini, Harus!” semakin dengan penuh keyakinan, pun sambil memotong lontong dagangannya.
            “Terus anak Ibu?” tak pernah bosan pertanyaan ini pun terlontar kembali dari mulut pelanggannya. Namun telinganya masih menerima dengan sabar akan semua itu.
            “Anak?” Seketika Minah pun langsung menatap kembali awan-awan dilangit, setelah itu ia pun langsung menatap pisau yang sedang dipegangnya. Seketika ia pun berbicara,
            “Sebenarnya aku benci dengan awan itu.” Sambil menunjuk ke atas. Lalu Minah berbicara kembali,
            “Sebenarnya aku pun benci dengan pisau ini.” Sambil mengetok-ngetok gagang pisau pada tumpuan lontongnya. “Tapi tak ada gunanya menyalahkan itu semua, karena aku yakin semua itu adalah atas kehendak-Nya.” Minah kembali memotong-motong lontongnya, sedangkan Pak Haji nampak kelihatan bingung.
             
Usai melayani, Minah pun melanjutkan perjalanan untuk pulang. Tak merasa bosan ia pun mengendong kembali suami tercintanya. Namun Minah tidak sadar, kali ini suaminya sudah benar-benar kaku di punggungnya.

                                                                                               
24 Oktober 2010


Tidak ada komentar:

Posting Komentar