Sastra dan Kita

Minggu, 02 Januari 2011

Perempuan Iblis (Terbit di Radar)



           
Lelaki itu sering memukuli foto istrinya dengan batu, tiada henti sebelum dia benar-benar kelelahan sendiri. Lelaki sekira berumur kepala tiga itu kini sedang berada di tempat kerumunan orang-orang yang mengalami gangguan mental. Kulitnya nampak kelihatan kusam, badannya kurus tak jauh seperti pelawak Indonesia, Doyok. Dulu badannya seperti artis Adam Jordan. Entahlah, setelah kejadian yang memilukan tiga bulan yang lalu lelaki itu kini mendadak stres.

***

“Aryo, kapan kamu mau berangkat ke negeri Paman Sam?”
“Entahlah Is, sebenarnya aku tak ingin meninggalkan istriku dan anak-anakku di sini.”
“Kenapa?”
“Kok kenapa? Hmm… percuma kalau bicara dengan orang yang belum berkeluarga. Mungkin kamu tidak akan mengerti apa yang sedang aku rasakan sekarang.”
Aryo meninggalkan ruang kerjanya sambil membawa laptop hitamnya yang berukuran 14 inchi. Ia sedang gundah memikirkan masalahnya. Rekan kerjanya di kantor, Isma, tidak bisa membantunya mencari jalan keluar. Bos kantor Aryo, Pak Deny, menawarkan Aryo untuk bekerja di salah satu cabang perusahannya yang ada di Amerika Serikat. Aryo memang mahir di bidang desain grafis. Pak Deny percaya kalau Aryo bisa mengembangkan dan memajukan perusahaannya yang ada disana.
“Mas, kamu mau menerima tawaran dari Pak Deny itu?” Tanya Ami pada suatu malam.
“Menurut kamu gimana? Masa aku harus ninggalin kamu dan anak-anak di sini.”
“Menurut aku sih, mendingan Mas terima saja kesempatan itu. Jangan menyia-nyiakan peluang Mas. Jangan memikirkan aku di sini tanpa Mas. Aku bisa jaga anak-anak kok Mas, kan ada Bi Iyem  yang bantuin aku ngurusin anak-anak. Lagian Mas pergi ke sana juga itu buat keluarga kan? Doain saja semoga aku dan anak-anak baik-baik di sini.”
“Papa mau kemana?” Haikal langsung mememeluk Aryo. Telinganya mungkin mendengar pembicaraan mama-papanya yang duduk di sofa, tak jauh dari Haikal yang sedari tadi main PS.
“Papa nggak kemana-mana kok sayang. Papa cuma mau sekolah lagi di Amerika biar papa pinter kaya kamu, he..he…” sambil mengecup kening Haikal.
“Papa jangan pergi yah!” semakin memeluk Aryo erat.
Malam semakin sunyi tak bersuara. Mereka pun beranjak pergi ke kamar tidur, dan melahap mimpi.

***

            Udara pagi bersembunyi di balik ranting-ranting pohon jambu. Merayap-rayap menuju ventilasi rumah. Meski tak ada hujan, namun pagi ini terasa gigil di bulu-bulu roma. Embun-embun pun dengan manisnya digendong rerumputan, terjatuh, basah lagi, terjatuh dan basah lagi. Aryo nampaknya sudah bersiap-siap untuk berangkat menuju negeri Paman Sam. Ami membantunya memberesi pakaian dan memasukannya ke dalam koper. Haikal dan Eci, adik kecilnya, menatap dingin dari sisi pintu, melihat papanya akan pergi meninggalkan mereka.
            “Papa mau kemanya?” Eci mendekat dan memeluk Aryo.
            “Kamu baik-baik yah putri papa yang pualiiing cantik sedunia” Hibur Aryo meski pun di benakya tersimpan luka harus meninggalkan anak bungsunya itu. Aryo berdiri dan meghampiri istrinya.
            “Ami, kamu jaga diri baik baik yah dan juga anak-anak. Aku akan selalu merindukan kalian” Aryo memeluk istrinya dengan penuh linangan air mata.
            “Selamat tinggal… anak-anak. Papa sayang kalian.” Sambil mencium foto istri dan anak-anaknya yang Aryo bawa lalu melambai-lambaikan tangannya sebagai salam perpisahan. Haikal dan Eci membalas dengan lambaian tangan yang lunglai, air mata mereka pun menganak sungai.

***

            “Haikaaaal… Uh lama banget sih kamu ini, ambilin minum doang aja lima jam!”
suruh Ami, yang sedang membaca majalah di sofa sambil kakinya dikeataskan ke sofa.
            “Iya maah... sebentar, Ikal lagi buatin susu dulu buat Eci.” Haikal buru-buru mengaduk susu di dapur.
            “Cepetaaan…! Jangan lama-lama! nanti mama tampar tau rasa!” Bentak Ami mengancam.
            Prankkk…!!!  Terdengar suara pecahan gelas dari arah dapur.
            “Aduuuh… Haikaaal… berisik amat sih, kenapa lagiii…!!!” Membanting majalahnya dan langsung menuju Haikal ke dapur.
            “Kamu itu ceroboh banget sih...!” Ami memukul lengan Haikal, lalu menjambak rambutnya. Haikal kesakitan.
            “Aduh Nyonya, jangan kasar gitu, kasian, Aden masih kecil.” Bi Iyem menasihati.
            “Diem kamu Yem! Sana kamu lanjutin pekerjaan kamu. Pakaian kotor masih menumpuk tuh!”
Bi Iyem tak bisa berbuat apa-apa. Sebenarnya dalam hatinya ingin sekali menolong Haikal. Tapi mau bagaimana lagi, bi Iyem hanya seorang pembantu, bisa-bisa dipecat kalau berani melawan nyonyanya.
Entahlah, setelah kepergian Aryo dari rumah. Ami mendadak otaknya jadi tidak waras. Setiap hari kerjaannya membentak anak-anaknya, dan menyiksa mereka. Ami tidak menjaga amanat dari suaminya. Ami merasa hidupnya kekurangan tanpa Aryo. Entah kenapa dulu ia merelakan suaminya pergi. Mungkin semata-mata karena uang. Ya, karena uang. Ami berpikir jika Aryo bekerja di sana, uangnya akan semakin banyak, berlimpah. Dan dia bisa mudah untuk membeli apapun yang dia inginkan. Terbukti, baru gaji bula pertama saja Ami langsung membelanjakannya di supermarket. Di Amerika Aryo di tempatkan sebagai ketua perusahaan desain grafis oleh Pak Deny.

***
Malam itu suasana di rumah Ami seperti kapal pecah. Di meja ruang tengahnya botol-botol miras berjejer tak beraturan. Ada yang tumpah, ada yang masih penuh, dan ada pun yang sudah habis. Suara musik disko menguasai isi rumah. Beberapa pasang kekasih asik berdendang, pun Ami. Dia membawa seorang lelaki kantoran yang jabatannya tidak jauh berbeda dengan Aryo. Namun dia sedikit lebih tua. Malam itu Ami mengajak teman-teman satu gengnya sewaktu masih kuliah, sekiranya lima perempuan dan tiga lelaki. Memang sewaktu di kampus, Ami tergolong anak yang nakal dan suka melanggar peraturan kampus. Dia menikahi Aryo dengan menyembunyikan sifat aslinya yang busuk. Kini, rumah yang dibikin susah payah oleh suaminnya itu pun di jadikan tempat maksiat olehnya.
Haikal dan Eci masih didekap erat oleh bi Iyem di dapur. Mereka hanya bisa melihat pemandangan yang memang tak sewajarnya untuk dilihat. Bi iyem semakin mendekap erat kedua anak itu, sambil menciuminya. Kedua anak itu hanya tercengang pilu melihat pemandangan bejad itu. Tak lama kemudian bi Iyem pun membawa mereka ke kamar lalu menidurkan mereka. Suara musik disko di ruang tengah masih tetap bergeming di telinga. Nampaknya malam ini adalah surga bagi Ami dan teman-temannya.
Malam semakin larut dan suara kaset pun sudah tidak jelas lagi vokalnya. Mereka semua tergeletak di berbagai sudut. Ada yang di sofa, di kamar tidur, di lantai ruang tengah hingga di atas meja. Ami dan lelaki tua itu terbaring di kamar tidur tanpa sehelai benang pun. Ami menikmati keindahan malam yang sudah lama tidak dilakukannya dengan sang suami. Dia merasa senang, karena kebutuhan biologisnya sudah terlampiaskan. Memang otaknya tidak waras, seperti binatang.
Perlakuan Ami selama ini membuat kedua anaknya selalu menangis setiap hari. Mereka menginginkan ayah mereka pulang. Mereka rindu dengan pelukan hangat dan kasih sayangnya. Sekarang ini bi Iyemlah yang selalu mengurusi kebutuhan-kebutuhan mereka setiap hari.
Selang seminggu setelah pesta itu. Ami merasa tubuhnya lemah, pucat dan sering muntah-muntah. Ia hanya terbaring lemas di kasur. Mungkin ia merasa kelelahan karena banyak aktivitas yang ia lakukan selama ini. Kedua anaknya selalu menemaninya meskipun Ami sering memarahi dan memperlakukan mereka dengan kasar. Ami merasa malu saat kedua anaknya memberikan makan dan menyuapkannya. Dalam hatinya ia merasa terpaksa, karena memang dirumahnya hanya ada mereka dan bi Iyem.
Hingga pada suatu hari, keadaan Ami semakin memprihatinkan. Ia semakin lemah. Bi iyem pun mencoba menghubungi Aryo yang masih barada di negeri Paman Sam.
“Pak Aryo, keadaan Nyonya semakin parah disini. Anak-anak juga sering menangis dan meminta agar Pak Aryo cepat-cepat pulang.”
“Mungkin, dua atau tiga hari lagi saya pulam Yem. Tolong jaga Ami dan anak-anak dulu yah Yem.”
Kecemasan pun terlihat dari air muka Aryo. Padahal ia sedang giatnya dengan pekerjaan yang ditekuninya selama ini meskipun dalam benaknya ia selalu merindukan kehangatan keluarganya.
***
Sore hari, Aryo tiba di Bandara Soekarno Hatta. Ia tak sabar ingin berpeluk mesra dengan istri beserta kedua anaknya. Dan berselang dua satu jam dari bandara Aryo pun tiba di depan rumah sambil melepaskan koper besar yang ia bawa di tangan kanannya. Ia menghela nafas sedikit. Lalu jari telunjuknya memencet tombol merah yang ada di sisi kanan atas pintu. Mendengar bunyi bel, kedua bocah yang sedang makan siang di meja makan langsung berlari menuju pintu, mungkin mereka tahu itu adalah seseorang yang sedang mereka tunggu. Daun pintu pun dibuka oleh kedua bocah itu. Kedua bocah yang tingginya setengah dari tinggi badan ayahnya itu, menatap ayahnya dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan perlahan, seakan mereka tidak percaya. Di usap-usap bola mata kedua bocah itu. Aryo menjongkok dan membentangkan kedua tangannya, sambil kepalanya mengangguk pelan, menandakan bahwa ia menyuruh kedua buah hatinya itu untuk memeluk.
“Papaaa...!!” Seru kedua bocah itu memeluk Aryo.
“Mana mama kalian?”
            “Di kamar Pak.” Jawab Iyem yang tiba-tiba berjalan menghampiri, lalu membawa masuk koper aryo yang berada di luar pintu.
            Aryo dan kedua buah hatinya masuk dan berjalan menuju kamar. Ami masih terlihat lemas terbaring, namun matanya masih menatap gelisah ke berbagai sudut ruangan. Aryo berdiri sejenak di tengah-tengah pintu kamar. Memandang dengan seksama apa benar yang sedang terbaring itu adalah istrinya.
            “Ami...!”
            “Mas Aryo...” Ami membalasnya dengan setengah nada suaranya.
            Aryo berjalan menuju istrinya, ia duduk di sisi tempat tidur sebelah kiri, ia memeluk dan membelai rambut istrinya. Dan dikecuplah kening istrinya, penuh dengan kelembutan.
            Aryo mencoba membangunkan istrinya agar dalam posisi duduk, Ami menyodorkan punggungnya ke tembok. Aryo masih memegang bahu istrinya dan ia usap lagi rambut poni istrinya yang menutupi kening.
            “Mas kok gak bilang-bilang kalau mau pulang?”
            “Maaf sayang, Mas hanya ingin memberikan kejutan saja.”
            “Aku kangen Mas, sama kamu.”
            “Iya, Aku juga. Tapi kondisimu sekarang bagaimana?”
            “Dokter bilang sih sudah agak mendingan, walaupun masih sedikit pusing dan mual.”
            “Kamu istirahat yang cukup yah, nanti kita berobat lagi ke rumah sakit.” dicium lagi kening istrinya.
            “Mas juga istirahat dulu. Pasti Mas lelah.” Memang fisik Aryo sudah terlihat lelah sejak ia tiba dirumah, karena perjalanan pulang yang begitu jauh.
**
            Beberapa hari kemudian, Aryo memanggil dokter spesialisnya untuk datang ke rumah, tanpa sepengetahuan istrinya. Selama ini Ia curiga dengan sikap yang ditunjukkan istrinya itu padanya. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Usai diperiksa, ternyata Ami positif hamil dan terserang virus HIV Aids. Aryo Syok dengan  kejadian ini.
            Hingga kini Aryo pun masih meratapi nasibnya di rumah sakit jiwa.
                                                                                   
                                                                                                                      Serang, Juni 2010





           




           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar