Sastra dan Kita

Minggu, 02 Januari 2011

Misteri di Awal Bulan Februari


Pukul 09.00 di Kampus Untirta
“Maaf Pak, tolong matikan ponsel Anda selama dua jam! kami sedang menyelidiki kasus kejahatan. Terimakasih. Maaf telah mengganggu aktivitas Anda.”

Begitulah sekiranya isi dari dari perbincanganku dengan seorang lelaki yang tak jelas asal-usulnya itu. Entah semalam aku bermimpi apa, tiba-tiba saja aku dapat telepon seperti itu. Ngakunya dia polisi. Suaranya begitu tegas. Bikin aku gelagapan sampai tak bisa balik tanya. Aku hanya bilang “iya” dan langsung menutup ponselku.
Hari ini aku sedang mengurusi nilai akhir semesterku di kampus. Salah satu nilai mata kuliahku belum keluar. Aku harus cepat konfirmasi dengan yang bersangkutan di Pusda Info.
Usai membereskan nilai mata kuliahku, duh, kok tiba-tiba aku mendadak pusing. Tak tahu kenapa, setelah aku mendapat telepon yang tak jelas tadi, aku jadi kepikiran dan linglung sendiri.
“Ray, mungkin itu orang iseng aja kali yang sengaja mau ngejailin kamu. Lebih baik kamu aktifin lagi deh hp kamu!” suruh Ikal.
“Nggak ah kal, kuturuti saja permintaan dia. Takut terjadi apa-apa.”
“Eh, be-te-we udah mau jam sepuluh nih, ayo kita rapat! Temen-temen yang lain udah nungguin nih di aula PKM.” Ikal menarik tanganku.
Aku lupa kalau hari ini ada rapat himpunan di aula PKM (Pusat Kegiatan Mahasiswa). Rapat tentang kegiatan Peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional (PHBII) yang akan dilaksanakan bulan depan di Alun-alun Kota Serang.
“Ass… Selamat pagi kawan-kawan! Salam seni dan budaya!” sang ketua Hima membuka rapat. Yang lain merespons dengan menjawab Salam Seni Dan Budaya juga, sedangkan aku, tidak merespons sedikitpun. Aku hanya terdiam saja di sudut ruangan rapat. Masih memikirkan yang telepon tadi. Sambil memutar-mutar ponselku, aku berpikir apa aku harus mangaktifkan saja ponselku ini? Tapi, ah janganlah, pikirku yang lain. Bisikan setan di telinga kanan dan kiriku terus menggerutu sengit. Aku pun melamun sambil menutup kedua daun telingaku.  
“Ray, bagaimana pendapatmu tentang PHBII ini? Ray? Raay…?”
“Hei Ray! ngelamun aja. Ditanya sang ketua tuh!” Ikal yang duduk disampingku menepuk bahuku. “Iya, ada apa… ada apa…? mana polisinya?!” Aku tersentak kaget. Tak sadar mulutku nyeletuk kayak orang latah. Di pikiranku selalu terngiang-ngiang suara polisi itu saja. Aduh kenapa aku jadi begini?

***
Pukul 09.30 di rumah.
“Kriing… kriiing… kriiiing” suara telepon rumah berbunyi nyaring.
Saat itu di rumah hanya ada ibu. Ia sedang memasak air di dapur. Ayah sedari tadi sudah berangkat ke sekolah dengan motor butut kesayangannya. Ia berprofesi sebagai kepala SDN Tembakang 2, Pontang. Sedangkan ibu, ia hanyalah ibu rumah tangga yang kerjaannya mengurus aku dan adik-adikku.
Dengan segera ibu menuju ruang tengah, untuk mengangkat telepon.
            “Assalamuaikum! Maaf ibu, apakah benar ini rumah pak Doni?” tanya orang itu dengan suara lemah lembut.
“Betul.” Jawab ibu.
“Begini bu, kami dari pihak Rumah Sakit Umum Tangerang ingin mengabarkan, bahwa suami ibu mengalami kecelakaan, dia tertabrak mobil Pertamina dan sekarang kondisinya sedang kritis.”
Ibu berpikir sejenak, seingatnya ayah tidak bilang kalau hari ini mau pergi ke Tangerang. Biasanya ayah memberi kabar terlebih dahulu sebelum berpergian jauh.
“Maaf pak, mungkin bapak salah orang.”
“Aduh, maaf ibu, maksud kami anak ibu, Aray.”
“Astagfirullaaah…!!!” ibu melepaskan gagang telepon lalu tersungkur ke lantai menjerit histeris.
***
Setelah ayah mendapat kabar dari ibu.  Ayah pun langsung pulang ke rumah. Dan berusaha menghubungi kembali pihak rumah sakit yang bersangkutan—sebelumnya ibu sudah diberikan nomor telepon pihak rumah sakit yang bersangkutan—kini mereka sedang diliputi rasa cemas-gelisah.
“Bagaimana keadaan anak saya sekarang Dok?” tanya ayah dengan raut muka was-was.
“Anak Anda harus cepat-cepat segera ditangani. Kami, pihak rumah sakit tidak bisa memberikan pelayanan yang lebih, karena fasilitas disini kurang memadai, silakan bawa saja anak bapak ke rumah sakit yang lebih khusus lagi penangannnya. Kami disini tidak bisa berbuat apa-apa.”
Mendengar perkataan dokter itu, ayah tidak berpikir panjang lagi, ia pun berangkat ke Tangerang dengan meminjam kendaraan roda empat milik tetangga sebelah—nenek, paman, dan bibi juga ikut—menemani ayah dan ibu.
***
Setengah perjalanan, sekiranya pukul 10.30 ponsel ayah berdering. Ia menerima telepon dari seseorang yang tak di kenal bahwa anaknya sudah dilarikan dirumah sakit yang lebih khusus. Entah rumah sakit apa, yang jelas rumah sakit spesialis patah tulang, dan rumah sakit tersebut masih berada di wilayah Tangerang juga. Ayah pun diberikan alamat yang lengkap oleh seseorang yang ngakunya dokter itu. Beberapa puluh menit kemudian, ponsel ayah berdering kembali dengan nomor yang tak dikenal.
 “Bisakah bapak mentransfer uang sekarang? Pihak rumah sakit di sini membutuhkan dana yang besar. Anak anda memerlukan alat penyambung kaki dan perekat kepala yang harus dibeli dari produk perusahaan Jepang yang ada disini. Jika tidak, akibatnya bisa fatal bagi anak anda. Sekarang kami membutuhkan transfer uang sebesar 80 juta! Kami, pihak rumah sakit tidak bisa menanggung biaya sebesar itu.” jelas Soerjono, yang mengaku dokter spesialis patah tulang di wilayah Tangerang.
Ayah dan keluarga tersentak kaget ketika mendengar hal tersebut. Suasana di dalam mobil sangat ricuh.
“Paaak, duit dari mana sebesar itu?” ibu menangis sambil menarik-narik baju ayah, lalu ibu pingsan.
Ayah hanya diam. Namun dalam benaknya ia seperti sedang memikirkan sesuatu. Entah apa yang ia pikirkan. Kemudian ayah pun melanjutkan pembicaraan di telepon yang tadi terhenti sejenak dengan dr. Soejono.
“Kami ingin melihat kondisi anak kami terlebih dahulu sekarang. Urusan uang nanti bisa dibicarakan lagi.” Ayah tak bisa berbuat apa-apa jika berbicara masalah uang, apalagi sebesar itu. “Jika ini memang cobaan-Mu, maka tabahkanlah kami ya Allah!” dalam hati ayah terus saja berdoa.
***
Di rumah sakit.
Suster membuka lembar per lembar data nama-nama pasien sampai berulang kali.
“Maaf pak, disini benar-benar tidak ada pasien yang bernama Aray”  
Keadaan semakin membuat Ayah dan keluarga panik dan bingung harus berbuat apa. Harus mencari kemana lagi. Alamat yang tertera di selembar kertas itu tidak ada kesalahan sama sekali. Mereka pun hanya bisa menggigit jari menghadapi permasalahan ini.
***
            Pukul 11.10 di kampus.
            Matahari mulai menyengat. Sinarnya memaksakanku mengeluarkan keringat. Ruangan yang sempit semakin menambah suasana seperti di gurun pasir saja. Jam segini rapat masih juga belum usai. Aku haus, lelah, lapar, pusing, ditambah lagi masalah telepon itu yang sedari tadi terus menggelayuti pikiranku. Huft.
            Sumpah mati aku cinta, cinta kepadamu hanya dirimu…
Tiba-tiba saja salah salah satu ponsel temanku bunyi dengan nada dering Five Minutes. Salah satu band kesukaanku. Dan saat itu aku pun baru tersadar kalau sedari tadi ponselku masih di non-aktifkan. Dan aku pun teringat, sudah dua jam posel ini aku non-aktifkan. Dengan segera aku mengambil ponsel di saku belakangku dan langsung menekan tombol kanan atas ponselku. Karena kutahu polisi itu hanya menyuruhku dua jam untuk menon-aktifkan ponsel.
Baru saja aku melihat gambar sinchan di layar putihku. Tiba-tiba, langsung ada panggilan masuk. Nomor tidak di kenal. Aku masih trauma untuk menerima telepon karena kejadian tadi, takut polisi itu lagi. Ku berikan ponselku kepada Ikal, aku menyuruh dia yang meladeni orang yang menelepon itu.
“Ray... Aray... ini Aray bukan? Kamu ada dimana sekarang? Kamu tidak apa-apa? Bla..bla..bla...” dengan nada suara yang kayak kereta api saja orang itu. Membikin Ikal pusing mendengarnya, sampai dia menyerahkan kembali ponselku.
“Iya, saya Aray. Ini siapa yah?” tanya aku kepada seseorang itu dengan muka-muka cemas.
Seketika aku langsung beristigfar, saat paman menceritakan bahwa sekarang ia beserta keluarga sedang ada di Rumah Sakit Tangerang untuk melihat keadaanku yang katanya aku dikabari mengalami kecelakaan, tertabrak sebuah mobil pertamina yang melaju kencang menuju ke arah Serang.
Mereka menyuruhku agar aku jangan beranjak pergi dulu dari kampus. Mereka ingin melihat keadaanku yang sebenarnya. Dalam angan mereka, aku sedang terkapar tak berdaya di rumah sakit dengan tulang-tulangku yang remuk.
Sesampainya di kampus. Ayah meneleponku untuk cepat-cepat menghampirinya. Karena ia dan keluarga sudah tidak sabar ingin melihat keadaanku. Aku pun segera turun dari aula untuk menghampiri mereka. Dari kejauhan aku melihat mereka berharap-harap cemas. Mondar-mandir kayak setrikaan. Aku pun melangkah lebih cepat. mataku dan mata ayah akhirnya saling menatap tajam seperti elang.
“Masya Allah Araay...! Alhamdulillah...! kamu benar-benar nggak kenapa-napa kan?” ujar ayah dengan tidak percaya, sambil menggoyang-goyangkan bahu kanan-kiriku kemudian melihat sekujur tubuhku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Seakan-akan ayah tidak percaya bahwa ini aku, anaknya. Dan spontan saja pelukan erat ayah bersarang di tubuhku. Dengan tubuhnya yang gemetaran. Air matanya pun menetes hangat di rambutku.
“Araaay....!” Ibu pun menyusul memelukku. Tangisannya membuatku terharu. Pelukan mereka benar-benar sebuah pelukan kasih sayang orang tua kepada anaknya dari lubuk hati yang terdalam. Aku semakin terharu dan tak kuasa menitikkan air mata tanpa henti. Ayah dan ibu beserta keluarga kemudian masuk ke mesjid untuk bersujud syukur kepada yang Maha Kuasa karena anak mereka sudah kembali dalam pelukan mereka.
 Selepas kejadian itu. Kami pun mencoba menghubungi kembali nomor-nomor telepon yang mengaku polisi dan dokter itu. Namun nomor-nomor telepon itu sudah tidak aktif lagi. Astagfirullah...! siapa orang-orang yang tega menipu aku dan keluargaku ini ya Allah? Semoga Engkau memaafkan dan menyadarkan mereka. Amin.

                                                                                                      Serang, 2010



           
           



           
             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar