Sastra dan Kita

Minggu, 02 Januari 2011

Darah Perawan



            “Kamu ndak bakalan bisa hidup kalo begini terus.”
            “Pokoknya aku nggak mau…!!! TITIK!” Isti menutup pintu kamarnya dengan gubrakan yang keras. Neneknya yang sedari tadi mengomel seketika mengangkat bahunya, menandakan ia begitu kaget karena ulah cucunya itu, sembari ia mengusap-usap dadanya yang sudah rata itu.
            Piyee toh ini anak, maunya apa sih?!”
            “Pokoknya aku nggak mauuu…!!!” Semakin lantang suara isti dari dalam kamarnya.
            Isti anak pertama dari tiga bersaudara itu baru saja lulus dari bangku SMA. Ia sudah tidak punya ibu, setahun silam ibunya meninggal dunia akibat serangan jantung. Ayahnya, sudah lama merantau ke Jakarta, mencari sesuap nasi untuk menafkahi anak-anaknya. Kini Isti tinggal bersama neneknya, dan akhir-akhir ini Isti merasa kehilangan gairah hidup karena semenjak ia lulus,  ia selalu di kekang oleh neneknya untuk cepat-sepat mencari pekerjaan.
            “Den, adikmu itu sekarang pergi kemana? Kok nenek ndak pernah liat yah.” Sore itu diteras rumah Abdi, tetangga Isti.
            “Siapa? Ijah maksud nenek?”
            “Ya, barangkali.”
            “Dia sudah tiga bulan Nek jadi TKI di Malaysia. Katanya dia betah Nek di sana. Hidupnya terjamin. Apalagi dia dapat majikan yang baik. Dia sudah dianggap seperti anak sendiri oleh majikannya. Dan kami disini pun merasa senang karena setiap bulan ia selalu mengirimkan uang, jadi kami disini tidak khawatir untuk makan sehari-hari, malah bahkan lebih dari itu. Enak Nek.”
            Mungkin sejak percakapan sore itulah nenek berubah menjadi bukan nenek seperti biasanya, nenek yang dulu lemah lembut dan selalu mengabulkan apa yang diinginkan cucunya, kini ia berubah menjadi seperti ini, nenek sang pemaksa. Isti tidak mau kehidupannya diganggu terus-terusan seperti ini. Kupingnya merasa panas. Ingin sekali ia memberontak, tapi apalah daya dalam hatinya nenek adalah nenek, dia yang menggantikan posisi ibunya selama ini. Isti tidak mau kelewat batas menyikapi neneknya, Ia tidak mau menjadi anak yang durhaka.
            “Aku mengerti, aku aku ini anak pertama yang mungkin akan menjadi tumpuan adik-adikku nanti, tapi apa aku harus melakukan semua ini?” Isti berbicara dengan boneka di kamarnya. “Jawab doong...! Kok kamu diam saja...?!” Boneka panda berwarna pink itu ia goyang-goyangkannya. “Ah, nyebeliin...” Isti melempar bonekanya ke pintu.
            “Mbak kenapa?” Adiknya membuka pintu, ia mengambil boneka itu.
            “Sudah pulang?”
            “Sudah.” Sambil melepas baju sekolahnya yang putih abu-abu. Adiknya duduk di samping mbaknya di kasur.
            “Mbak ada masalah apa? Cerita dong sama aku.”
            “Nggak apa-apa kok Lin.”
            “Air mata Mbak nggak bisa bohong.” Sambil mengusap air mata Mbaknya yang masih mengalir hangat di pipi. Isti hanya diam. Ia pun memejamkan mata sekali lalu menghela nafas.
            “Mbak sebel sama nenek Lin. Mbak tanya sama kamu, kamu mau setelah lulus nanti jadi TKI?”
            “Apa salahnya, toh kalo itu yang terbaik buat kita, kenapa tidak.”
            “Ah, anak kelas 1 SMA, tahu apa soal itu.”
            “Aku sudah gede Mbak. Tahu, mana yang baik dan mana yang nggak.”
            “Terus saja semua orang kayak begini.” Isti bangkit dan meninggalkan kamar.
***
            Malam itu, Isti jalan-jalan keluar rumah untuk sekadar menghilangkan penatnya. Ia pergi kemana pun kakinya melangkah. Tak tahu arah mana yang akan ia tuju. Kadang duduk di warung kopi, halte, taman, masjid, hingga di bawah jembatan. Ia hanya melamun, merenungi makna hidupnya saat ini. Apa yang harus dilakukan? “Tidak tahu.” Apa yang kamu cari dalam hidup ini? “Tidak tahu.” Hanya itu jawaban yang ada dalam benaknya. Sungguh aneh memang, ketika seseorang tidak tahu apa yang harus dia lakukan, dan ketika ada seseorang yang menyuruhnya untuk melakukan sesuatu, tapi dia tidak mau. Kenapa dengan Isti?
            Beberapa hari yang lalu, sebulan yang lalu, setahun yang lalu, bahkan lima tahun yang lalu ia masih melanjutkan tulisannya pada sebuah buku kecil, bisa dibilang buku diary-nya. Saat ini ia pun sedang melanjutkannya...
            .... masih saja begitu dari dulu. Nggak ada enak-enaknya jadi TKI. Meskipun dapat legalitas dan katanya ada perlindungan dari pihak negara, tapi tetap saja hal buruk itu terjadi. Sekarang masih saja aku sering melihat di koran-koran, di televisi—malah sedang gencar-gencarnya sekarang ini di media massa—banyak mereka yang menjadi TKI malah cuma jadi bahan siksaan saja oleh majikannya. Huh... serem dan tragis memang. Ada yang jari-jari tangannya digunting, rambutnya di botakin, tubuhnya di sayat-sayat pakai pisau, dan masih banyak lagi. Lantas, apa aku harus seperti mereka? Ah, aku nggak mau. Aku nggak mauuu...!! TITIK!....
            Isti menutup buku diary-nya, sambil menghela nafas sedikit. Sekarang ia sedang berada di sebuah tempat, namun ia tidak sadar tempat itu adalah bukan tempat yang seharusnya ia singgahi. Awalnya sepi. Sekarang sudah agak larut malam mungkin, dan tempat ini—seperti kafe, namun ia kira hanya sebuah warung biasa—sudah semakin ramai. Per orang berdatangan. Perempuan dan laki-laki—begitu banyaknya.
            “Neng, belum pulang?” Lelaki bertato sambil membawa bir mencolek dan berusaha menggodanya. Isti menghindar dari orang itu. Ia berusaha keluar dari tempat itu. Namun beranjak tiga langkah menghindar dari lelaki bertato tadi ada lelaki bertato lagi yang berusaha menghalanginya. Lelaki yang tadi menjaga warung ini, tiba-tiba menutup dan mengunci pintu dari dalam.
            “Rupanya aku salah tempat.”     Gerutunya, sambil memeluk buku diary yang ia pegang ke dadanya. Isti melirik kiri-kanan, di setiap sudut tempat itu sudah penuh dengan pasangan-pasangan bangsat yang sedang menikmati dinginnya malam. Lampu mulai dimatikan, berganti dengan lampu yang berkelap-kelip. “Ah, warung sialan!”
            “Neng, kamu itu salah masuk kandang. Sudah larut malam begini belum juga pulang. Ya, tanggung. Harus terima resikonya. Hahaha…” Ujar pemilik warung yang berkumis lebat dan tebal itu. Isti tak mengira malam ini akan menjadi kelabu, seperti hatinya pula.
            “Hari ini kita dapat santapan baru, banyak duit nih kita.”
            “Ya, kau benar.”
            “Eits, yang pasti saya yang lebih besar jatahnya. Kan saya yang punya tempat ini. Hahaha…”   
            “Banyak bacot lo! Tapi ya sudahlah. Haha…” Sambil menenggak botol yang dipegang mereka masing-masing.
            Malam ini memang benar-benar kelabu.
***
            Nenek dan kedua adiknya semalaman mencari Isti. Namun tak kunjung jua mereka temukan. Wajah-wajah gelisah itu nampak dari air muka mereka. Sepertinya sudah benar-benar tidak tercium sedikitpun jejek-jejak Isti di hidung mereka yang mancung ke dalam itu.
            “Semua ini gara-gara nenek. Seharusnya nenek jangan seperti ini sama Mbakmu.”
            “Mungkin salah Linda juga, kemarin mungkin Mbak kecewa dengan pernyataan Lin.”
            “Mau cari kemana lagi Nenek, Mbak... Nggak ketemu-ketemu.” Ujar adik paling bungsu yang laki-laki itu, sembari membawa ketapel di lehernya.
            “Kemana ini anak perginya...? Apa yang akan nenek katakan sama bapakmu kalau dia ndak pulang-pulang.”
            “Lapor polisi aja Nek.”
            “Wuss... kamu anak kecil, tau apa soal polisi.”
            Mereka melanjutkan perjalanan. Dag dig dug hati mereka saat melewati beberapa tempat yang agak gelap—menyeramkan. Melewati kuburan, jembatan, tempat pelacuran, warung kopi, dan lain-lain. Hanya wajah-wajah kosong saja yang mereka temukan pada tempat-tempat itu. Mereka sudah berjalan kaki mungkin lebih dari lima kilometer dari jarak rumah mereka. Rumah yang memang tidak terlalu jauh dari perkotaan. Berjalan kaki, cukup lumayan bagi mereka jarak sejauh itu. Hingga menjelang subuh belum juga mereka temukan sesosok gadis berambut hitam sebahu itu. Mata-mata mereka sudah agak meredup. Langkah mereka sudah mulai melemah seperti habis naik gunung saja. Pada sebuah tempat—depan warung—mereka bertiga beristirahat sejenak. Mata-mata sayu mereka akhirya terlelap dalam mimpi.
            Jalanan sudah sepi. Satu-dua motor saja yang melintas. Pohon-pohan yang agak tumbang di samping warung itu terdengar bunyi-bunyi tokek yang saling bersahutan. Seperti sebuah teriakan yang saling menghantam. Pemilik warung-warung di samping mereka pun sudah tidak ada wujudnya. Kosong. Selang beberapa menit kemudian, suara keributan terdengar dari dalam warung itu. Terdengar seperti tamparan, sobekan baju, dan jeritan seorang perempuan.
            Guprak...!! Tiba-tiba saja pintu warung terbuka. Nenek dan kedua cucunya sontak kaget dan terbangun. Langsung mereka berdiri keheranan. Mata mereka masih sembab dan masih membayang. Dipeluklah kedua cucunya itu.
            “Mau pergi kemana sayang...” Lelaki bertato itu berjalan sempoyongan, mungkin sudah terlalu banyak bir yang sudah ia minum.
            “Hayo manis... kesini...” Lelaki bertato yang kedua pun tak kalah girang menggoda.
            “Jangan renggut keperawananku...!!” Isti menangis tiada henti.
            “Istii...?” Nenek masih setengah sadar. Matanya ia usap-usap kembali.
            “Nenek, itu Mbak Isti.” Linda pun tersadar pula dan sudah bisa melihat jelas siapa yang ada dihadapannya itu. Dengan baju yang sudah compang-camping kelihatan kutangnya.
             Nenek dan kedua cucunya itu tidak berani menghampiri Isti. Lantaran isti sedang diserbu oleh para lelaki bertato. Mereka hanya menyumput di sudut warung.
            “Toloong....!!!” Teriak isti. Namun percuma saja teriakannya itu tidak ada respon sedikitpun dari orang-orang di sekelilingnya. Mungkin hanya tokek-tokek saja yang menjawab.
            Isti tidak bisa lari. Ia masih dalam lingkaran tiga orang bangsat itu. Isti tak bisa berbuat apa-apa.. Tubuhnya tersayat oleh hasrat para lelaki itu. Darah berucuran dari kelaminnya. Tiada henti. Tak sadar esok harinya ia sudah berada di tempat yang paling tidak dia inginkan sepanjang hidupnya. Isti tidak tahu ternyata di atas pintu warung yang dimasukinya itu terpampang tulisan “Pengirim (Te-Ka-I)”.
                                                                                                                       
 Serang, 27 November 2010


           
           
           
             
           
           
           
           

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar