Aray Rayza Alisjahbana
Aku Ingin Punya Rumah Sendiri
jangan hanya terus membuat anak
tanpa memikirkan risiko yang dibuat
sebagai anak yang ke 2008
aku tergelayut beban
dengan adik-adikku yang ke 2009
dan 2010,
kasian mereka harus tinggal dalam satu rumah
yang sumpek, sempit,
jika terus-terusan begini
bisa-bisa rumah ini ambruk
apalagi sebentar lagi aku akan punya adik baru
yang ke 2011
apa jadinya nanti rumah ini
ayah, ibu,
aku ingin punya rumah baru yang bagus
yang besar
biar tidak berdesak-desakan seperti ini
kalau bisa, satu orang satu rumah
aku mohon ayah, ibu,
aku tahu kalian punya uang
kita ingin hidup layak
16 Juli 2011
Minggu, 17 Juli 2011
Rabu, 06 Juli 2011
SAYEMBARA MENULIS CERPEN 2011 (BELISTRA UNTIRTA)
UKM Belistra FKIP Untirta
Syarat
Peserta adalah mahasiswa D3/S1 perguruan tinggi di Indonesia,
Peserta hanya diperbolehkan mengirimkan 1 (satu) naskah cerpen terbaiknya,
Tema bebas,
Naskah cerpen bermuatan eksperimentasi, eksplorasi, dan inovatif, baik tema, visi, maupun teknik penyajian,
Panjang cerpen tidak dibatasi,
Naskah cerpen merupakan karya sendiri, bukan saduran, terjemahan, atau plagiat,
Naskah cerpen belum pernah dipublikasikan di media massa cetak dan atau elektronik, dan tidak sedang diikutkan dalam lomba/sayembara lain,
Naskah cerpen ditik menggunakan huruf Time News Roman, 12 pt, spasi 1.5,
Biodata penulis dilampirkan pada halaman terakhir naskah, dan tidak lebih dari satu halaman,
Lampirkan fotokopi Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) atau surat keterangan lain yang menyatakan bahwa peserta adalah mahasiswa D3/S1,
Naskah cerpen dikirim paling lambat 17 September 2011, pukul 00.00 WIB,
Naskah cerpen dikirim (attach files) ke alamat e-mail: sayembaracerpenbelistra[at]yahoo[dot]com, cc: ukmbelistra[dot]fkip[at]yahoo[dot]com,
Naskah cerpen yang dikirim menjadi milik panitia,
Pengumuman pemenang pada minggu ketiga bulan November 2011, di blog: ukmbelistra[dot]blogspot[dot]com,
Dewan juri akan memilih 20 naskah terbaik (jawara I, II, III, dan 17 nominie),
Keputusan Dewan Juri bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu-gugat.
Hadiah
Jawara I uang tunai Rp 1.000.000,- + Sertifikat + Piala
Jawara II uang tunai Rp 750.000,- + Sertifikat
Jawara III uang tunai Rp 500.000,- + Sertifikat
17 nominie mendapatkan sertifikat
Dewan Juri
Kurnia Effendi - Raudal Tanjung Banua - Linda Christanty
Kontak Panitia
087774121439 (Tri Megaraesita), 081906494706 (Anom FPA)
Sekretariat UKM Belistra FKIP Untirta
Jl. Raya Jakarta Km. 04, Kampus Untirta, Gedung PKM-2 (Bawah Tangga), Pakupatan, Serang-Banten.
[sumber: ukmbelistra.blogspot.com
Syarat
Peserta adalah mahasiswa D3/S1 perguruan tinggi di Indonesia,
Peserta hanya diperbolehkan mengirimkan 1 (satu) naskah cerpen terbaiknya,
Tema bebas,
Naskah cerpen bermuatan eksperimentasi, eksplorasi, dan inovatif, baik tema, visi, maupun teknik penyajian,
Panjang cerpen tidak dibatasi,
Naskah cerpen merupakan karya sendiri, bukan saduran, terjemahan, atau plagiat,
Naskah cerpen belum pernah dipublikasikan di media massa cetak dan atau elektronik, dan tidak sedang diikutkan dalam lomba/sayembara lain,
Naskah cerpen ditik menggunakan huruf Time News Roman, 12 pt, spasi 1.5,
Biodata penulis dilampirkan pada halaman terakhir naskah, dan tidak lebih dari satu halaman,
Lampirkan fotokopi Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) atau surat keterangan lain yang menyatakan bahwa peserta adalah mahasiswa D3/S1,
Naskah cerpen dikirim paling lambat 17 September 2011, pukul 00.00 WIB,
Naskah cerpen dikirim (attach files) ke alamat e-mail: sayembaracerpenbelistra[at]yahoo[dot]com, cc: ukmbelistra[dot]fkip[at]yahoo[dot]com,
Naskah cerpen yang dikirim menjadi milik panitia,
Pengumuman pemenang pada minggu ketiga bulan November 2011, di blog: ukmbelistra[dot]blogspot[dot]com,
Dewan juri akan memilih 20 naskah terbaik (jawara I, II, III, dan 17 nominie),
Keputusan Dewan Juri bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu-gugat.
Hadiah
Jawara I uang tunai Rp 1.000.000,- + Sertifikat + Piala
Jawara II uang tunai Rp 750.000,- + Sertifikat
Jawara III uang tunai Rp 500.000,- + Sertifikat
17 nominie mendapatkan sertifikat
Dewan Juri
Kurnia Effendi - Raudal Tanjung Banua - Linda Christanty
Kontak Panitia
087774121439 (Tri Megaraesita), 081906494706 (Anom FPA)
Sekretariat UKM Belistra FKIP Untirta
Jl. Raya Jakarta Km. 04, Kampus Untirta, Gedung PKM-2 (Bawah Tangga), Pakupatan, Serang-Banten.
[sumber: ukmbelistra.blogspot.com
Selasa, 05 Juli 2011
Rabu, 15 Juni 2011
Air dan Minyak
kau tahu,
aku sudah terlalu bosan dengan polemik air dan minyak
aku paksakan pun tak ubahnya begitu.
seandainya dulu aku air dan ia pun air
pasti semua akan terasa bahwa hidup adalah kesempurnaan
sekarang, air itu masih tetap mengalir
dengan minyaknya yang lendir
dan tak tentu arah mana akan ia tuju
kadang ia tenang. kadang goncang.
sekarang ia pun masih menunggu
hingga akhirnya lendir itu benarbenar hilang.
benarbenar musnah.
Pontang, 26 Mei 2011
aku sudah terlalu bosan dengan polemik air dan minyak
aku paksakan pun tak ubahnya begitu.
seandainya dulu aku air dan ia pun air
pasti semua akan terasa bahwa hidup adalah kesempurnaan
sekarang, air itu masih tetap mengalir
dengan minyaknya yang lendir
dan tak tentu arah mana akan ia tuju
kadang ia tenang. kadang goncang.
sekarang ia pun masih menunggu
hingga akhirnya lendir itu benarbenar hilang.
benarbenar musnah.
Pontang, 26 Mei 2011
Lelaki dan Perempuan
air mata perempuan adalah orang yang berak di wc
air mata lelaki adalah orang yang sedang salat ingin berak.
Serang, April 2011
air mata lelaki adalah orang yang sedang salat ingin berak.
Serang, April 2011
Sajak Seorang Pelupa
lupa itu apa?
luka itu?
lupa itu luka
luka itu lupa
lantas, aku siapa?
gila!
Serang, April 2011
luka itu?
lupa itu luka
luka itu lupa
lantas, aku siapa?
gila!
Serang, April 2011
Ah, Hidup ini
hidup ini seperti debu yang berterbangan di udara
entah berhenti di terminal, di masjid, atau di tempat pelacuran
hidup ini adalah sebuah ketakutan yang tersembunyi
atau kadang suatu keberanian yang di buat-buat
padahal di jantungnya tersimpan malaikat
tersimpan asma illahi
Serang, April 2011
entah berhenti di terminal, di masjid, atau di tempat pelacuran
hidup ini adalah sebuah ketakutan yang tersembunyi
atau kadang suatu keberanian yang di buat-buat
padahal di jantungnya tersimpan malaikat
tersimpan asma illahi
Serang, April 2011
Sajak Ujung Kulon
Karang Ranjang
masih terlalu biasa
aku mencintaimu
Ujung Kulon, 28 Mei 2011
Berjalan Ke Barat Tanpa Ujung
ya allah
berjalan ke pesisir pantai barat saja
rasanya kepalaku hampir meledak
wajahku ditampar matahari yang diam menipu
dan aku tak bisa bayangkan saat nanti maut menjemput
dan padang mahsyar yang bara membakar tubuhku
ya allah
aku tak kuasa
jadikan saja aku mataharimu.
Ujung Kulon-Pontang, 29—30 Mei 2011
masih terlalu biasa
aku mencintaimu
Ujung Kulon, 28 Mei 2011
Berjalan Ke Barat Tanpa Ujung
ya allah
berjalan ke pesisir pantai barat saja
rasanya kepalaku hampir meledak
wajahku ditampar matahari yang diam menipu
dan aku tak bisa bayangkan saat nanti maut menjemput
dan padang mahsyar yang bara membakar tubuhku
ya allah
aku tak kuasa
jadikan saja aku mataharimu.
Ujung Kulon-Pontang, 29—30 Mei 2011
RESENSI BUKU
Judul Buku: Bismillah, Aku Tidak Takut Gagal!
Penulis: Ummu Azzam, dkk.
Penerbit: QultumMedia, Jakarta
Tahun Terbit: Mei 2011
Tebal Buku: 262 hal.
ISBN: 979-017162-5
Rencana Tuhan di Balik Sebuah Kegagalan
Adakah manusia di dunia ini yang belum pernah mengalami kegagalan? Saya yakin jawabannya pasti tidak ada. Semua orang pasti pernah merasakannya. Entah itu tukang beca, kuli bangunan, mahasiswa, pejabat, presiden, bahkan Rasulullah, yang dulu ditentang oleh orang-orang Quraisy pada masa-masa awal dakwahnya, sampai akhirnya beliau pernah dicaci maki, dicemoohkan, bahkan dikucilkan.
Di dalam kehidupan ini, kegagalan kerap kali menjadi momok atau bumerang yang menakutkan bagi beberapa orang. Terkadang mereka melarikan diri dari kegagalan itu, padahal ia belum mencoba terlebih dahulu. Terkadang pula mereka menganggap bahwa kegagalan adalah akhir dari segalanya, yang mungkin bisa saja membuat orang itu frustrasi dan akhirnya melakukan tindakan konyol dan bodoh dengan mengakhiri hidupnya. Na'udzubillah.
Akan tetapi tidak dengan buku yang satu ini. Buku yang berjudul "Bismillah, Aku Tidak Takut gagal!" ini merupakan sekumpulan kisah nyata yang ditulis oleh 26 penulis tentang semangat mengadapi sebuah kegagalan. Buku dengan tebal 262 halaman ini sangat menarik untuk dibaca. Dengan gaya bahasanya yang sederhana, lugas, dan mudah dipahami, serta dibimbing dengan ayat-ayat Al-quran yang semakin membuat saya sejuk dan ketagihaan untuk terus membacanya tanpa henti. Kisah-kisah dalam buku ini begitu inspiratif dan menggugah.
Misalnya saja karya Ummu Azzam "Tak Ada Sesal dalam Gagal", menceritakan tentang kegagalan ayahnya yang selalu diberi cobaan semenjak Azam belum lahir. Ayahnya adalah seorang padagang soto keliling. Ia selalu di buru oleh polisi karena berjulan pinggiran, sampai ia pun pernah di penjara. Namun ketika azzam sudah lahir alhamdulillah ayahnya sudah punya toko sendiri meskipun kecil-kecilan. Akan tetapi kejadian naas terjadi. Rumahnya digusur oleh pemerintah ketika ayahnya sedang menjenguk azzam di pesantren (azzam sudah menginjak SLTP). Meskipun pemerintah mengganti segala harta benda yang rusak, namun itu tidak cukup untuk mengembalikan harta benda mereka yang dulu. Toko mereka yang lenyap, musnah. Akhirnya ayahnya mencari usaha lagi, Alhamdulillah kali ini dibantu oleh Pak De Azzam untuk berjualan kelontong ditempatnya. Namun lagi-lagi hal yang tidak diinginkan terjadi. Tetangga-tetangga yang dekat rumah Pak De Azzam pun tidak ada yang suka dengan ayah Azzam yang berjuakan disitu. Katanya, bikin dagangan mereka tidak laku saja! Tapi azzam dan ayahnya mengelus dada dengan beristigfar.
Tidak kalah inspiratif juga dengan kisah Intan HS "Bertahan dalam Kegagalan", menceritakan tentang kegagalan Intan yang bertubi-tubi. Entah itu pekerjaannya maupun masalah keluarganya. Usaha yang ia tangani selalu berujung kegagalan. Dari usaha konveksi (tukang jahit) yang gagal, rumah makan yang sepi pembeli, dan sekarang berganti berjualan buku. Akan tetapi masih saja sepi pembeli. Belum lagi masalah keluarganya yang dirundung pilu. Ia tidak bisa mempunyai anak. Ia terserang penyakit rahim terbalik sehingga sulit terjadi pembuahan. Begitu juga dengan suaminya, ia terserang penyakit oligoasthenozoospermia, yaitu benihnya juga lemah untuk membuahi sel telur. Rumah tangga yang sudah dijalani lebih dari 5 tahun itu kini tidak harmonis. Suaminya pergi entah kemana karena perihal penyakit yang di derita oleh kedua insan itu. Intan pun tinggal sendirian di rumah. Ia selalu berdoa, memohon kepada Allah supaya ia tetap tabah menjalani hidup ini. Dan syukur alhamdulillah dua bulan kemudian suaminya datang kembali dan meminta maaf.
Buku yang ditulis olah Ummu Azzam, dkk. ini tidak hanya mengisahkan tentang kegagalan seorang pedagang dan rumah tangga saja, banyak pula yang mengisahkan tentang kegagalan saat menempuh pendidikan.
Misalnya dalam kisah Suhairi, "Dari Bisnis Terasi, Hingga Menulis di Media". Perjuangan seorang mahasiswa kampung yang kuliah di Universitas Jember. Ia anak petani yang hidupnya pas-pasan. Suhairi merupakan orang ketiga yang bisa melanjutkan kuliah di kampungnya. Akan tetapi orang-orang di kampungnya mengejek ia dan keluarganya. Mana bisa orang kampung sukses dan bisa melanjutkan kuliah. Toh akhirnya mereka juga nantinya kembali lagi ke kampung, ke sawah lagi- ke sawah lagi, kata mereka. Awalnya Suhairi merasa putus asa dengan cemoohan itu. Apalagi dengan kondisi keuangannya yang sudah tidak memungkinkan lagi. Orang tuanya sudah menjual harta bendanya, tapi masih saja kurang untuk membiayainya. Sampai akhirnya, Suhairi dengan temannya berinisiatif dagang terasi, meskipun malu tapi penghasilannya lumayan. Selain itu, Suhari yang kuliah di jurusan Sastra menyadari bakat dirinya bahwa ia bisa menulis di media. Ia yakin, ia bisa. Dan alhamdulliah beberapa karyanya di muat di berbagai media dengan honor yang memuaskan. Sampai akhirnya ia bisa lulus kuliah tanpa merepotkan orang tua. Dan akhirnya orang-orang sekampungnya sadar bahwa Suhairi bisa dan sukses.
Begitu juga dengan kisah Zahriyah Inayati "CPNS Oh CPNS" yang menurut saya agak konyol. Kisah ini menceritakan seorang perempuan yang terobsesi menjadi PNS. Setiap kali ada tes CPNS, ia tidak pernah ketinggalan untuk mendaftar. Akan tetapi ia selalu gagal. Ia bermimpi bisa menjadi orang kaya dengan menjadi PNS. Gara-gara ia selalu memikirkan PNS, ia sampai lupa dengan umurnya yang sudah tua. Yang seharusnya sudah menikah. Sampai akhirnya ia sadar, selama ini ia hanya memikirkan kepentingan duniawi, sunatullah ia tinggalkan. Baginya, mungkin hal itu yang membuatnya selalu gagal. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk menikah, dan melupakan mimpi menjadi PNS itu. Beberapa bulan kemudian setelah resepsi pernikahannya digelar ia terkejut melihat hasil tes CPNS yang kemarin di ikutinya ternyata membuahkan hasil. Ia diterima menjadi PNS. Subhanallah!
Memiliki Motto Hidup
Hidup kadangkala butuh sesuatu yang mampu membuat kita bangkit kembali dari keterpurukan. Bangkit dari setiap kegagalan yang pernah mendera. Saya yakin, setiap orang mempunyai cara tersendiri untuk bangkit dari keterpurukan itu. Begitu juga dengan para penulis buku ini. Mereka memiliki senjata yang ampuh untuk membangkitkan kembali gairah hidup mereka. Para penulis buku ini mempunyai motto hidup yang begitu beragam, ada yang mengutip perkataan dari sastrawan, ilmuan, dan yang pastinya dari Rosulullah SAW yang begitu sangat menggugah dan mampu menggetarkan jiwa manusia.
Suhairi, dengan motto hidupnya yang mengutip dari Thomas Alfa Edison "Saya tidak akan gagal, hanya menemukan ribuan kali cara yang salah. Saya pasti sukses karena kehabisan percobaan yang salah". Abdullah, dengan mengutip puisi dari sastrawan Taufik Ismail "Kita harus berjalan terus. Karena berhenti atau mundur,, berarti hancur." Zahriyah, mengutip dari hadits nabi “Kejarlah akhirat maka dunia akan mengikuti kita, sebaliknya kejarlah dunia maka akhirat akan meninggalkan kita.” Atau dengan membuat kutipan sendiri, seperti Nissa “Menang adalah ujian. Kalah adalah tantangan. Ridha Allah jadi tujuan. Allah tak pernah salah dalam menuliskan takdir hamba-Nya.”
Bagi mereka motto hidup adalah sugesti jiwa yang sangat penting.
Lalu, bagaimana menurut Anda?
Penulis:
Aray Rayza Alisjabana (Encep A), Mahasiswa Diksatrasia Untirta.
Bergiat di Belistra dan Kubah Budaya.
Penulis: Ummu Azzam, dkk.
Penerbit: QultumMedia, Jakarta
Tahun Terbit: Mei 2011
Tebal Buku: 262 hal.
ISBN: 979-017162-5
Rencana Tuhan di Balik Sebuah Kegagalan
Adakah manusia di dunia ini yang belum pernah mengalami kegagalan? Saya yakin jawabannya pasti tidak ada. Semua orang pasti pernah merasakannya. Entah itu tukang beca, kuli bangunan, mahasiswa, pejabat, presiden, bahkan Rasulullah, yang dulu ditentang oleh orang-orang Quraisy pada masa-masa awal dakwahnya, sampai akhirnya beliau pernah dicaci maki, dicemoohkan, bahkan dikucilkan.
Di dalam kehidupan ini, kegagalan kerap kali menjadi momok atau bumerang yang menakutkan bagi beberapa orang. Terkadang mereka melarikan diri dari kegagalan itu, padahal ia belum mencoba terlebih dahulu. Terkadang pula mereka menganggap bahwa kegagalan adalah akhir dari segalanya, yang mungkin bisa saja membuat orang itu frustrasi dan akhirnya melakukan tindakan konyol dan bodoh dengan mengakhiri hidupnya. Na'udzubillah.
Akan tetapi tidak dengan buku yang satu ini. Buku yang berjudul "Bismillah, Aku Tidak Takut gagal!" ini merupakan sekumpulan kisah nyata yang ditulis oleh 26 penulis tentang semangat mengadapi sebuah kegagalan. Buku dengan tebal 262 halaman ini sangat menarik untuk dibaca. Dengan gaya bahasanya yang sederhana, lugas, dan mudah dipahami, serta dibimbing dengan ayat-ayat Al-quran yang semakin membuat saya sejuk dan ketagihaan untuk terus membacanya tanpa henti. Kisah-kisah dalam buku ini begitu inspiratif dan menggugah.
Misalnya saja karya Ummu Azzam "Tak Ada Sesal dalam Gagal", menceritakan tentang kegagalan ayahnya yang selalu diberi cobaan semenjak Azam belum lahir. Ayahnya adalah seorang padagang soto keliling. Ia selalu di buru oleh polisi karena berjulan pinggiran, sampai ia pun pernah di penjara. Namun ketika azzam sudah lahir alhamdulillah ayahnya sudah punya toko sendiri meskipun kecil-kecilan. Akan tetapi kejadian naas terjadi. Rumahnya digusur oleh pemerintah ketika ayahnya sedang menjenguk azzam di pesantren (azzam sudah menginjak SLTP). Meskipun pemerintah mengganti segala harta benda yang rusak, namun itu tidak cukup untuk mengembalikan harta benda mereka yang dulu. Toko mereka yang lenyap, musnah. Akhirnya ayahnya mencari usaha lagi, Alhamdulillah kali ini dibantu oleh Pak De Azzam untuk berjualan kelontong ditempatnya. Namun lagi-lagi hal yang tidak diinginkan terjadi. Tetangga-tetangga yang dekat rumah Pak De Azzam pun tidak ada yang suka dengan ayah Azzam yang berjuakan disitu. Katanya, bikin dagangan mereka tidak laku saja! Tapi azzam dan ayahnya mengelus dada dengan beristigfar.
Tidak kalah inspiratif juga dengan kisah Intan HS "Bertahan dalam Kegagalan", menceritakan tentang kegagalan Intan yang bertubi-tubi. Entah itu pekerjaannya maupun masalah keluarganya. Usaha yang ia tangani selalu berujung kegagalan. Dari usaha konveksi (tukang jahit) yang gagal, rumah makan yang sepi pembeli, dan sekarang berganti berjualan buku. Akan tetapi masih saja sepi pembeli. Belum lagi masalah keluarganya yang dirundung pilu. Ia tidak bisa mempunyai anak. Ia terserang penyakit rahim terbalik sehingga sulit terjadi pembuahan. Begitu juga dengan suaminya, ia terserang penyakit oligoasthenozoospermia, yaitu benihnya juga lemah untuk membuahi sel telur. Rumah tangga yang sudah dijalani lebih dari 5 tahun itu kini tidak harmonis. Suaminya pergi entah kemana karena perihal penyakit yang di derita oleh kedua insan itu. Intan pun tinggal sendirian di rumah. Ia selalu berdoa, memohon kepada Allah supaya ia tetap tabah menjalani hidup ini. Dan syukur alhamdulillah dua bulan kemudian suaminya datang kembali dan meminta maaf.
Buku yang ditulis olah Ummu Azzam, dkk. ini tidak hanya mengisahkan tentang kegagalan seorang pedagang dan rumah tangga saja, banyak pula yang mengisahkan tentang kegagalan saat menempuh pendidikan.
Misalnya dalam kisah Suhairi, "Dari Bisnis Terasi, Hingga Menulis di Media". Perjuangan seorang mahasiswa kampung yang kuliah di Universitas Jember. Ia anak petani yang hidupnya pas-pasan. Suhairi merupakan orang ketiga yang bisa melanjutkan kuliah di kampungnya. Akan tetapi orang-orang di kampungnya mengejek ia dan keluarganya. Mana bisa orang kampung sukses dan bisa melanjutkan kuliah. Toh akhirnya mereka juga nantinya kembali lagi ke kampung, ke sawah lagi- ke sawah lagi, kata mereka. Awalnya Suhairi merasa putus asa dengan cemoohan itu. Apalagi dengan kondisi keuangannya yang sudah tidak memungkinkan lagi. Orang tuanya sudah menjual harta bendanya, tapi masih saja kurang untuk membiayainya. Sampai akhirnya, Suhairi dengan temannya berinisiatif dagang terasi, meskipun malu tapi penghasilannya lumayan. Selain itu, Suhari yang kuliah di jurusan Sastra menyadari bakat dirinya bahwa ia bisa menulis di media. Ia yakin, ia bisa. Dan alhamdulliah beberapa karyanya di muat di berbagai media dengan honor yang memuaskan. Sampai akhirnya ia bisa lulus kuliah tanpa merepotkan orang tua. Dan akhirnya orang-orang sekampungnya sadar bahwa Suhairi bisa dan sukses.
Begitu juga dengan kisah Zahriyah Inayati "CPNS Oh CPNS" yang menurut saya agak konyol. Kisah ini menceritakan seorang perempuan yang terobsesi menjadi PNS. Setiap kali ada tes CPNS, ia tidak pernah ketinggalan untuk mendaftar. Akan tetapi ia selalu gagal. Ia bermimpi bisa menjadi orang kaya dengan menjadi PNS. Gara-gara ia selalu memikirkan PNS, ia sampai lupa dengan umurnya yang sudah tua. Yang seharusnya sudah menikah. Sampai akhirnya ia sadar, selama ini ia hanya memikirkan kepentingan duniawi, sunatullah ia tinggalkan. Baginya, mungkin hal itu yang membuatnya selalu gagal. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk menikah, dan melupakan mimpi menjadi PNS itu. Beberapa bulan kemudian setelah resepsi pernikahannya digelar ia terkejut melihat hasil tes CPNS yang kemarin di ikutinya ternyata membuahkan hasil. Ia diterima menjadi PNS. Subhanallah!
Memiliki Motto Hidup
Hidup kadangkala butuh sesuatu yang mampu membuat kita bangkit kembali dari keterpurukan. Bangkit dari setiap kegagalan yang pernah mendera. Saya yakin, setiap orang mempunyai cara tersendiri untuk bangkit dari keterpurukan itu. Begitu juga dengan para penulis buku ini. Mereka memiliki senjata yang ampuh untuk membangkitkan kembali gairah hidup mereka. Para penulis buku ini mempunyai motto hidup yang begitu beragam, ada yang mengutip perkataan dari sastrawan, ilmuan, dan yang pastinya dari Rosulullah SAW yang begitu sangat menggugah dan mampu menggetarkan jiwa manusia.
Suhairi, dengan motto hidupnya yang mengutip dari Thomas Alfa Edison "Saya tidak akan gagal, hanya menemukan ribuan kali cara yang salah. Saya pasti sukses karena kehabisan percobaan yang salah". Abdullah, dengan mengutip puisi dari sastrawan Taufik Ismail "Kita harus berjalan terus. Karena berhenti atau mundur,, berarti hancur." Zahriyah, mengutip dari hadits nabi “Kejarlah akhirat maka dunia akan mengikuti kita, sebaliknya kejarlah dunia maka akhirat akan meninggalkan kita.” Atau dengan membuat kutipan sendiri, seperti Nissa “Menang adalah ujian. Kalah adalah tantangan. Ridha Allah jadi tujuan. Allah tak pernah salah dalam menuliskan takdir hamba-Nya.”
Bagi mereka motto hidup adalah sugesti jiwa yang sangat penting.
Lalu, bagaimana menurut Anda?
Penulis:
Aray Rayza Alisjabana (Encep A), Mahasiswa Diksatrasia Untirta.
Bergiat di Belistra dan Kubah Budaya.
GUCENG
Cerpen: Aray Rayza Alisjahbana
Guceng melompat dari pagar besi pembatas pasar ikan yang lumayan tinggi itu. Ia berlari kencang sambil sesekali melengos ke belakang dan menjulurkan lidahnya ke aparat polisi yang mengejarnya.
“Dasar bocah tengik!” ujar salah satu aparat polisi sambil mengangkat pentungannya di atas kepala. Guceng tidak mengkiraukannya. Ia pun bergegas kembali ke markasnya.
“Dapat berapa?” tanya Udin sambil menghisap sebatang lisongnya.
“Lumayan buat beli rokok dan minum.”
“Coba liat…! Wah ini sih lumayan banyak. Bisa pesta kita malam ini.”
“Ya bisa sih, tapi lu jangan kasih tau bos yah kalo gue dapet segini…”
“Sip!”
Kedua bocah yang menginjak masa puber itu mengipas mukanya dengan lembaran-lembaran uang sambil bersiulan dengan wajah berseri-seri. Mereka pun adu jotos petanda itu adalah kemenangan mereka.
“Hei, apa itu di tangan kalian?” tiba tiba Bos Pasal datang dari arah pintu samping. Kedua bocah itu seketika terperangah dan langsung menyimpan uang itu di kantong belakang celananya.
“Bukan apa-apa kok Bos,” Guceng dan kawannya mengangkat kedua tangannya.
“Ah kalian!” Bos Pasal memutar badan kedua bocah itu. Uang-uang itu kelihatan dari balik kantong celana mereka berdua yang robek.
“Haha, dasar bocah! Kalian gak usah takut. Kalian tetap dapat sebagian kok. Tenang saja. Meskipun gue ini menyeramkan, tapi gue ini baik hati,” ujar Bos Pasal sambil menghitung uang yang ia ambil dari kantong kedua bocah itu.
“Ini buat lu Din! Dan ini buat lu Ceng!”
"Yah, kok cuma cepe doang sih Bos? Bos tiga kali lipat dari ini," protes Guceng dengan wajah agak ngotot.
"Anak kecil tau apa sih soal uang. Ini gue tambahin gopek. Haha…!” lantas Bos Pasal pun pergi.
"Sial, malam ini kita nggak jadi pesta!" lirih Udin.
"Iya, mentang-mentang kita ini anak asuhan dia,"
"Mau gimana lagi Ceng, kalo nggak ada dia siapa yang bakal jagain kita dan anak-anak yang lain?"
"Bener juga sih. Hm... andai saja jika kedua orang tuaku masih ada di dunia ini, pasti hidupku tidak seperti ini" Guceng duduk di kursi kayu goyang—yang biasa di pakai oleh orang-orang tua—ia menopang dagunya dengan kedua tangannya. Sambil bergoyang-goyang pikirannya entah kemana. Lambaian tangan Udin pun yang mengayun di wajahnya, tidak ia hiraukan.
***
"Bapaaak... Bapak kenapa sih nggak jadi orang kaya?" tanya Guceng dengan polosnya ditempat tidur.
"Guceeng, kerja seperti ini saja Bapak sudah bersyukur. Ya, walaupun pekerjaan bapak terkadang menantang maut di tengah laut, tapi semua ini ya Bapak lakukan untuk kamu dan ibu kamu. Setidaknya kamu bisa sekolah. Ya minimal sembilan tahun."
"Kenapa bapak nggak kayak di tipi-tipi itu, yang minta uang di bank dengan pistol..."
"Itu namanya merampok Guceng, tidak boleh,"
"Kenapa tidak boleh?"
"Itu dosa. Dilarang oleh agama dan hukum negara kita." Guceng pun terdiam.
Sesosok Guceng yang masih kecil—ya, kelas 4 SD—terkadang membuat bingung kedua orang tuanya. Pertanyaan-pertanyaan polosnya terkadang membuat kedua orangtuanya mengernyitkan dahi. Di sekolahnya pun ia bisa dibilang usil. Usil kepada gurunya dan teman-temannya. Pernah suatu kali ia bertanya begini di dalam kelas,
"Ibu, kenapa sih ibu jadi guru? Terus tangannya cuma satu lagi. Apa kalo jadi guru itu kayak gitu ya bu?"
Dalam hati, ibu guru itu tertawa geli, tetapi disisi lain ia agak terpukul juga dengan pertanyaan itu. Ibu guru bertangan satu yang mengajar PKn itu menjawab dengan rendah hati,
"Semua ini pemberian Tuhan Nak, patut disyukuri meskipun agak perih. Ya begini juga ibu masih ingin tetap hidup. Begitu pun dengan orang lain di luar sana. Entah itu dokter, insinyur, pengamen jalanan, maupun perampok, ya meskipun pekerjaan merampok itu haram. Tetapi mereka juga manusia, berhak hidup. Itulah yang namanya hak asasi manusia, seperti yang tercatat dalam Undang-Undang pasal 28A, yang berbunyi, Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup."
Guceng dan teman-temannya terdiam. Entah itu petanda mereka mengerti atau tidak dengan perkataan ibu guru mereka itu. Memang jika dipikirkan hal itu amatlah tidak dimasuk akal—bocah sekolah dasar diberi penjelasan yang lumayan berat seperti itu. Guceng dan teman-temannya masih bengong, padahal ibu guru sudah keluar dari kelas. Rupanya perkataan ibu guru itu mampu menghipnotis murid-muridnya.
"Tadi kamu mengerti?" tanya salah seorang murid ke teman sebangkunya.
"Nggak?"
"Kamu?" ke teman yang lainnya.
"Nggak juga."
"Terus kamu, tadi mengerti?"
"Nggak juga?"
"Guceng, kalo kamu?" Guceng tidak menjawab. "Hei, Guceeng!" sekali lagi.
"Yaaa... aku mengertiii...!!!" tiba-tiba ia bangkit dari tempat duduknya. Sekaligus bangkit dari khayalannya di kursi goyang orang tua itu.
"Ya, HAK ASASI MANUSIA! Itu benar! Itu benar! Jangan salahkan saya jika saya begini! Haha... HAK ASASI MANUSIA!"
Semenjak kedua orang tuanya pergi enam tahun yang lalu, hukum hak asasi manusia itu kini berlaku bagi Guceng. Kedua orangtuanya sudah dipanggil yang maha kuasa ketika mereka tengah berlayar di lautan. Mereka dihantam ombak. Dan jasad mereka tidak ditemukan. Dan sekarang jadi beginilah Guceng. Menjadi anak terlantar. Para tetangganya tidak ada yang mau mengasuh dia. Merepotkan katanya. Buat makan keluarga sendiri saja kurang. Yah, begitulah memang kehidupan dikampung Guceng yang serba hidup sendiri. Kampung yang berada di ujung tepi laut itu memanglah kebanyakan orang yang kurang berada. Sampai akhirnya Guceng minggat dari kediamannya, dan berlari menuju kota untuk mencari sesuap nasi. Mulai dari kecrak-kecrek dari tutup botol. Menyapu mobil-mobil angkot di terminal. Atau menyanyi dengan teman-temannya yang ketemu serampangan saja di perempatan lampu merah perkotaan. Sampai akhirnya ia pun bertemu dengan Bos Pasal. Bos anak jalanan di kota.
"Para bocah ingusan, hidup itu susah. Kalian jangan mau mengandalkan pemerintah untuk membantu kalian yang terlantar ini. Pemerintah hanya omong kosong. Katanya di dalam undang-undang, fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Woy para bocah ingusan, jangan percaya dengan kata-kata itu. Kalian juga punya hak hidup. Hiduplah dengan cara yang kalian bisa. Yang mau nyopet, silakan nyopet! Yang mau ngamen, silakan ngamen! Yang harus kita pikirkan sekarang adalah hidup, hidup, dan hidup!"
Guceng semakin terperdaya dengan pidato itu yang ia dengar pertama kali di sebuah markas yang cukup besar, namun tertutup. Dan kini tempat itulah yang menjadi tempat tinggalnya hingga sekarang ini.
"Bos Pasal. Pantas saja ia itu di panggil Bos Pasal," gumam Guceng.
Kini Guceng sudah lupa dengan segala perkataan ayahnya. Jangan merampok. Itu haram. Dan kata ibu gurunya juga. Jangan merampok. Haram. Tetapi keadaan berpaling. Yang ada dalam pikirannya sekarang adalah bertahan hidup.
Hukum hak asasi manusia itu rupanya kini sudah sangat melekat pada dirinya. Apalagi dengan doktrin dari Bos Pasal itu. Di kepala Guceng, yang terpikirkan adalah hak asasi manusia, hak asasi manusia, dan hak asasi manusia! Tidak ada yang lain.
"Din, memang benar juga sih apa yang dikatakan Bos Pasal itu yah," ungkap Guceng pagi itu.
"Perkataan yang mana?"
"Biasa. Pasal."
"Oh, itu... tapi emang kenyataannya begitu kan Ceng. Bukannya kita ini memang jarang atau bahkan sama sekali tidak di perhatikan sama pemerintah. Malah kadang diusir dengan semena-mena, bahkan dipukuli hingga tewas. Tahu sendirikan seminggu yang lalu dan yang dulu-dulu juga, teman kita banyak yang mati gara-gara diringkus oleh aparat. Mereka tidak diamankan tetapi malah disiksa. Negara macam apa seperti ini Ceng..."
"Ah omongan loe kayak kritikus saja,"
"Kan gue ngomong begini diajarin sama Bos Pasal,"
"Hidup ini memang edan yah Din,"
"Sudahlah, lakukan saja apa yang menjadi hak kita,"
"Hak apa?"
"Hak hiduplah Din!"
"Ah, loe ini plan-plan amat belakangan ini..."
"Tak tahulah."
"Ceng, udah agak siang nih. Udah rame. Ayo beraksi! Hak asasi manusia Boy!"
Hari itu, seperti biasa mereka beroperasi di pasar-pasar atau tempat swalayan yang ramai dikunjungi orang. Mereka menyelip-nyelip di kerumunan orang. Sekali ibu-ibu lengah. Jambret. Tukang dagang baso lengah. Sikat. Tukang dagang sendal kencing. Pancing. Semua yang lengah-lengah pasti tak ubahnya jadi sasaran. Sudah banyak benda-benda dan barang berharga yang dirampasnya dalam jangka waktu lima jam. Semua benda dan barang-barang itu mereka masukkan ke kantong celana atau ke ransel mereka.
"Hah, sepertinya kita sudah dapat cukup banyak Din," ujar Guceng.
Polisii... Polisii... Polisi...
Tiba-tiba saja ada teriakan dari arah samping kiri di perempatan pasar itu. Semua yang merasa anak jalanan dan orang jompo peminta-minta lari terbirit-birit. Hal ini memang sudah biasa terjadi pada mereka. Guceng dan Udin dengan gesitnya berlari ke tempat-tempat yang susah dijangkau oleh polisi. Sedangkan orang-orang jompo itu pastilah selalu tertangkap. Wajar saja, mereka tidak kuat lari. Apalagi polisi pemburu anak-anak jalanan itu dikerahkan lumayan banyak.
"Hei, jangan lari kalian!" salah satu aparat polisi menemukan mereka yang sedang duduk istirahat sambil minum di tempat sempit dan agak kumuh. Guceng dan Udin pun seketika kaget dan langsung bangun sambil melempar botol aqua yang mereka pegang ke arah aparat polisi itu.
Mereka terus berlari. Berlari dengan kencang. Sampai akhirnya Guceng dan Udin pun berhasil lagi melompati pagar besi pembatas pasar ikan yang biasa mereka lewati itu. Seperti biasa, tidak lupa mereka menjulurkan lidahnya ke aparat polisi itu.
"Dasar kalian bocah tengik!"
13 Juni 2011
Biodata Penulis:
Aray Rayza Alisjahbana. Lahir di Serang, 20 September 1990. Mahasiswa Diksatrasia Untirta. Karyanya berupa puisi, cerpen, dan resensi pernah dimuat di Fajar Banten (Sekarang Kabar Banten) dan Radar Banten. Bergiat di Kubah Budaya dan Belistra Untirta. Sekarang menetap di Pontang bersama orangtuanya.
Guceng melompat dari pagar besi pembatas pasar ikan yang lumayan tinggi itu. Ia berlari kencang sambil sesekali melengos ke belakang dan menjulurkan lidahnya ke aparat polisi yang mengejarnya.
“Dasar bocah tengik!” ujar salah satu aparat polisi sambil mengangkat pentungannya di atas kepala. Guceng tidak mengkiraukannya. Ia pun bergegas kembali ke markasnya.
“Dapat berapa?” tanya Udin sambil menghisap sebatang lisongnya.
“Lumayan buat beli rokok dan minum.”
“Coba liat…! Wah ini sih lumayan banyak. Bisa pesta kita malam ini.”
“Ya bisa sih, tapi lu jangan kasih tau bos yah kalo gue dapet segini…”
“Sip!”
Kedua bocah yang menginjak masa puber itu mengipas mukanya dengan lembaran-lembaran uang sambil bersiulan dengan wajah berseri-seri. Mereka pun adu jotos petanda itu adalah kemenangan mereka.
“Hei, apa itu di tangan kalian?” tiba tiba Bos Pasal datang dari arah pintu samping. Kedua bocah itu seketika terperangah dan langsung menyimpan uang itu di kantong belakang celananya.
“Bukan apa-apa kok Bos,” Guceng dan kawannya mengangkat kedua tangannya.
“Ah kalian!” Bos Pasal memutar badan kedua bocah itu. Uang-uang itu kelihatan dari balik kantong celana mereka berdua yang robek.
“Haha, dasar bocah! Kalian gak usah takut. Kalian tetap dapat sebagian kok. Tenang saja. Meskipun gue ini menyeramkan, tapi gue ini baik hati,” ujar Bos Pasal sambil menghitung uang yang ia ambil dari kantong kedua bocah itu.
“Ini buat lu Din! Dan ini buat lu Ceng!”
"Yah, kok cuma cepe doang sih Bos? Bos tiga kali lipat dari ini," protes Guceng dengan wajah agak ngotot.
"Anak kecil tau apa sih soal uang. Ini gue tambahin gopek. Haha…!” lantas Bos Pasal pun pergi.
"Sial, malam ini kita nggak jadi pesta!" lirih Udin.
"Iya, mentang-mentang kita ini anak asuhan dia,"
"Mau gimana lagi Ceng, kalo nggak ada dia siapa yang bakal jagain kita dan anak-anak yang lain?"
"Bener juga sih. Hm... andai saja jika kedua orang tuaku masih ada di dunia ini, pasti hidupku tidak seperti ini" Guceng duduk di kursi kayu goyang—yang biasa di pakai oleh orang-orang tua—ia menopang dagunya dengan kedua tangannya. Sambil bergoyang-goyang pikirannya entah kemana. Lambaian tangan Udin pun yang mengayun di wajahnya, tidak ia hiraukan.
***
"Bapaaak... Bapak kenapa sih nggak jadi orang kaya?" tanya Guceng dengan polosnya ditempat tidur.
"Guceeng, kerja seperti ini saja Bapak sudah bersyukur. Ya, walaupun pekerjaan bapak terkadang menantang maut di tengah laut, tapi semua ini ya Bapak lakukan untuk kamu dan ibu kamu. Setidaknya kamu bisa sekolah. Ya minimal sembilan tahun."
"Kenapa bapak nggak kayak di tipi-tipi itu, yang minta uang di bank dengan pistol..."
"Itu namanya merampok Guceng, tidak boleh,"
"Kenapa tidak boleh?"
"Itu dosa. Dilarang oleh agama dan hukum negara kita." Guceng pun terdiam.
Sesosok Guceng yang masih kecil—ya, kelas 4 SD—terkadang membuat bingung kedua orang tuanya. Pertanyaan-pertanyaan polosnya terkadang membuat kedua orangtuanya mengernyitkan dahi. Di sekolahnya pun ia bisa dibilang usil. Usil kepada gurunya dan teman-temannya. Pernah suatu kali ia bertanya begini di dalam kelas,
"Ibu, kenapa sih ibu jadi guru? Terus tangannya cuma satu lagi. Apa kalo jadi guru itu kayak gitu ya bu?"
Dalam hati, ibu guru itu tertawa geli, tetapi disisi lain ia agak terpukul juga dengan pertanyaan itu. Ibu guru bertangan satu yang mengajar PKn itu menjawab dengan rendah hati,
"Semua ini pemberian Tuhan Nak, patut disyukuri meskipun agak perih. Ya begini juga ibu masih ingin tetap hidup. Begitu pun dengan orang lain di luar sana. Entah itu dokter, insinyur, pengamen jalanan, maupun perampok, ya meskipun pekerjaan merampok itu haram. Tetapi mereka juga manusia, berhak hidup. Itulah yang namanya hak asasi manusia, seperti yang tercatat dalam Undang-Undang pasal 28A, yang berbunyi, Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup."
Guceng dan teman-temannya terdiam. Entah itu petanda mereka mengerti atau tidak dengan perkataan ibu guru mereka itu. Memang jika dipikirkan hal itu amatlah tidak dimasuk akal—bocah sekolah dasar diberi penjelasan yang lumayan berat seperti itu. Guceng dan teman-temannya masih bengong, padahal ibu guru sudah keluar dari kelas. Rupanya perkataan ibu guru itu mampu menghipnotis murid-muridnya.
"Tadi kamu mengerti?" tanya salah seorang murid ke teman sebangkunya.
"Nggak?"
"Kamu?" ke teman yang lainnya.
"Nggak juga."
"Terus kamu, tadi mengerti?"
"Nggak juga?"
"Guceng, kalo kamu?" Guceng tidak menjawab. "Hei, Guceeng!" sekali lagi.
"Yaaa... aku mengertiii...!!!" tiba-tiba ia bangkit dari tempat duduknya. Sekaligus bangkit dari khayalannya di kursi goyang orang tua itu.
"Ya, HAK ASASI MANUSIA! Itu benar! Itu benar! Jangan salahkan saya jika saya begini! Haha... HAK ASASI MANUSIA!"
Semenjak kedua orang tuanya pergi enam tahun yang lalu, hukum hak asasi manusia itu kini berlaku bagi Guceng. Kedua orangtuanya sudah dipanggil yang maha kuasa ketika mereka tengah berlayar di lautan. Mereka dihantam ombak. Dan jasad mereka tidak ditemukan. Dan sekarang jadi beginilah Guceng. Menjadi anak terlantar. Para tetangganya tidak ada yang mau mengasuh dia. Merepotkan katanya. Buat makan keluarga sendiri saja kurang. Yah, begitulah memang kehidupan dikampung Guceng yang serba hidup sendiri. Kampung yang berada di ujung tepi laut itu memanglah kebanyakan orang yang kurang berada. Sampai akhirnya Guceng minggat dari kediamannya, dan berlari menuju kota untuk mencari sesuap nasi. Mulai dari kecrak-kecrek dari tutup botol. Menyapu mobil-mobil angkot di terminal. Atau menyanyi dengan teman-temannya yang ketemu serampangan saja di perempatan lampu merah perkotaan. Sampai akhirnya ia pun bertemu dengan Bos Pasal. Bos anak jalanan di kota.
"Para bocah ingusan, hidup itu susah. Kalian jangan mau mengandalkan pemerintah untuk membantu kalian yang terlantar ini. Pemerintah hanya omong kosong. Katanya di dalam undang-undang, fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Woy para bocah ingusan, jangan percaya dengan kata-kata itu. Kalian juga punya hak hidup. Hiduplah dengan cara yang kalian bisa. Yang mau nyopet, silakan nyopet! Yang mau ngamen, silakan ngamen! Yang harus kita pikirkan sekarang adalah hidup, hidup, dan hidup!"
Guceng semakin terperdaya dengan pidato itu yang ia dengar pertama kali di sebuah markas yang cukup besar, namun tertutup. Dan kini tempat itulah yang menjadi tempat tinggalnya hingga sekarang ini.
"Bos Pasal. Pantas saja ia itu di panggil Bos Pasal," gumam Guceng.
Kini Guceng sudah lupa dengan segala perkataan ayahnya. Jangan merampok. Itu haram. Dan kata ibu gurunya juga. Jangan merampok. Haram. Tetapi keadaan berpaling. Yang ada dalam pikirannya sekarang adalah bertahan hidup.
Hukum hak asasi manusia itu rupanya kini sudah sangat melekat pada dirinya. Apalagi dengan doktrin dari Bos Pasal itu. Di kepala Guceng, yang terpikirkan adalah hak asasi manusia, hak asasi manusia, dan hak asasi manusia! Tidak ada yang lain.
"Din, memang benar juga sih apa yang dikatakan Bos Pasal itu yah," ungkap Guceng pagi itu.
"Perkataan yang mana?"
"Biasa. Pasal."
"Oh, itu... tapi emang kenyataannya begitu kan Ceng. Bukannya kita ini memang jarang atau bahkan sama sekali tidak di perhatikan sama pemerintah. Malah kadang diusir dengan semena-mena, bahkan dipukuli hingga tewas. Tahu sendirikan seminggu yang lalu dan yang dulu-dulu juga, teman kita banyak yang mati gara-gara diringkus oleh aparat. Mereka tidak diamankan tetapi malah disiksa. Negara macam apa seperti ini Ceng..."
"Ah omongan loe kayak kritikus saja,"
"Kan gue ngomong begini diajarin sama Bos Pasal,"
"Hidup ini memang edan yah Din,"
"Sudahlah, lakukan saja apa yang menjadi hak kita,"
"Hak apa?"
"Hak hiduplah Din!"
"Ah, loe ini plan-plan amat belakangan ini..."
"Tak tahulah."
"Ceng, udah agak siang nih. Udah rame. Ayo beraksi! Hak asasi manusia Boy!"
Hari itu, seperti biasa mereka beroperasi di pasar-pasar atau tempat swalayan yang ramai dikunjungi orang. Mereka menyelip-nyelip di kerumunan orang. Sekali ibu-ibu lengah. Jambret. Tukang dagang baso lengah. Sikat. Tukang dagang sendal kencing. Pancing. Semua yang lengah-lengah pasti tak ubahnya jadi sasaran. Sudah banyak benda-benda dan barang berharga yang dirampasnya dalam jangka waktu lima jam. Semua benda dan barang-barang itu mereka masukkan ke kantong celana atau ke ransel mereka.
"Hah, sepertinya kita sudah dapat cukup banyak Din," ujar Guceng.
Polisii... Polisii... Polisi...
Tiba-tiba saja ada teriakan dari arah samping kiri di perempatan pasar itu. Semua yang merasa anak jalanan dan orang jompo peminta-minta lari terbirit-birit. Hal ini memang sudah biasa terjadi pada mereka. Guceng dan Udin dengan gesitnya berlari ke tempat-tempat yang susah dijangkau oleh polisi. Sedangkan orang-orang jompo itu pastilah selalu tertangkap. Wajar saja, mereka tidak kuat lari. Apalagi polisi pemburu anak-anak jalanan itu dikerahkan lumayan banyak.
"Hei, jangan lari kalian!" salah satu aparat polisi menemukan mereka yang sedang duduk istirahat sambil minum di tempat sempit dan agak kumuh. Guceng dan Udin pun seketika kaget dan langsung bangun sambil melempar botol aqua yang mereka pegang ke arah aparat polisi itu.
Mereka terus berlari. Berlari dengan kencang. Sampai akhirnya Guceng dan Udin pun berhasil lagi melompati pagar besi pembatas pasar ikan yang biasa mereka lewati itu. Seperti biasa, tidak lupa mereka menjulurkan lidahnya ke aparat polisi itu.
"Dasar kalian bocah tengik!"
13 Juni 2011
Biodata Penulis:
Aray Rayza Alisjahbana. Lahir di Serang, 20 September 1990. Mahasiswa Diksatrasia Untirta. Karyanya berupa puisi, cerpen, dan resensi pernah dimuat di Fajar Banten (Sekarang Kabar Banten) dan Radar Banten. Bergiat di Kubah Budaya dan Belistra Untirta. Sekarang menetap di Pontang bersama orangtuanya.
Tentang V.F.O
V.F.O
aku kira kau tak detak
dengan jarum jam yang berputar
dengan udara yang masuk ke paruparumu
kau suruh aku membaca segala isyarat matamu
segala gerak cuaca dan rintik hujan
bukankan sebelum hujan ada mendung?
ada petir?
mungkin waktu bagimu adalah pengorbanan
dan aku, harus melakukan
V.F.O
aku bukan tuhan
bukan malaikat
bukan setan
bukan dukun
aku manusia yang tak tahu dengan
tulang punggungku sendiri
Pontang, 2—5 Juni 2011
aku kira kau tak detak
dengan jarum jam yang berputar
dengan udara yang masuk ke paruparumu
kau suruh aku membaca segala isyarat matamu
segala gerak cuaca dan rintik hujan
bukankan sebelum hujan ada mendung?
ada petir?
mungkin waktu bagimu adalah pengorbanan
dan aku, harus melakukan
V.F.O
aku bukan tuhan
bukan malaikat
bukan setan
bukan dukun
aku manusia yang tak tahu dengan
tulang punggungku sendiri
Pontang, 2—5 Juni 2011
Rabu, 18 Mei 2011
Hidupku sebagai Manusia
Hidupku sebagai Manusia I
: mewakili sebagian orang
Harus berapa kali aku berkata kepada tuhan
Bahwa aku sudah bosan dengan alur kehidupan ini
Tak ada yang beda
Hidup kadangkala absurd, tak masuk akal
Kapan hidup ini seperti orang gila,
Tapi gila yang tak gila!
Kampret!
Mei, 2011
Hidupku sebagai Manusia II
semenjak sebagian otakku hilang di masjid
hidup kadangkala seperti seorang gadis kecil
yang kehilangan orang tuanya di stasiun kereta api
“mana bapakku…?!”
“mana ibuku…?!”
Lantas ia tersesat
Mei, 2011
: mewakili sebagian orang
Harus berapa kali aku berkata kepada tuhan
Bahwa aku sudah bosan dengan alur kehidupan ini
Tak ada yang beda
Hidup kadangkala absurd, tak masuk akal
Kapan hidup ini seperti orang gila,
Tapi gila yang tak gila!
Kampret!
Mei, 2011
Hidupku sebagai Manusia II
semenjak sebagian otakku hilang di masjid
hidup kadangkala seperti seorang gadis kecil
yang kehilangan orang tuanya di stasiun kereta api
“mana bapakku…?!”
“mana ibuku…?!”
Lantas ia tersesat
Mei, 2011
Sabtu, 07 Mei 2011
UDIN (Si Penjual Jengkol)
Cerpen: Aray Rayza Alisjahbana
Meskipun masih pagi, namun terik matahari begitu menyengat di tubuh Udin. Seperti biasa setiap pagi ia membawa dagangannya itu dengan sebuah gerobak yang sudah agak reyot. Ya, seperti gerobak yang dibawa oleh para pedagang-pedagang sayur keliling. Persis seperti itu. Dan yang harus kamu tahu, setiap kali gerobak Udin itu melewati orang-orang di sekitarnya, bagi yang tidak biasa mencium baunya maka siap-siap saja untuk menutup hidung. Karena bisa menyebarkan aroma yang kurang menyegarkan.
Semenjak tiga hari belakangan ini, dagangannya memang sedang sedikit pembeli. Ya, mau bagaimana lagi, orang-orang tidak mungkin membeli dagangannya itu setiap hari. Bisa-bisa toilet menjadi seperti semur jengkol. Ya, mungkin. Nyatanya Udin memang seorang pedagang jengkol.
Ini adalah warisan turun-temurun dari kakeknya. Ayahnya, sembilan tahun lalu meninggal akibat kecelakaan—tertabrak mobil saat mendorong gerobak ke pasar— dan kini Udinlah yang menggantikan posisi ayahnya sekaligus menjadi ujung tombak keluarganya. Adik-adiknya yang masih sekolah dasar dan sekolah menengah sangat membutuhkan bantuannya. Ibunya, hanyalah seorang tukang cuci baju di kampungnya. Memang lumayan berat bagi Udin berjualan seperti ini. Dia meninggalkan sekolah menengahnya gara-gara ini. Padahal waktu itu ia sebentar lagi akan ujian akhir sekolah. Harapannya pupus seketika. Kini cita-citanya untuk sekolah ke yang lebih tinggi hanya menjadi khayalan saja dalam hidupnya.
Udin istirahat sebentar di sebuah warung kecil. Baru saja tiga puluh menit ia melangkahkan kakinya dari rumah, tapi ia sudah terlihat lelah. Ya, tubuhnya yang kurus itu memang terlalu memaksakan. Wajahnya sudah agak lusuh. Tapi secara fisik, ia terimbangi dengan postur tubuhnya yang tinggi dan berhidung mancung, sehingga membuatnya tidak terlalu seperti orang kampungan. Hehe...
Tiga puluh menit kemudian, akhirnya Udin pun sampai ditempat ia berjualan. Di Pasar Rau. Pasar yang fenomenal di Kabupaten Serang. Pasar yang kecil, sumpek, agak kumuh. Sampah berserakan di mana-mana. Tapi anehnya banyak sebagian orang kantoran bahkan para pejabat yang membeli barang-barang ditempat itu. Malah tempat itu menjadi pusat penjualan toko-toko emas di wilayah Serang. Udin hanya menggeleng-geleng kepala saja jika ia mencoba membandingkan antara emas-emas itu dengan jengkol-jengkol dagangannya.
“Andai saja jengkol-jengkol ini adalah emas,” ujarnya dengan wajah yang agak memelas. Jengkol-jengkol itu di koyak-koyaknya seperti beras.
“Tolong...! toloong...! copeeet...!” Tiba-tiba saja terdengar teriakan seorang wanita dari arah belakang Udin.
“Mas, copet Mas...!” wanita itu menepuk bahu Udin saat ia melintas ke arahnya. Udin pun langsung ikut mengejar copet itu bersama warga pasar. Dagangannya ia tinggalkan.
Beberapa saat kemudian.
“Ini Mbak, dompet dan kalung Mbak,” Udin menyerahkan barang-barang itu setelah pencopet itu benar-benar sudah tidak berdaya di keroyok warga pasar.
“Coba dilihat lagi Mbak, takut ada yang kurang,” ujarnya lagi. Wanita itu mengecek kembali isi dompetnya.
“Lengkap kok Mas. Makasih yah Mas. Ini buat Mas!” Wanita itu menyodorkan dua lembar uang ratusan ribu pada Udin.
“Waduh Mbak, nggak usah repot-repot. Biar Tuhan yang membalas semua ini.” Lalu wanita itu pun memasukkan kembali uangnya dalam dompet.
“Sekali lagi makasih yah Mas.” Ujar wanita itu, lalu ia pun menghilang dari wajah pasar setelah ia menaiki mobil Honda Jazz-nya.
Tiba-tiba seraut wajah Udin sontak kaget ketika ia melihat dagangannya berserakan. Jengkol-jengkolnya bececeran di tanah.
“Sana kamu pergi! Dasar orang gila!” sentaknya, orang gila setengah telanjang itu pun kabur terbirit- birit.
“Ya Tuhan kenapa jadi seperti ini” ujarnya sambil memunguti jengkolnya itu di tanah yang basah.
***
Di meja ruang tengah—ruang tivi— itu berserakan beberapa bungkus makanan. Ada dua bungkus kacang Garuda yang bungkus atasnya tersobek setengah. Salah satu isi bungkus kacang itu hampir habis. Sedang isi bungkus yang satunya lagi tinggal setengah. Sisa-sisa kulit kacang itu dibuang disisi kiri bungkusnya. Sedangkan makanan yang lain—chitato, cokelat, pilus, dll.— masih utuh disimpan dalam plastik putih bermerek Indomaret di bawah meja.
Di sofa, Iza sedang membaca sebuah majalah Gadis edisi Desember. Ia tiduran terbaring sambil kedua kakinya disilangkan. Rambut Iza yang panjang itu sebagian menyentuh paha Ibunya yang duduk di sofa samping kirinya. Ibunya memandangnya dengan penuh tanda tanya.
“Kapan kamu menikah Za?” Tanya ibunya tiba-tiba malam itu sambil memegang remot tivi.
“Gak tahu mah, belum ketemu cowok yang cocok buat Iza. Semua yang pernah dekat sama Iza sama saja, penjahat.”
“Kenapa nggak berusaha mencari lagi?”
“Ah, biar sajalah Mah, nanti juga ketemu sendiri.”
“Za, Mama malu dengan ejekan teman-teman arisan mama. Sebagian dari mereka ada yang punya anak seusia kamu. Anak-anak mereka sudah menikah dan sudah punya momongan. Kata salah satu dari mereka, kok belum punya cucu juga sih Jeng? Kapan anakmu menikah? Mama kan jadi malu. Mau disimpan di mana muka mama kalau kamu terus-terusan begini.”
“Terus?” Tanya Iza sambil menoleh ke mamanya.
“Ya kamu harus ¬cepat-cepat menikah.”
“Huh, Nyebeliin...!” Iza membanting majalahnya ke meja. Sisa-sisa kulit kacang berserakan dan bungkusnya jatuh ke lantai. Ia pergi menuju kamar.
Ya, memang sedari dulu mamanya menginginkan anak semata wayangnya itu untuk segera menikah. Mungkin sejak ia lulus dari Sekolah Menengah Atas. Tapi Iza menolak permintaan mamanya itu mentah-mentah. Memang, setelah kepergian sang kekasihnya itu dari hidupnya, Iza menjadi sensitif seperti ini. Kini Iza tengah berkuliah di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Kota Serang. Saat ini Ia sudah memasuki semester lima. Ya, lumayan dengan seusianya yang sudah menginjak dua puluh satu-an itu, mungkin sudah layak untuk menikah. Tapi menurutnya untuk persoalan yang satu ini tunggu dulu. Menunggu waktu yang tepat.
Iza masih mengurung diri di kamarnya. Ibunya yang sudah tiga, empat kali mengetuk-ngetuk pintu kamarnya, tidak dihiraukannya. Di kamar, Iza menindih wajahnya dengan bantal. Sampai akhirnya ia pun tertidur pulas dengan air matanya yang menempel basah di bantal itu.
***
Usai kuliah Iza kembali menuju ke pasar Rau. Seperti biasa ia ingin membeli pulsa ke tempat langganannya itu. Kini Ia bersama Ani, teman sekelasnya.
“Tahu nggak An, kemarin aku sempat kecopetan di tempat ini. Untung copet itu tertangkap. Coba kalau nggak, bisa-bisa aku digampar sama mamah, karena kalung dan isi dompetku raib oleh pencopet itu.”
“Terus siapa yang nolongin kamu Za?”
“Abang tukang jengkol.”
“Tukang Jengkol?” Ani mengerutkan kening saat mendengar jawaban Iza.
“Eh... eh... An... An... itu dia orangnya. Iya, itu Abang jengkol yang nolongin aku waktu itu.” Ujar Iza tiba-tiba sambil menujuknya, lalu ia membelokkan setir mobilnya ke arah parkiran. Ani menoleh-noleh ke kaca belakang mobil, saat mobil yang ditumpanginya itu melewati dagangan si abang tukang jengkol.
Iza dan Ani berjalan menghampiri Udin. Mereka berdua berjalan agak cepat. Udin yang sedari pagi menunggu dagangannya itu sedang asik merokok di warung sebelah dagangannya. Dengan mengenakan topinya yang bulat itu, ia terlihat seperti orang yang hendak mau mancing saja. Ia memiringkan topinya ke sebelah kiri sambil mengangkat kaki kanannya di atas paha kirinya.
Seketika mata Udin menatap tajam dua perempuan yang hendak mau menghampirinya itu. Salah satu dari mereka sepertinya tidak begitu asing di matanya. Iza dan temannya yang menghampirinya itu mengenakan baju agak ketat, mencairkan suasana abang-abang tukang becak yang mangkal disitu. Abang-abang becak saling berbisik.
“Melihat dua gadis itu, saya pengen cepet-cepet pulang ke rumah nih.”
“Dasar keong racun.”
“hahaha...”
Iza dan Ani pun semakin dekat menghampiri Udin. Udin membuang puntung rokoknya. Udin pun berdiri.
“Mbak? Mbak yang waktu itu kecopetan di sini itu yah?”
“Masih inget Bang?”
“Ya masih dong Mbak. Masa perempuan secantik Mbak saya lupa.”
“Ah, Abang bisa aja. Oh iya, kenalin bang ini teman saya. Ani.”
Akhirnya di warung itu, mereka pun duduk dan bercakap-cakap sambil menyeruput teh manis dan sepiring roti. Iza dan Ani bertanya-tanya tentang kehidupan Udin. Sesekali percakapan mereka pun terselingi oleh beberapa orang yang membeli dagangan Jengkol Udin. Iza dan Ani begitu terharu mendengar semua kisah Udin. Dari kehidupan keluarganya, kepribadiannya, hingga cita-citanya yang putus di ambang pintu itu.
“Yang sabar yah Bang, semuanya sudah digariskan oleh Tuhan.” Ujar Ani sambil memoleskan tisu dipipinya.
Usai percakapan itu akhirnya mereka berpisah. Iza lupa dengan dirinya yang ingin membeli pulsa. Emosinya terbawa oleh kisah Udin tadi. Iza dan Ani pun melangkahkan kakinya menuju mobil. Namun ketika hendak mau membuka pintu mobil tiba-tiba Iza balik arah lalu menghampiri Udin kembali.
“Bang, dagangannya saya beli semuanya yah?!”
“Emang buat apa Mbak?” Tanya Udin agak bengong.
“Buat tetangga saya yang mau nikahan Bang.”
Udin tidak mampu menolaknya. Wajahnya begitu sumringah. Baginya, mungkin hari itu adalah rezeki yang sudah diberikan oleh Tuhan padanya. Udin membungkus jengkol-jengkolnya itu dalam karung, lalu membawakannya ke bagasi belakang mobil Iza.
“Terimakasih yah Mbak.” Ujar Udin sambil menganggukkan kepalanya di sisi kanan pintu mobil Iza. Iza membuka kaca mobilnya perlahan dan menjawabnya dengan anggukan kepala juga. Lalu Iza pun menancapkan gas mobilnya.
“Katanya mau beli pulsa, kok malah beli jengkol? Aneh. Emang siapa tetangga kamu yang mau nikahan?” tanya Ani dua menit kemudian.
“Nggak tahu, tetangga yang mana kali. Hehe... aku hanya kasian saja dengan Bang Udin dan keluarganya, itu saja.”
“Oh.” Ani menangguk pelan, kemudian memalingkan wajahnya ke arah kiri, menatap matahari senja yang akan segera tenggelam.
***
Di kamarnya, entah mengapa bayangan Udin masih begitu terngiang di pikirannya. Semenjak percakapan sore itu, sikap Iza memang agak sedikit aneh. Seraut wajahnya sepertinya begitu menyimpan beribu empati pada sosok Udin itu. Entah apa yang membuatnya seperti ini.
“Bang Udin, aku begitu terharu dengan semangat Abang. Dengan perjuangan Abang dalam menafkahi diri Abang dan keluarga Abang. Tidak semua laki-laki yang seumuran Abang bisa berpikir sejauh ini. Kebanyakan lelaki hanya ingin mendapatkan kesenangan saja. Tapi Abang, begitu berbeda. Bang Udin? Kok tiba-tiba kamu mengingatkanku dengan wajah seseorang yang pernah aku kenal. Ya, Dion namanya. Tapi lelaki itu sudah tiada dua tahu silam. Aku sangat merindukannya. Dan kini aku menemukannya kembali pada seraut wajah dan hatimu Bang Udin.”
“Izaa...! Apa-apaan ini! Kok bagasi mobil jadi bau begini.” Tiba-tiba teriak mamanya dari luar rumah. Iza pun langsung keluar dari dalam kamar.
“Iya mah, kenapa?”
“Apa ini?” sambil menutup hidungnya.
“Itu jengkol Mah”
“Jengkol? Buat apa?”
“Ya, buat apa aja. Kasih kucing juga nggak apa-apa.”
“Ah, kamu ini ada-ada saja! Bejoo... tolong buang sampah-sampah ini dari mobil!” Tak lama kemudian, sesosok pembantu culun itu pun keluar dari dalam rumah.
“Kok dibuang sih mah?”
“Udah, diam kamu!” bentak ibunya. Iza agak cemberut, lalu ia pun kembali masuk ke kamar.
***
Sebulan ini Iza merasa ada sesuatu yang aneh dengan dirinya. Semenjak kenal dengan Udin, Iza benar-benar tidak mampu melupakan bayangannya. Apalagi belakangan ini Iza selalu main ditempat Udin usai jam kuliahnya.
Mereka sudah semakin akrab saja. Kadang sesekali Iza mencubit pipi Udin. Mereka lupa dengan status mereka masing-masing. Udin, lupa dengan statusnya sebagai penjual jengkol. Iza pun sama, lupa dengan statusnya sebagai anak seorang penjual emas.
“Abang, Mas, aduh enaknya panggil apa yah?”
“Abang saja.”
“Oh iya Bang, saya boleh nanya nggak?”
“Nanya apa?”
“Bang, selama ini perasaan abang bagaimana sih sama Iza?
“Perasaan apa yah Mbak? Saya tidak mengerti.”
“Ya perasaan abang sama Iza. Bang, Iza suka sama abang.”
“Apa? Suka? Ah, Mbak ada-ada saja. Masa Mbak secantik ini suka sama orang seperti saya. Sudah bau jengkol pula.”
“Panggil saya Iza saja yah Bang.”
Percakapan sore itu akhirnya membuahkan hasil.
Esok hari, Iza mempekenalkan Udin pada mamanya. Ia sudah tidak tahan dengan ocehan mamanya itu, agar ia cepat menikah.
“Mah, kenalin, ini Udin. Pacar saya. Sekaligus calon menantu mama. ” Ujar Iza memperkenalkan Udin di sofa ruang tamu. Mamanya sedari tadi memerhatikan seraut wajah Udin dan pakaiannya. Dari ujung kaki hingga ujung kepala.
“Udin? Calon menantu?” Tanya mamanya.
“Iya mah calon menantu mama.”
“Ya, Tuhan akhirnya Engkau mengabulkan juga doa saya. Akhirnya anak saya menikah juga.” Seketika seraut wajah mamanya sumringah.
“Udin, kamu kerja apa?” Tanya mama Iza kemudian.
“Pedagang Jengkol Bu.” Jawab Udin dengan suara melemah sambil menundukkan kepala.
“Apa? Pedagang Jengkol? Jangan jangan yang kemarin itu jengkol dari kamu yah?!” tiba-tiba wajah sumringat itu berubah seketika.
“Iya mah, itu dari dia.”
“Apa?! Sekarang juga kamu keluar! Keluar dari rumah saya! Saya tidak mau rumah saya bau jengkol! Saya tidak suka denga jengkol!” tiba-tiba mamanya Iza berubah seperti harimau, ganas dan liar. Ia berdiri sambil menunjuk-nunjuk wajah Udin. Udin hanya menunduk malu. Lalu Ia pun pergi.
“Mamah apa-apa sih!” Iza keluar menyusul Udin.
“Bang, tunggu Bang! Mau kemana? Maafin mama saya Bang.” Tapi langkah Iza dihalang oleh Bejo.
“Tahan dia, bawa ke kamar!” suruh mamanya pada Bejo.
Seraut wajah pedagang jengkol itu pun hilang dari tatapan mama Iza di sisi pintu.
“Jangan pernah kembali lagi ke sini!” Ujarnya.
***
Seusia kuliah seperti biasa Iza menghampiri Udin. Ia meminta maaf atas segala perlakuan mamanya itu kemarin.
“Iya, tidak apa-apa kok Mbak.”
“Tapi Bang, saya mau hidup sama abang. Saya nggak mau pulang. Izinkan saya tinggal bersama abang.”
“Tinggal sama saya Mbak? Aduh, nanti mamanya situ nyariin lagi. Kasihan Mbak.”
“Abang nggak kasihan sama saya?!” Iza sedikit mengambek.
Akhirnya Iza pun di bawa pulang ke rumah Udin. Udin tidak bisa berbuat apa-apa lagi, walaupun dalam hatinya ia tidak mau melakukan ini.
Sudah dua hari Iza bermalam di rumah Udin. Ia senang dengan adik-adik Udin yang kecil dan lucu. Iza memang tidak punya adik. Kadang ia sangat merasa kesepian di rumahnya. Apalagi sepeninggal ayahnya dua tahun lalu karena strok. Dirumahnya ia hanya ditemani sepasang boneka donal bebek berwarna pink.
“Non, orang tua Non pasti khawatir dengan keadaan Non.” Ujar Ibunya Udin.
“Biarin saja Bu. Mama tidak pernah mengerti dengan keinginan anaknya.”
“Lama-lama di sini nanti badan Non semakin bau jengkol lagi.”
“Nggak apa-apa kok Bu. Saya senang di sini, rame.” Ujarnya sambil bermain dengan adiknya Udin yang bungsu.
“Oh iya, bang Udin kemana kok ngak kelihatan?”
“Lagi di kebun pak Hasyim. Ia memotong rumput di situ.”
“Emang nggak jualan jengkol yah Bu?”
“Katanya, dia tidak mau, takut nantinya Non ketahuan ada di sini.”
“Aduh, jadi nggak enak.”
“Sudah Non, enggak apa-apa.”
Di rumah reyot itu mereka lama berbincang. Sebenarnya Iza merasa tidak enak jika harus berlama-lama di tempat Udin. Tapi, ia juga bingung. Ia sudah terlena pada Udin. Entah apa yang membuatnya nekad begini. Kasihan kah? Karena Udin mirip kekasihnya kah? Atau karena mamanya? Hanya hati Iza yang benar-benar tahu perasaan itu.
“Izaa... Izaa...! Keluar kamu!” tiba-tiba terdengar suara dari luar rumah. Iza yang masih berbincang dengan ibu Udin seketika berhenti.
“Sepertinya saya kenal suara itu.” ujar Iza.
“Izaa... Izaaa...!” suara itu semakin mengeras dari luar. Seisi rumah itu pun keluar semua menghampiri suara itu.
“Mama? Kok bisa kesini?” Iza tidak percaya setengah mati kalau mamanya tu ada di depan matanya. Ia mengusap-usap kembali matanya. “Iya, ini bener-bener Mamah?” Lalu ia pun menelan ludah dalam-dalam.
“Kenapa? Kamu nggak percaya kalau mamah bisa kesini? Hah!” kedua tangannya diletakkan di sisi pingganynya.”Bejoo... bawa pulang anak ini!” suruh mamanya Iza.
Ibunya Udin hanya bisa melongo, tidak bisa berbuat apa-apa.
“Eh, Bu mana anak kamu si Udin itu? Seenaknya saja bawa anak saya kabur! Malah di rumah jelek kayak gini lagi.” Ejek mamanya Iza. “Bisa-bisa saya lapor polisi!” ujarnya lagi.
“Eh.. eh.. ada apa ini? Rame bener?” tiba-tiba Udin datang sambil membawa sebuah golok tajam. “Ibu? Kok bisa kesini?” ujarnya lagi, Udin agak terkaget.
“Wah kamu sudah ngajak berantem yah, sudah bawa golok begitu? Ok! Bejoo... cepat lapor polisi! Bilang kalau anak jengkol ini telah menculik anak saya...!” Cepetan...!” Bejo pun pergi dengan sebuah mobil hitamnya.
“Bu, saya tidak berniat begini sama anak ibu...”
“Sudah! Sudah! Jangan banyak bicara! Orang sudah jelas begini.”
“Mah, saya yang minta tinggal sama dia, bang Udin tidak salah.” Ujar Iza sambil di pegang dua bodigar mamanya yang gemuk-gemuk.
“Sudah! Diam kamu! Pokoknya mama nggak setuju kalau kamu harus kawin sama dia.”
“Bukannya mamah sendiri yang ingin Iza cepat menikah?”
“Ya. Tapi bukan sama orang seperti ini. Kayak nggak ada orang yang lebih kaya dan lebih ganteng saja!” Iza pun terdiam.
Selang dua puluh menit. Polisi dan pasukannya pun datang. Iza, dan keluarga Udin tidak bisa berbuat apa-apa lagi saat Udin di borgol dan di bawa ke mobil tahanan.
“Pak, saya tidak bersalah Pak, Pak!” Lirih Udin. Tapi tetap saja polisi itu tidak menghiraukannya.
Iza, Ibunya Udin beserta adik-adiknya menangis di sisi pintu. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa.
***
Esok hari, Iza hanya diam membisu di kamarnya. Ia masih terus menangis. Tidak kuliah. Tidak mau makan.
Biodata Penulis:
Kenalin, nama aye Aray Rayza Alisjahbana. Tapi sebenernye nama asli aye Encep Abdullah. Aye lagi demen nih nulis cerpen. Ya, semenjak SMA sih sebenarnye. Walupun karya-karya aye masih kayak ceker ayam, tapi aye tetep semangat untuk terus berkarya.
Aye mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa ato disingkatnye UNTIRTA. Tahu ndak? Itu loh yang kampusnya di samping terminal Pakupatan Kota Serang-Banten. Ya udeh pokoke itulah. He..he.. Aye Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Kunjungi blog aye yah: www.pengarangtakpernahmati.blogspot.com
E-mail: encepabdullah@rocketmail.com
FB: Aray Pujangga
Meskipun masih pagi, namun terik matahari begitu menyengat di tubuh Udin. Seperti biasa setiap pagi ia membawa dagangannya itu dengan sebuah gerobak yang sudah agak reyot. Ya, seperti gerobak yang dibawa oleh para pedagang-pedagang sayur keliling. Persis seperti itu. Dan yang harus kamu tahu, setiap kali gerobak Udin itu melewati orang-orang di sekitarnya, bagi yang tidak biasa mencium baunya maka siap-siap saja untuk menutup hidung. Karena bisa menyebarkan aroma yang kurang menyegarkan.
Semenjak tiga hari belakangan ini, dagangannya memang sedang sedikit pembeli. Ya, mau bagaimana lagi, orang-orang tidak mungkin membeli dagangannya itu setiap hari. Bisa-bisa toilet menjadi seperti semur jengkol. Ya, mungkin. Nyatanya Udin memang seorang pedagang jengkol.
Ini adalah warisan turun-temurun dari kakeknya. Ayahnya, sembilan tahun lalu meninggal akibat kecelakaan—tertabrak mobil saat mendorong gerobak ke pasar— dan kini Udinlah yang menggantikan posisi ayahnya sekaligus menjadi ujung tombak keluarganya. Adik-adiknya yang masih sekolah dasar dan sekolah menengah sangat membutuhkan bantuannya. Ibunya, hanyalah seorang tukang cuci baju di kampungnya. Memang lumayan berat bagi Udin berjualan seperti ini. Dia meninggalkan sekolah menengahnya gara-gara ini. Padahal waktu itu ia sebentar lagi akan ujian akhir sekolah. Harapannya pupus seketika. Kini cita-citanya untuk sekolah ke yang lebih tinggi hanya menjadi khayalan saja dalam hidupnya.
Udin istirahat sebentar di sebuah warung kecil. Baru saja tiga puluh menit ia melangkahkan kakinya dari rumah, tapi ia sudah terlihat lelah. Ya, tubuhnya yang kurus itu memang terlalu memaksakan. Wajahnya sudah agak lusuh. Tapi secara fisik, ia terimbangi dengan postur tubuhnya yang tinggi dan berhidung mancung, sehingga membuatnya tidak terlalu seperti orang kampungan. Hehe...
Tiga puluh menit kemudian, akhirnya Udin pun sampai ditempat ia berjualan. Di Pasar Rau. Pasar yang fenomenal di Kabupaten Serang. Pasar yang kecil, sumpek, agak kumuh. Sampah berserakan di mana-mana. Tapi anehnya banyak sebagian orang kantoran bahkan para pejabat yang membeli barang-barang ditempat itu. Malah tempat itu menjadi pusat penjualan toko-toko emas di wilayah Serang. Udin hanya menggeleng-geleng kepala saja jika ia mencoba membandingkan antara emas-emas itu dengan jengkol-jengkol dagangannya.
“Andai saja jengkol-jengkol ini adalah emas,” ujarnya dengan wajah yang agak memelas. Jengkol-jengkol itu di koyak-koyaknya seperti beras.
“Tolong...! toloong...! copeeet...!” Tiba-tiba saja terdengar teriakan seorang wanita dari arah belakang Udin.
“Mas, copet Mas...!” wanita itu menepuk bahu Udin saat ia melintas ke arahnya. Udin pun langsung ikut mengejar copet itu bersama warga pasar. Dagangannya ia tinggalkan.
Beberapa saat kemudian.
“Ini Mbak, dompet dan kalung Mbak,” Udin menyerahkan barang-barang itu setelah pencopet itu benar-benar sudah tidak berdaya di keroyok warga pasar.
“Coba dilihat lagi Mbak, takut ada yang kurang,” ujarnya lagi. Wanita itu mengecek kembali isi dompetnya.
“Lengkap kok Mas. Makasih yah Mas. Ini buat Mas!” Wanita itu menyodorkan dua lembar uang ratusan ribu pada Udin.
“Waduh Mbak, nggak usah repot-repot. Biar Tuhan yang membalas semua ini.” Lalu wanita itu pun memasukkan kembali uangnya dalam dompet.
“Sekali lagi makasih yah Mas.” Ujar wanita itu, lalu ia pun menghilang dari wajah pasar setelah ia menaiki mobil Honda Jazz-nya.
Tiba-tiba seraut wajah Udin sontak kaget ketika ia melihat dagangannya berserakan. Jengkol-jengkolnya bececeran di tanah.
“Sana kamu pergi! Dasar orang gila!” sentaknya, orang gila setengah telanjang itu pun kabur terbirit- birit.
“Ya Tuhan kenapa jadi seperti ini” ujarnya sambil memunguti jengkolnya itu di tanah yang basah.
***
Di meja ruang tengah—ruang tivi— itu berserakan beberapa bungkus makanan. Ada dua bungkus kacang Garuda yang bungkus atasnya tersobek setengah. Salah satu isi bungkus kacang itu hampir habis. Sedang isi bungkus yang satunya lagi tinggal setengah. Sisa-sisa kulit kacang itu dibuang disisi kiri bungkusnya. Sedangkan makanan yang lain—chitato, cokelat, pilus, dll.— masih utuh disimpan dalam plastik putih bermerek Indomaret di bawah meja.
Di sofa, Iza sedang membaca sebuah majalah Gadis edisi Desember. Ia tiduran terbaring sambil kedua kakinya disilangkan. Rambut Iza yang panjang itu sebagian menyentuh paha Ibunya yang duduk di sofa samping kirinya. Ibunya memandangnya dengan penuh tanda tanya.
“Kapan kamu menikah Za?” Tanya ibunya tiba-tiba malam itu sambil memegang remot tivi.
“Gak tahu mah, belum ketemu cowok yang cocok buat Iza. Semua yang pernah dekat sama Iza sama saja, penjahat.”
“Kenapa nggak berusaha mencari lagi?”
“Ah, biar sajalah Mah, nanti juga ketemu sendiri.”
“Za, Mama malu dengan ejekan teman-teman arisan mama. Sebagian dari mereka ada yang punya anak seusia kamu. Anak-anak mereka sudah menikah dan sudah punya momongan. Kata salah satu dari mereka, kok belum punya cucu juga sih Jeng? Kapan anakmu menikah? Mama kan jadi malu. Mau disimpan di mana muka mama kalau kamu terus-terusan begini.”
“Terus?” Tanya Iza sambil menoleh ke mamanya.
“Ya kamu harus ¬cepat-cepat menikah.”
“Huh, Nyebeliin...!” Iza membanting majalahnya ke meja. Sisa-sisa kulit kacang berserakan dan bungkusnya jatuh ke lantai. Ia pergi menuju kamar.
Ya, memang sedari dulu mamanya menginginkan anak semata wayangnya itu untuk segera menikah. Mungkin sejak ia lulus dari Sekolah Menengah Atas. Tapi Iza menolak permintaan mamanya itu mentah-mentah. Memang, setelah kepergian sang kekasihnya itu dari hidupnya, Iza menjadi sensitif seperti ini. Kini Iza tengah berkuliah di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Kota Serang. Saat ini Ia sudah memasuki semester lima. Ya, lumayan dengan seusianya yang sudah menginjak dua puluh satu-an itu, mungkin sudah layak untuk menikah. Tapi menurutnya untuk persoalan yang satu ini tunggu dulu. Menunggu waktu yang tepat.
Iza masih mengurung diri di kamarnya. Ibunya yang sudah tiga, empat kali mengetuk-ngetuk pintu kamarnya, tidak dihiraukannya. Di kamar, Iza menindih wajahnya dengan bantal. Sampai akhirnya ia pun tertidur pulas dengan air matanya yang menempel basah di bantal itu.
***
Usai kuliah Iza kembali menuju ke pasar Rau. Seperti biasa ia ingin membeli pulsa ke tempat langganannya itu. Kini Ia bersama Ani, teman sekelasnya.
“Tahu nggak An, kemarin aku sempat kecopetan di tempat ini. Untung copet itu tertangkap. Coba kalau nggak, bisa-bisa aku digampar sama mamah, karena kalung dan isi dompetku raib oleh pencopet itu.”
“Terus siapa yang nolongin kamu Za?”
“Abang tukang jengkol.”
“Tukang Jengkol?” Ani mengerutkan kening saat mendengar jawaban Iza.
“Eh... eh... An... An... itu dia orangnya. Iya, itu Abang jengkol yang nolongin aku waktu itu.” Ujar Iza tiba-tiba sambil menujuknya, lalu ia membelokkan setir mobilnya ke arah parkiran. Ani menoleh-noleh ke kaca belakang mobil, saat mobil yang ditumpanginya itu melewati dagangan si abang tukang jengkol.
Iza dan Ani berjalan menghampiri Udin. Mereka berdua berjalan agak cepat. Udin yang sedari pagi menunggu dagangannya itu sedang asik merokok di warung sebelah dagangannya. Dengan mengenakan topinya yang bulat itu, ia terlihat seperti orang yang hendak mau mancing saja. Ia memiringkan topinya ke sebelah kiri sambil mengangkat kaki kanannya di atas paha kirinya.
Seketika mata Udin menatap tajam dua perempuan yang hendak mau menghampirinya itu. Salah satu dari mereka sepertinya tidak begitu asing di matanya. Iza dan temannya yang menghampirinya itu mengenakan baju agak ketat, mencairkan suasana abang-abang tukang becak yang mangkal disitu. Abang-abang becak saling berbisik.
“Melihat dua gadis itu, saya pengen cepet-cepet pulang ke rumah nih.”
“Dasar keong racun.”
“hahaha...”
Iza dan Ani pun semakin dekat menghampiri Udin. Udin membuang puntung rokoknya. Udin pun berdiri.
“Mbak? Mbak yang waktu itu kecopetan di sini itu yah?”
“Masih inget Bang?”
“Ya masih dong Mbak. Masa perempuan secantik Mbak saya lupa.”
“Ah, Abang bisa aja. Oh iya, kenalin bang ini teman saya. Ani.”
Akhirnya di warung itu, mereka pun duduk dan bercakap-cakap sambil menyeruput teh manis dan sepiring roti. Iza dan Ani bertanya-tanya tentang kehidupan Udin. Sesekali percakapan mereka pun terselingi oleh beberapa orang yang membeli dagangan Jengkol Udin. Iza dan Ani begitu terharu mendengar semua kisah Udin. Dari kehidupan keluarganya, kepribadiannya, hingga cita-citanya yang putus di ambang pintu itu.
“Yang sabar yah Bang, semuanya sudah digariskan oleh Tuhan.” Ujar Ani sambil memoleskan tisu dipipinya.
Usai percakapan itu akhirnya mereka berpisah. Iza lupa dengan dirinya yang ingin membeli pulsa. Emosinya terbawa oleh kisah Udin tadi. Iza dan Ani pun melangkahkan kakinya menuju mobil. Namun ketika hendak mau membuka pintu mobil tiba-tiba Iza balik arah lalu menghampiri Udin kembali.
“Bang, dagangannya saya beli semuanya yah?!”
“Emang buat apa Mbak?” Tanya Udin agak bengong.
“Buat tetangga saya yang mau nikahan Bang.”
Udin tidak mampu menolaknya. Wajahnya begitu sumringah. Baginya, mungkin hari itu adalah rezeki yang sudah diberikan oleh Tuhan padanya. Udin membungkus jengkol-jengkolnya itu dalam karung, lalu membawakannya ke bagasi belakang mobil Iza.
“Terimakasih yah Mbak.” Ujar Udin sambil menganggukkan kepalanya di sisi kanan pintu mobil Iza. Iza membuka kaca mobilnya perlahan dan menjawabnya dengan anggukan kepala juga. Lalu Iza pun menancapkan gas mobilnya.
“Katanya mau beli pulsa, kok malah beli jengkol? Aneh. Emang siapa tetangga kamu yang mau nikahan?” tanya Ani dua menit kemudian.
“Nggak tahu, tetangga yang mana kali. Hehe... aku hanya kasian saja dengan Bang Udin dan keluarganya, itu saja.”
“Oh.” Ani menangguk pelan, kemudian memalingkan wajahnya ke arah kiri, menatap matahari senja yang akan segera tenggelam.
***
Di kamarnya, entah mengapa bayangan Udin masih begitu terngiang di pikirannya. Semenjak percakapan sore itu, sikap Iza memang agak sedikit aneh. Seraut wajahnya sepertinya begitu menyimpan beribu empati pada sosok Udin itu. Entah apa yang membuatnya seperti ini.
“Bang Udin, aku begitu terharu dengan semangat Abang. Dengan perjuangan Abang dalam menafkahi diri Abang dan keluarga Abang. Tidak semua laki-laki yang seumuran Abang bisa berpikir sejauh ini. Kebanyakan lelaki hanya ingin mendapatkan kesenangan saja. Tapi Abang, begitu berbeda. Bang Udin? Kok tiba-tiba kamu mengingatkanku dengan wajah seseorang yang pernah aku kenal. Ya, Dion namanya. Tapi lelaki itu sudah tiada dua tahu silam. Aku sangat merindukannya. Dan kini aku menemukannya kembali pada seraut wajah dan hatimu Bang Udin.”
“Izaa...! Apa-apaan ini! Kok bagasi mobil jadi bau begini.” Tiba-tiba teriak mamanya dari luar rumah. Iza pun langsung keluar dari dalam kamar.
“Iya mah, kenapa?”
“Apa ini?” sambil menutup hidungnya.
“Itu jengkol Mah”
“Jengkol? Buat apa?”
“Ya, buat apa aja. Kasih kucing juga nggak apa-apa.”
“Ah, kamu ini ada-ada saja! Bejoo... tolong buang sampah-sampah ini dari mobil!” Tak lama kemudian, sesosok pembantu culun itu pun keluar dari dalam rumah.
“Kok dibuang sih mah?”
“Udah, diam kamu!” bentak ibunya. Iza agak cemberut, lalu ia pun kembali masuk ke kamar.
***
Sebulan ini Iza merasa ada sesuatu yang aneh dengan dirinya. Semenjak kenal dengan Udin, Iza benar-benar tidak mampu melupakan bayangannya. Apalagi belakangan ini Iza selalu main ditempat Udin usai jam kuliahnya.
Mereka sudah semakin akrab saja. Kadang sesekali Iza mencubit pipi Udin. Mereka lupa dengan status mereka masing-masing. Udin, lupa dengan statusnya sebagai penjual jengkol. Iza pun sama, lupa dengan statusnya sebagai anak seorang penjual emas.
“Abang, Mas, aduh enaknya panggil apa yah?”
“Abang saja.”
“Oh iya Bang, saya boleh nanya nggak?”
“Nanya apa?”
“Bang, selama ini perasaan abang bagaimana sih sama Iza?
“Perasaan apa yah Mbak? Saya tidak mengerti.”
“Ya perasaan abang sama Iza. Bang, Iza suka sama abang.”
“Apa? Suka? Ah, Mbak ada-ada saja. Masa Mbak secantik ini suka sama orang seperti saya. Sudah bau jengkol pula.”
“Panggil saya Iza saja yah Bang.”
Percakapan sore itu akhirnya membuahkan hasil.
Esok hari, Iza mempekenalkan Udin pada mamanya. Ia sudah tidak tahan dengan ocehan mamanya itu, agar ia cepat menikah.
“Mah, kenalin, ini Udin. Pacar saya. Sekaligus calon menantu mama. ” Ujar Iza memperkenalkan Udin di sofa ruang tamu. Mamanya sedari tadi memerhatikan seraut wajah Udin dan pakaiannya. Dari ujung kaki hingga ujung kepala.
“Udin? Calon menantu?” Tanya mamanya.
“Iya mah calon menantu mama.”
“Ya, Tuhan akhirnya Engkau mengabulkan juga doa saya. Akhirnya anak saya menikah juga.” Seketika seraut wajah mamanya sumringah.
“Udin, kamu kerja apa?” Tanya mama Iza kemudian.
“Pedagang Jengkol Bu.” Jawab Udin dengan suara melemah sambil menundukkan kepala.
“Apa? Pedagang Jengkol? Jangan jangan yang kemarin itu jengkol dari kamu yah?!” tiba-tiba wajah sumringat itu berubah seketika.
“Iya mah, itu dari dia.”
“Apa?! Sekarang juga kamu keluar! Keluar dari rumah saya! Saya tidak mau rumah saya bau jengkol! Saya tidak suka denga jengkol!” tiba-tiba mamanya Iza berubah seperti harimau, ganas dan liar. Ia berdiri sambil menunjuk-nunjuk wajah Udin. Udin hanya menunduk malu. Lalu Ia pun pergi.
“Mamah apa-apa sih!” Iza keluar menyusul Udin.
“Bang, tunggu Bang! Mau kemana? Maafin mama saya Bang.” Tapi langkah Iza dihalang oleh Bejo.
“Tahan dia, bawa ke kamar!” suruh mamanya pada Bejo.
Seraut wajah pedagang jengkol itu pun hilang dari tatapan mama Iza di sisi pintu.
“Jangan pernah kembali lagi ke sini!” Ujarnya.
***
Seusia kuliah seperti biasa Iza menghampiri Udin. Ia meminta maaf atas segala perlakuan mamanya itu kemarin.
“Iya, tidak apa-apa kok Mbak.”
“Tapi Bang, saya mau hidup sama abang. Saya nggak mau pulang. Izinkan saya tinggal bersama abang.”
“Tinggal sama saya Mbak? Aduh, nanti mamanya situ nyariin lagi. Kasihan Mbak.”
“Abang nggak kasihan sama saya?!” Iza sedikit mengambek.
Akhirnya Iza pun di bawa pulang ke rumah Udin. Udin tidak bisa berbuat apa-apa lagi, walaupun dalam hatinya ia tidak mau melakukan ini.
Sudah dua hari Iza bermalam di rumah Udin. Ia senang dengan adik-adik Udin yang kecil dan lucu. Iza memang tidak punya adik. Kadang ia sangat merasa kesepian di rumahnya. Apalagi sepeninggal ayahnya dua tahun lalu karena strok. Dirumahnya ia hanya ditemani sepasang boneka donal bebek berwarna pink.
“Non, orang tua Non pasti khawatir dengan keadaan Non.” Ujar Ibunya Udin.
“Biarin saja Bu. Mama tidak pernah mengerti dengan keinginan anaknya.”
“Lama-lama di sini nanti badan Non semakin bau jengkol lagi.”
“Nggak apa-apa kok Bu. Saya senang di sini, rame.” Ujarnya sambil bermain dengan adiknya Udin yang bungsu.
“Oh iya, bang Udin kemana kok ngak kelihatan?”
“Lagi di kebun pak Hasyim. Ia memotong rumput di situ.”
“Emang nggak jualan jengkol yah Bu?”
“Katanya, dia tidak mau, takut nantinya Non ketahuan ada di sini.”
“Aduh, jadi nggak enak.”
“Sudah Non, enggak apa-apa.”
Di rumah reyot itu mereka lama berbincang. Sebenarnya Iza merasa tidak enak jika harus berlama-lama di tempat Udin. Tapi, ia juga bingung. Ia sudah terlena pada Udin. Entah apa yang membuatnya nekad begini. Kasihan kah? Karena Udin mirip kekasihnya kah? Atau karena mamanya? Hanya hati Iza yang benar-benar tahu perasaan itu.
“Izaa... Izaa...! Keluar kamu!” tiba-tiba terdengar suara dari luar rumah. Iza yang masih berbincang dengan ibu Udin seketika berhenti.
“Sepertinya saya kenal suara itu.” ujar Iza.
“Izaa... Izaaa...!” suara itu semakin mengeras dari luar. Seisi rumah itu pun keluar semua menghampiri suara itu.
“Mama? Kok bisa kesini?” Iza tidak percaya setengah mati kalau mamanya tu ada di depan matanya. Ia mengusap-usap kembali matanya. “Iya, ini bener-bener Mamah?” Lalu ia pun menelan ludah dalam-dalam.
“Kenapa? Kamu nggak percaya kalau mamah bisa kesini? Hah!” kedua tangannya diletakkan di sisi pingganynya.”Bejoo... bawa pulang anak ini!” suruh mamanya Iza.
Ibunya Udin hanya bisa melongo, tidak bisa berbuat apa-apa.
“Eh, Bu mana anak kamu si Udin itu? Seenaknya saja bawa anak saya kabur! Malah di rumah jelek kayak gini lagi.” Ejek mamanya Iza. “Bisa-bisa saya lapor polisi!” ujarnya lagi.
“Eh.. eh.. ada apa ini? Rame bener?” tiba-tiba Udin datang sambil membawa sebuah golok tajam. “Ibu? Kok bisa kesini?” ujarnya lagi, Udin agak terkaget.
“Wah kamu sudah ngajak berantem yah, sudah bawa golok begitu? Ok! Bejoo... cepat lapor polisi! Bilang kalau anak jengkol ini telah menculik anak saya...!” Cepetan...!” Bejo pun pergi dengan sebuah mobil hitamnya.
“Bu, saya tidak berniat begini sama anak ibu...”
“Sudah! Sudah! Jangan banyak bicara! Orang sudah jelas begini.”
“Mah, saya yang minta tinggal sama dia, bang Udin tidak salah.” Ujar Iza sambil di pegang dua bodigar mamanya yang gemuk-gemuk.
“Sudah! Diam kamu! Pokoknya mama nggak setuju kalau kamu harus kawin sama dia.”
“Bukannya mamah sendiri yang ingin Iza cepat menikah?”
“Ya. Tapi bukan sama orang seperti ini. Kayak nggak ada orang yang lebih kaya dan lebih ganteng saja!” Iza pun terdiam.
Selang dua puluh menit. Polisi dan pasukannya pun datang. Iza, dan keluarga Udin tidak bisa berbuat apa-apa lagi saat Udin di borgol dan di bawa ke mobil tahanan.
“Pak, saya tidak bersalah Pak, Pak!” Lirih Udin. Tapi tetap saja polisi itu tidak menghiraukannya.
Iza, Ibunya Udin beserta adik-adiknya menangis di sisi pintu. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa.
***
Esok hari, Iza hanya diam membisu di kamarnya. Ia masih terus menangis. Tidak kuliah. Tidak mau makan.
Biodata Penulis:
Kenalin, nama aye Aray Rayza Alisjahbana. Tapi sebenernye nama asli aye Encep Abdullah. Aye lagi demen nih nulis cerpen. Ya, semenjak SMA sih sebenarnye. Walupun karya-karya aye masih kayak ceker ayam, tapi aye tetep semangat untuk terus berkarya.
Aye mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa ato disingkatnye UNTIRTA. Tahu ndak? Itu loh yang kampusnya di samping terminal Pakupatan Kota Serang-Banten. Ya udeh pokoke itulah. He..he.. Aye Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Kunjungi blog aye yah: www.pengarangtakpernahmati.blogspot.com
E-mail: encepabdullah@rocketmail.com
FB: Aray Pujangga
Rabu, 20 April 2011
Tebak-Tebakan Lucu
Tebak-Tebakan Lucu
Tebak-Tebakan Lucu, seru dan gokil - Buat kamu-kamu yang suka tebak-tebakan untuk sekedar seru-seruan, di bawah ini ada beberapa tebak-tebakan yang seru...Ini hasil repost dari Kaskus..monggo...
apa beda Megi Z sama tukang sayur?
kalo Megi Z teriak 'teganya-teganya' , kalo tukang sayur 'togenya-togenya'
kenapa di komputer ada tulisan ENTER?
karena kalo tulisannya ENTAR, programnya 'ngga jalan-jalan, dong.....
apa bahasa Arabnya orang jatuh dari lantai 100 sebuah gedung?
innalillahi wa inna ilaihi rojiun
binatang apa yang paling panjang?
ular ngantri beras
kenapa gorila lubang hidungnya besar?
karena jari-jarinya juga besar, biar pas buat ngupil
ikan apa yang lahir langsung disiksa ibunya?
ikan lohan (liat aja kepalanya benjol)
kenapa batman pake topeng?
karena malu celana dalamnya keliatan
siapa nama orang Bali yang hobi travelling?
Made (Made in Japan , Made in China , Made in Thailand )
apa persamaan Pangeran Diponegoro dengan RA Kartini?
sama-sama enggak punya handphone
siapa presiden RI yang paling seksi?
Paha Bibi
siapa wanita paling kuat sedunia?
Nyonya Meneer, berdiri sejak 1812
apa beda onta dan kangkung?
kalo onta di arab, kalo kangkung di urap
apa persamaan KTP dan telor asin?
sama-sama di cap stempel
kenapa dokter kalo 'mo operasi mulutnya ditutup?
karena kalo matanya yang ditutup 'ngga keliatan dong....
apa bukti wortel baik untuk kesehatan mata?
pernah liat kelinci pake kacamata?
apa bahasa Indianya bumbu dapur?
tumbar miri jahe
binatang apa yang warnanya hitam-putih- merah?
zebra masuk angin abis dikerokin
nenek siapa yang jalannya loncat-loncat?
neneknya kodok, neneknya kangguru, neneknya kelinci.....
kenapa air laut asin?
karena ikannya pada keringetan
mangga apa yang mengerikan?
MANGGAruk-garuk pantat singa
profesi apa yang 'ngga perlu s eko lah?
wasit tinju, cuman ngitung dari 1 sampe 10 doang
mengapa dalam bahasa Inggris wanita disebut WOMAN?
karena saat Adam melihat perempuan pertama kali, yaitu Hawa,
ia berkata : "Wou.......man. ......!!!
ayahnya orang Bali, ibunya orang Betawi, siapa nama anaknya?
I Made Gede Amat
ikan apa yang matanya banyak?
ikan teri sekilo
mengapa gunung berapi meletus?
karena kalo mencair namanya gunung es
kentutnya Ade Ray bunyinya gimana?
brotot...... .brotot.. .... .brotot...... ..
kunci apa yang bisa bikin orang joget?
KUNCI-KUNCI HOTA HE
siapa nama orang Jepang yang lahir di puncak Gunung Merapi saat gunung
meletus?
Kurasa Takada
apa yang bunyinya Bak! Buk! Bak! Buk! Dor! Dor! Dor?
tukang balon lagi berantem
hantu apa yang pinter ngitung?
han, tu, tri, four, five........
ayam apa yang paling kejam?
ayam mbakar wong Solo
Gimana? lucu, seru dan gokil kan??ha..ha..
Sumber: http://rumahsms.blogspot.com/
Tebak-Tebakan Lucu, seru dan gokil - Buat kamu-kamu yang suka tebak-tebakan untuk sekedar seru-seruan, di bawah ini ada beberapa tebak-tebakan yang seru...Ini hasil repost dari Kaskus..monggo...
apa beda Megi Z sama tukang sayur?
kalo Megi Z teriak 'teganya-teganya' , kalo tukang sayur 'togenya-togenya'
kenapa di komputer ada tulisan ENTER?
karena kalo tulisannya ENTAR, programnya 'ngga jalan-jalan, dong.....
apa bahasa Arabnya orang jatuh dari lantai 100 sebuah gedung?
innalillahi wa inna ilaihi rojiun
binatang apa yang paling panjang?
ular ngantri beras
kenapa gorila lubang hidungnya besar?
karena jari-jarinya juga besar, biar pas buat ngupil
ikan apa yang lahir langsung disiksa ibunya?
ikan lohan (liat aja kepalanya benjol)
kenapa batman pake topeng?
karena malu celana dalamnya keliatan
siapa nama orang Bali yang hobi travelling?
Made (Made in Japan , Made in China , Made in Thailand )
apa persamaan Pangeran Diponegoro dengan RA Kartini?
sama-sama enggak punya handphone
siapa presiden RI yang paling seksi?
Paha Bibi
siapa wanita paling kuat sedunia?
Nyonya Meneer, berdiri sejak 1812
apa beda onta dan kangkung?
kalo onta di arab, kalo kangkung di urap
apa persamaan KTP dan telor asin?
sama-sama di cap stempel
kenapa dokter kalo 'mo operasi mulutnya ditutup?
karena kalo matanya yang ditutup 'ngga keliatan dong....
apa bukti wortel baik untuk kesehatan mata?
pernah liat kelinci pake kacamata?
apa bahasa Indianya bumbu dapur?
tumbar miri jahe
binatang apa yang warnanya hitam-putih- merah?
zebra masuk angin abis dikerokin
nenek siapa yang jalannya loncat-loncat?
neneknya kodok, neneknya kangguru, neneknya kelinci.....
kenapa air laut asin?
karena ikannya pada keringetan
mangga apa yang mengerikan?
MANGGAruk-garuk pantat singa
profesi apa yang 'ngga perlu s eko lah?
wasit tinju, cuman ngitung dari 1 sampe 10 doang
mengapa dalam bahasa Inggris wanita disebut WOMAN?
karena saat Adam melihat perempuan pertama kali, yaitu Hawa,
ia berkata : "Wou.......man. ......!!!
ayahnya orang Bali, ibunya orang Betawi, siapa nama anaknya?
I Made Gede Amat
ikan apa yang matanya banyak?
ikan teri sekilo
mengapa gunung berapi meletus?
karena kalo mencair namanya gunung es
kentutnya Ade Ray bunyinya gimana?
brotot...... .brotot.. .... .brotot...... ..
kunci apa yang bisa bikin orang joget?
KUNCI-KUNCI HOTA HE
siapa nama orang Jepang yang lahir di puncak Gunung Merapi saat gunung
meletus?
Kurasa Takada
apa yang bunyinya Bak! Buk! Bak! Buk! Dor! Dor! Dor?
tukang balon lagi berantem
hantu apa yang pinter ngitung?
han, tu, tri, four, five........
ayam apa yang paling kejam?
ayam mbakar wong Solo
Gimana? lucu, seru dan gokil kan??ha..ha..
Sumber: http://rumahsms.blogspot.com/
LOMBA CIPTA PUISI NASIONAL BBB 2011
Posted by Relawan Bentara Budaya Bali on Februari 14, 2011 · 40 Komentar
Masyarakat Indonesia umumnya mengenal mitologi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari unsur-unsur kepercayaan lokal. Sebelum agama-agama disebarkan serta dipeluk secara luas, mitologi telah memiliki peran penting dalam upaya kontrol sosial masyarakat melalui beragam tata nilai, norma serta amanat yang terkandung di dalamnya. Bahkan, hingga kini, kisah-kisah mite masih mengambil andil dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat berbagai daerah, baik sebagai warisan intangible culture maupun fungsi-fungsi lain yang bersifat edukatif dan rekreatif.
Hanya saja, oleh sebagian kalangan, utamanya generasi muda, cerita-cerita mitologi kini cenderung lebih dipandang sebagai kisahan biasa semata, tanpa memiliki muatan makna ataupun peran-peran sebagaimana yang disebutkan di atas. Di sisi lain, bila dibandingkan dengan karya-karya sastra ataupun penulisan populer yang kian berkembang dewasa ini, mitologi seringkali dipandang sebagai hasil cipta yang ketinggalan zaman, identik dengan tradisi masa silam serta tidak relevan mewakili kekinian kehidupan. Sebagai akibatnya, cerita-cerita rakyat ini semakin tidak mendapat tempat di lingkungan sosial berbagai daerah, terutama dalam keseharian para penerus bangsa.
Menimbang fenomena di atas, di tahun 2011, Bentara Budaya Bali mengadakan Lomba Cipta Puisi yang berangkat dari kisah-kisah mitologi berbagai daerah di Nusantara, dengan tema “Mitologi dalam Refleksi Kekinian”. Kompetisi dimaksudkan bukan semata sebagai upaya pengenalan kembali terkait ragam, ataupun muatan isi suatu mitologi, melainkan juga turut mendorong lahirnya karya-karya kreatif yang secara kritis menyikapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sehingga dapat menjadi refleksi bagi kekinian bermasyarakat. Kompetisi ini memperebutkan Piala Bentara.
Simak Ketentuan dan Persyaratan Lomba Cipta Puisi Nasional Bentara Budaya Bali 2011, di bawah ini:
1. Lomba ini terbuka bagi masyarakat umum se-Indonesia, tanpa batasan usia.
2. Lomba Cipta Puisi ini bersifat perorangan.
3. Tiap puisi yang disertakan dalam lomba wajib mengacu ataupun merespon tema yang telah ditetapkan Panitia, yakni “Mitologi Dalam Refleksi Kekinian”
4. Karya puisi yang dilombakan belum pernah diterbitkan dalam bentuk buku, dan dipublikasikan lewat media cetak atau online, serta tidak sedang diikutkan dalam lomba atau kegiatan serupa lainnya.
5. Karya puisi yang diikutsertakan bukan saduran, terjemahan, plagiat atau pun murni menjiplak, baik sebagian maupun keseluruhan, dari naskah yang telah ada sebelumnya.
6. Terkait ketentuan 4 dan 5 dibuktikan dengan surat pernyataan dari peserta lomba.
7. Tiap peserta boleh mengirimkan lebih dari satu karya dengan melampirkan data diri dan pindai/fotokopi kartu identitas yang masih berlaku (SIM/KTP/Pasport, dll).
8. Puisi wajib dikirim dengan format Times New Roman, 12 pt, spasi 1,5 melalui : Via email : ciptapuisibentarabali@yahoo.com, ATAU, Via Pos: Bentara Budaya Bali, Jalan By Pass IB Mantra 88 A, Ketewel, Gianyar Bali. Bagi peserta yang mengirim lewat pos, naskah wajib dicopy rangkap 4 (empat).
9. Naskah diterima panitia selambat-lambatnya pada 20 Mei 2011
10. Dewan Juri menetapkan 3 Pemenang Utama, Pemenang Harapan, dan 25 Nominator yang akan dibukukan, serta menjadi puisi wajib bagi Lomba Baca dan Dramatisasi Puisi se-Bali tahun 2011 (Juli 2011)
11. Total hadiah untuk keseluruhan lomba adalah Rp 10.000.000,00. Selain uang tunai, pemenang juga mendapat trophy, piagam dan hadiah lainnya. Para finalis Juara akan diundang khusus untuk menghadiri puncak acara di Bentara Budaya Bali.
12. Keputusan Dewan Juri tidak dapat diganggu gugat.
Masyarakat Indonesia umumnya mengenal mitologi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari unsur-unsur kepercayaan lokal. Sebelum agama-agama disebarkan serta dipeluk secara luas, mitologi telah memiliki peran penting dalam upaya kontrol sosial masyarakat melalui beragam tata nilai, norma serta amanat yang terkandung di dalamnya. Bahkan, hingga kini, kisah-kisah mite masih mengambil andil dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat berbagai daerah, baik sebagai warisan intangible culture maupun fungsi-fungsi lain yang bersifat edukatif dan rekreatif.
Hanya saja, oleh sebagian kalangan, utamanya generasi muda, cerita-cerita mitologi kini cenderung lebih dipandang sebagai kisahan biasa semata, tanpa memiliki muatan makna ataupun peran-peran sebagaimana yang disebutkan di atas. Di sisi lain, bila dibandingkan dengan karya-karya sastra ataupun penulisan populer yang kian berkembang dewasa ini, mitologi seringkali dipandang sebagai hasil cipta yang ketinggalan zaman, identik dengan tradisi masa silam serta tidak relevan mewakili kekinian kehidupan. Sebagai akibatnya, cerita-cerita rakyat ini semakin tidak mendapat tempat di lingkungan sosial berbagai daerah, terutama dalam keseharian para penerus bangsa.
Menimbang fenomena di atas, di tahun 2011, Bentara Budaya Bali mengadakan Lomba Cipta Puisi yang berangkat dari kisah-kisah mitologi berbagai daerah di Nusantara, dengan tema “Mitologi dalam Refleksi Kekinian”. Kompetisi dimaksudkan bukan semata sebagai upaya pengenalan kembali terkait ragam, ataupun muatan isi suatu mitologi, melainkan juga turut mendorong lahirnya karya-karya kreatif yang secara kritis menyikapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sehingga dapat menjadi refleksi bagi kekinian bermasyarakat. Kompetisi ini memperebutkan Piala Bentara.
Simak Ketentuan dan Persyaratan Lomba Cipta Puisi Nasional Bentara Budaya Bali 2011, di bawah ini:
1. Lomba ini terbuka bagi masyarakat umum se-Indonesia, tanpa batasan usia.
2. Lomba Cipta Puisi ini bersifat perorangan.
3. Tiap puisi yang disertakan dalam lomba wajib mengacu ataupun merespon tema yang telah ditetapkan Panitia, yakni “Mitologi Dalam Refleksi Kekinian”
4. Karya puisi yang dilombakan belum pernah diterbitkan dalam bentuk buku, dan dipublikasikan lewat media cetak atau online, serta tidak sedang diikutkan dalam lomba atau kegiatan serupa lainnya.
5. Karya puisi yang diikutsertakan bukan saduran, terjemahan, plagiat atau pun murni menjiplak, baik sebagian maupun keseluruhan, dari naskah yang telah ada sebelumnya.
6. Terkait ketentuan 4 dan 5 dibuktikan dengan surat pernyataan dari peserta lomba.
7. Tiap peserta boleh mengirimkan lebih dari satu karya dengan melampirkan data diri dan pindai/fotokopi kartu identitas yang masih berlaku (SIM/KTP/Pasport, dll).
8. Puisi wajib dikirim dengan format Times New Roman, 12 pt, spasi 1,5 melalui : Via email : ciptapuisibentarabali@yahoo.com, ATAU, Via Pos: Bentara Budaya Bali, Jalan By Pass IB Mantra 88 A, Ketewel, Gianyar Bali. Bagi peserta yang mengirim lewat pos, naskah wajib dicopy rangkap 4 (empat).
9. Naskah diterima panitia selambat-lambatnya pada 20 Mei 2011
10. Dewan Juri menetapkan 3 Pemenang Utama, Pemenang Harapan, dan 25 Nominator yang akan dibukukan, serta menjadi puisi wajib bagi Lomba Baca dan Dramatisasi Puisi se-Bali tahun 2011 (Juli 2011)
11. Total hadiah untuk keseluruhan lomba adalah Rp 10.000.000,00. Selain uang tunai, pemenang juga mendapat trophy, piagam dan hadiah lainnya. Para finalis Juara akan diundang khusus untuk menghadiri puncak acara di Bentara Budaya Bali.
12. Keputusan Dewan Juri tidak dapat diganggu gugat.
Selasa, 05 April 2011
Sajak Doa Orang Munafik
oleh: Aray Rayza Alisjahbana
ingin kukecup kening tuhan
dengan segala doa yang tawar
Pontang, 4 April 2011
ingin kukecup kening tuhan
dengan segala doa yang tawar
Pontang, 4 April 2011
Kata-kata Bijak Prof. Dr. Yoyo Mulyana, M.Ed,
”Hati-hati dengan hatimu, karena itu akan jadi pikiranmu. Hati-hati dengan pikiranmu, karena itu akan jadi tindakanmu. Hati-hati dengan tindakanmu, karena itu akan jadi kebiasaanmu. Hati-hati dengan kebiasaanmu, karena itu akan jadi karaktermu. Hati-hati dengan karaktermu, karena itu akan jadi masa depanmu.”
Rabu, 30 Maret 2011
Kajian Puisi Belistra Part III (Edisi 30 Maret 2011)
Di Sudut Kota
Karya: Ifat
dalam redupnya subuh yang pekat
ada banyak cerita terangkai di sudut kota
yang sesak
pilunya angin yang menusuk
tak mampu tereja
lautan manusia tampak di keremangan waktu
seperti deburan ombak yang tak pernah lelah beradu
sempat terpikir dalam benakku
jika yang terlihat kini
tak tampak lagi di petang nanti
mungkin kota ini tak bernyawa lagi
menyisakan kebisuan yang membungkam
tak banyak kata yang terucap
inilah sudut kotaku
memberi nyawa pada yang tak bernyawa
2011
Tak Kuletak Pada Jarak
Karya: Triara Vytria
tak perlu menjarak
jika kau inginkan aku merindumu
rindu telah menjadi benda purba
yang acapkali melengkapi upacara
di kesunyian mataku
rindu juga telah serupa wangi dupa
yang mencercap pada mejameja persembahan
dalam hatiku
rinduku tak kuletak pada jarak
rinduku kuletak pada jantungku
yang detak.
2011
Bangkai Subuh
Karya: Aray Rayza Alisjahbana
sial!
hidungku kemasukan bangkai tikus,
bangkai anjing...
sial!
Pasar Rau, Maret 2011
Sajak Air Mata
Karya: Salvia Mahesa
mawar itu kembali tumbuh
dalam semaksemak hati
meski durinya menusuk
rasa perihnya tetap aku nikmati
lantas aku sudahi cerita panjang dan melelahkan
jika senyumku tak bisa lagi kau genggam
maka
aku titipkan air mata dalam bait
sajakmu
2011
Ada Semut dalam Sajakku
Karya: Isma
suasana gelap kupergi
mengikuti langkahku
hingga kutertumpu dalam ketinggian
kupandangi bahkan ratusan semut
interaksinya yang dahsyat
membuatku semakin terarah pada mereka
hingga kutulis secercah kalimat
untuk menjadikan sebuah memori
2011
Kata Terakhir Untukmu
Karya: Desi
di kedalaman matamu
aku melihat lumpurlumpur hitam
setiap tetes air matamu
aku melihat jurang kesedihan
aura wajahmu menampakkan kegalauan
kudengar bisikanbisikan sendu
dalam setiap alunan bunyi suaramu
kau hentakkan jarijemarimu
lalu kusentuh tanganmu
kurasakan pekat relung hatimu
kudekap erat derita di pundakmu
kusentuh aroma nafasmu
lalu kususun menjadi senja yang kelabu
kini bayangbayang semu menempel
di urat syarafmu
melesat masuk ke memori otakku
perlahan kau membisik lirih di telingaku
“maaf sayang, aku tak bisa membahagiakanmu”
saat itu juga kau terbujur kaku di pangkuanku
kini air mataku menjadi akhir dari hayatmu
2011
Tiga Sisi Dunia
Karya: Tanty Zulhijjah
langit yang masih gelap
udara yang menusuknusuk tulang rusukku
nyamuk yang menciumi tubuhku
di tengah orangorang yang sibuk jual beli
pasar yang memiliki tiga sisi dunia
yang berbeda
2011
Menyambut Hembusan Fajar
Karya: Lia
malam yang dingin
kutersesak oleh angin
menelusuri setiap ruas jalan
orang berlalu lalang tak henti
di bawah lampulampu temaram
mereka berteriakteriak
berharap seorang akan singgah
perjalalanku tak terarah
memasuki blok demi blok yang tersaji
ingin kumenjauh dari riuh kebisingan
terhenti di sebuah sudut blok pasar yang kumuh
suarasuara kendaraan memecah keheningan
terdiam kusejenak
menyambut fajar yang akan tiba
dan kunikmati setiap helai hembusannya
sungguh kumerindukannya
2011
Rindu
Karya: Mulyatiara Fauziyah
dinding itu seakan menemani
sembari membuka halaman demi halaman
malam ini
rasanya sepi dengan hembusan akan hujan
sebuah petuah dalam pesan terperanjat meningatkan
ah, bisa
pasti bisa
kuatlah, pasti kuat
ketika kelopak mata menampakkan kegelisahan
saat itulah datang hujan mengairi setiap celah yang kosong
aroma itu amat kurindukan
belaian lembut penuh pesan
aku rindu akan ibu
2011
Gila
Karya: Asep Yana
ribuan kata kau letupkan dari selongsong
moncongmu yang bergelombang,
seiring kegilaanmu yang hinggap.
hai gila, kau membanjiri dan menghampiriku
dengan se-bak air comberan
yang membuatku terbangun
tak seorang pun tahu ketika kuberi kau
se-drum air madu
yang membuatmu mati suri
namun, kau masih gila
dan aku sadar
2011
RTC
Karya: Asti. N
sorak-sorai di awan biru kelabu
mengagungkan nama yang terbuang
cicit kecil dari mesin berputar
menguasai segalanya
2011
Rau, Part 2
Karya: Yunita Ainur Rizkiah
gedung tiga lantai
dengan taman buah,
taman sayur dan kandang ayam
sebagai pekarangan
lantai satu cacing tanah bergeliat
lantai dua kandang angora yang bersolek
lantai atas, tempat kita berkeluh kesah
2011
Rau Menjelang Fajar
Karya: Linda Cahya Wibawa
angin malam membisikkan dingin
disela dedaunan dan bebatuan jalanan
lima bocah bau amis
mengalunkan sendu kehidupan
2011
Pasar Dini Hari
Karya: Vina
terhenyak dalam udara menusuk tulang
tergapai keramaian yang menyisir
sepanjang jalan hilir mudik bising
dan celoteh menggumam
berharap menuai indah hari ini
pesona buah, sayur, ikan
menggelayuti lengkapi celoteh
semangat pagi kali ini
keramaian ini kunikmati
dalam pasar dini hari
2011
Lakon Asing Yang Menyebalkan
Karya: Ela Fatihah
teriak-teriak menjingjing perseteruan
transaksi disela-sela penglihatanku
proses menawar atau ditawar
pun bercengkraman menjadi satu
hembusan kilat saat menafsirkan dari
orang-orang yang ketergantungan
dimalam ini
serupa aku tak ingin malam
pilihan yang terlewati
tak cukup dengan itu
sekarang aku menjadi lakon asing
yang menyebalkan ditengah waktu yang melulu
2011
Tujuan
Karya: Fatmawati Yuniar
melangkah
menerjang kesunyian
menembus malam
melawan angin, membawa keramaian
2011
Pramuniaga Sebelum Fajar
Karya: Rina Andriani
fajar belum sempat membuka lentera kalbu
halaman pasar tampak hiruk-pikuk
tak tahu waktukah?
tak punya agendakah?
tak merasakah dingin menyayat tulang-tulang rusuk?
tak adakah raja mentari mengarungi hari?
tak bisakah jika menunggu adzan mendangu
mengapa relung hati ?
tak dapatkah sejenak bermanja waktu ?
penentuan, berujung pada hembusan sehelai nafas
mereka berkerumun,
bolak-balik,
bak daun ranting berjatuhan tertumpuk
tuhan
kehidupan duniawi terselimuti teka-teki
fana
namun, kekal untuk di akhirat
2011
Kesepian dalam Keramaian
Karya: Windi
kau tak punya arti apa-apa
jika tak kenal
dibalik kesepian kau malah ramai
disaat orang-orang terlelap kau malah hidup
dan disaat langit gelap, kau malah terang
dengan bangunan kokoh yang tinggi
mulai bernafas
bangun melawan waktu
kau menyimpan cerita dini hari
beragam keunikan kau perlihatkan
kau abadi dipagi hari
tak pernah lekang oleh apapun
2011
Gamang
Karya: Lusiana Syarifah
hatiku berparas kelabu
logika buram tak berwarna
hidupku bagai lakon sandiwara
menjelma diantara tangkai yang patah
yakinku terhempas badai
terbuai ilusi yang tak pasti
tersungkur jauh kelembah berduri
asaku bagai jemu
titihan jemari liar dan membeku
inginku berlari menepis angan semu
namun tertahan dan akhirnya padam
2011
Malam Tak Biasa
Karya: Ela Pramuka
La, malam ini tak biasa
Di mana bintang tak berkata
Dan bulan hanya diam membatu
Sementara pohonpohon hanyalah
Tiangtiang beku
La, tak bisakah kaudengar
Sungai hatiku yang mengalir?
Mengantar kelopakkelopak kembang
Mengetuk bendungan yang kau pasang
La, bukakanlah aku pintu
Dan kita akan menyatu
Mengalir hingga ke pesisir
2011
Biar Aku
Karya: Andez Amsed
biar pagi ini kuhadapi sendiri
berdiri tanpa berteman peri
kuhela sisasisa nafas letih
hidup yang berkawankan perih
tak akan lagi kumengeluh
berlutut dan menuntut
jarak dan waktu bergelut
hari esok akan kusambut
dengan hati berselimut kabut
2011
Jiwa
Karya: TB. Guntur
jiwa adalah jiwa
di balik jiwa adalah jiwa
maka
tersenyumlah jiwajiwa
yang terlepas dari raga
2011
Siapa Kau?
Karya: Eny
wajah itu berkeringat
tersenyum merenung
memelas berkisah perjalalan hayatnya
yang ingin bertahan hari ini
hingg besok
entah lusa
akankah ia tahu tentang dirinya
pikirku
tentang perjalanannya kemarin
tentang apa yang ia makan kemarin
tentang dimana ia tidur kemarin
entahlah
satu tanyaku
siapa kau?
2011
Saatnya Kau Terbang
Karya: Agus Pontang
dikala sang penguasa siang
mengepakkan sayapnya
sayupsayup melihat di antara gumpalan hitam
gumpalan yang sedang menusuknusuk
semangat kehidupan
membekukan seluruh kehidupan
bangkitlah sang penguasa siang!
bangkitlah!
tunjukkan pada semua kau telah datang
karena sekarang saatnyalah
kau untuk terbang.
2011
Hampa
Karya: Ovi
Titiktitik gerimis berbaris
Menyusuri tanah
Awan hitam berarak
Dengan senyum yang muram
Menmani diriku yang hampa
Kugantungkan hati pada langit asa
Namun angin menghempaskan
Kutitipkan pinta pada bintang
Tapi malam menelan
Kukirimkan rindu lewat bunga
Namun layu tak bersia
Oh duka
Aku merana
2011
Suatu Subuh Di Pasar Rau
Karya: Chintya Dennisa
udara pagi telah menjadi sahabatku
genangan air kotor bak lotion bagiku
sayuran busuk
bau pesing
debu tebal
mereka teman setiaku kawan
mungkin ini pandangan yang menjijikkan untukmu
tapi tidak untukku kawan
aku terbangun sebelum mentari muncul diufuk timur
nanar hati ketika kudapati kau masih terkujur nyaman dalam hangat selimutmu
ini memilukkan?
atau menggelikan?
tidak untukku
hidupku disini
aku dan tempat ini
indah meski kau anggap buruk
2011
Naga Menangis
Karya: Ikal Bahri
naga menangis di pagi hari
membikin terlelap tidur
enggan tuk salat
naga menangis ketika persemayamannya
terusik oleh mereka yang bermaslahat
naga menangis
dua sejoli hiraukan adat
naga menagis di bumi tak taat.
2011
Jiwa yang Bersemangat
Karya: Mala
dipagi buta
disaat yang lain tertidur nyenyak
kau begitu giat bekerja
demi meyambung hidup
tanpa lelah dan tanpa mengeluh
jiwa-jiwa yang bersemagat
teruskan perjuanganmu
hingga fajar menjemputmu
2011
Karya: Ulie Semiotika
Bulan Itu yang Kau Tipu
tuhan,
jangan kau bunuh
bulan itu
aku takkan rela !
sungguhpun kau niatkan mega malam ini,
aku akan menghapusnya dari langit
tuhan,
jangan kau renggut bulan itu
aku tidak akan mencurinya darimu
sungguhpun aku merindukannya .
aku,
bulan,
langit,
dan angkasa mendung
bukan lagi yang harus bicara soal bunuh membunuh itu
tapi rindulah yang pasti menikam ulunya sendiri
seperti engkau yang telah ingkar,
membius bulan bersama deras hujan malam ini .
2011
Bimbang
Karya: Pegy
kuterbawa oleh angin
angin yang tak tahu arah
arah manakah yang harus kutelusuri
sana sini kerangka busuk!
bau menyengat pun tercium jelas
di p’ncra penciumku
jalan semakin sempit
dan tak terarah buntu
27 Maret 2011
Pertanyaan Hati
Karya: Gulmania Nagiri (ade)
Pernahkah kautahu?
Bintang akan selalu manja pada sinar sembulan
Berkedapkedip menyilaukan malam yang sunyi
Pernahkah kautahu?
Di lautan yang bebas
Karang tetap jadi yang terhebat
Selalu kokoh menghadapi deburan ombak
Silih berganti
Seperti itulah aku dan kamu
Pernahkah kautahu
Di sini aku tetap seperti ini
2009
Huruf
Karya: Agustia Afriani
alunan huruf mengambang dalam benakku
membentuk kata dengan duri sebagai alasnya
menyakiti benang merah yang melingkari
bagian lunak kepalaku
huruf itu menyakitiku
membentuk bualan panjang dalam sajak kalimat
sajaksajak yang berkembang dan beranak
menjadi lautan huruf yang membara
2011
Semangat
Karya: Siti Masitoh
nikmati semua rintangan
mari kita gapai anganangan
tuk meraih masa depan terang
bagai sang mentari bersinar
jangan kauhiraukan langit kelabu
itu hanya masalah waktu
yang tepat untuk ujian
agar segar
body dan pikiran
ayo taklukkan halangan, rintangan
tunjukkan pada semua
aku bisa
2011
Hanya Hujan
Karya: Ita Pradesta
saat ini hujan mengalir
membasahi tanah kering
deras melewati bebatuan keras
terus menggericik di dalam pelik hujan
hujan, hujan, dan terus saja hujan
awan gelap menutup cerahnya hati
hujan pun turun
terus menerus turun
lalu pipi jatuh lembabkan bumi
megkerut jiwaku
menciut nyaliku
rasanya aku ingin berteriak sekencangkencangnya
mencakar temboktembok keras
namun tak dapat dan tak bisa
tak sanggup, aku tak mampu
hanya hujan ini
menjadi sebuah saksi bisu
2011
Karya: Ifat
dalam redupnya subuh yang pekat
ada banyak cerita terangkai di sudut kota
yang sesak
pilunya angin yang menusuk
tak mampu tereja
lautan manusia tampak di keremangan waktu
seperti deburan ombak yang tak pernah lelah beradu
sempat terpikir dalam benakku
jika yang terlihat kini
tak tampak lagi di petang nanti
mungkin kota ini tak bernyawa lagi
menyisakan kebisuan yang membungkam
tak banyak kata yang terucap
inilah sudut kotaku
memberi nyawa pada yang tak bernyawa
2011
Tak Kuletak Pada Jarak
Karya: Triara Vytria
tak perlu menjarak
jika kau inginkan aku merindumu
rindu telah menjadi benda purba
yang acapkali melengkapi upacara
di kesunyian mataku
rindu juga telah serupa wangi dupa
yang mencercap pada mejameja persembahan
dalam hatiku
rinduku tak kuletak pada jarak
rinduku kuletak pada jantungku
yang detak.
2011
Bangkai Subuh
Karya: Aray Rayza Alisjahbana
sial!
hidungku kemasukan bangkai tikus,
bangkai anjing...
sial!
Pasar Rau, Maret 2011
Sajak Air Mata
Karya: Salvia Mahesa
mawar itu kembali tumbuh
dalam semaksemak hati
meski durinya menusuk
rasa perihnya tetap aku nikmati
lantas aku sudahi cerita panjang dan melelahkan
jika senyumku tak bisa lagi kau genggam
maka
aku titipkan air mata dalam bait
sajakmu
2011
Ada Semut dalam Sajakku
Karya: Isma
suasana gelap kupergi
mengikuti langkahku
hingga kutertumpu dalam ketinggian
kupandangi bahkan ratusan semut
interaksinya yang dahsyat
membuatku semakin terarah pada mereka
hingga kutulis secercah kalimat
untuk menjadikan sebuah memori
2011
Kata Terakhir Untukmu
Karya: Desi
di kedalaman matamu
aku melihat lumpurlumpur hitam
setiap tetes air matamu
aku melihat jurang kesedihan
aura wajahmu menampakkan kegalauan
kudengar bisikanbisikan sendu
dalam setiap alunan bunyi suaramu
kau hentakkan jarijemarimu
lalu kusentuh tanganmu
kurasakan pekat relung hatimu
kudekap erat derita di pundakmu
kusentuh aroma nafasmu
lalu kususun menjadi senja yang kelabu
kini bayangbayang semu menempel
di urat syarafmu
melesat masuk ke memori otakku
perlahan kau membisik lirih di telingaku
“maaf sayang, aku tak bisa membahagiakanmu”
saat itu juga kau terbujur kaku di pangkuanku
kini air mataku menjadi akhir dari hayatmu
2011
Tiga Sisi Dunia
Karya: Tanty Zulhijjah
langit yang masih gelap
udara yang menusuknusuk tulang rusukku
nyamuk yang menciumi tubuhku
di tengah orangorang yang sibuk jual beli
pasar yang memiliki tiga sisi dunia
yang berbeda
2011
Menyambut Hembusan Fajar
Karya: Lia
malam yang dingin
kutersesak oleh angin
menelusuri setiap ruas jalan
orang berlalu lalang tak henti
di bawah lampulampu temaram
mereka berteriakteriak
berharap seorang akan singgah
perjalalanku tak terarah
memasuki blok demi blok yang tersaji
ingin kumenjauh dari riuh kebisingan
terhenti di sebuah sudut blok pasar yang kumuh
suarasuara kendaraan memecah keheningan
terdiam kusejenak
menyambut fajar yang akan tiba
dan kunikmati setiap helai hembusannya
sungguh kumerindukannya
2011
Rindu
Karya: Mulyatiara Fauziyah
dinding itu seakan menemani
sembari membuka halaman demi halaman
malam ini
rasanya sepi dengan hembusan akan hujan
sebuah petuah dalam pesan terperanjat meningatkan
ah, bisa
pasti bisa
kuatlah, pasti kuat
ketika kelopak mata menampakkan kegelisahan
saat itulah datang hujan mengairi setiap celah yang kosong
aroma itu amat kurindukan
belaian lembut penuh pesan
aku rindu akan ibu
2011
Gila
Karya: Asep Yana
ribuan kata kau letupkan dari selongsong
moncongmu yang bergelombang,
seiring kegilaanmu yang hinggap.
hai gila, kau membanjiri dan menghampiriku
dengan se-bak air comberan
yang membuatku terbangun
tak seorang pun tahu ketika kuberi kau
se-drum air madu
yang membuatmu mati suri
namun, kau masih gila
dan aku sadar
2011
RTC
Karya: Asti. N
sorak-sorai di awan biru kelabu
mengagungkan nama yang terbuang
cicit kecil dari mesin berputar
menguasai segalanya
2011
Rau, Part 2
Karya: Yunita Ainur Rizkiah
gedung tiga lantai
dengan taman buah,
taman sayur dan kandang ayam
sebagai pekarangan
lantai satu cacing tanah bergeliat
lantai dua kandang angora yang bersolek
lantai atas, tempat kita berkeluh kesah
2011
Rau Menjelang Fajar
Karya: Linda Cahya Wibawa
angin malam membisikkan dingin
disela dedaunan dan bebatuan jalanan
lima bocah bau amis
mengalunkan sendu kehidupan
2011
Pasar Dini Hari
Karya: Vina
terhenyak dalam udara menusuk tulang
tergapai keramaian yang menyisir
sepanjang jalan hilir mudik bising
dan celoteh menggumam
berharap menuai indah hari ini
pesona buah, sayur, ikan
menggelayuti lengkapi celoteh
semangat pagi kali ini
keramaian ini kunikmati
dalam pasar dini hari
2011
Lakon Asing Yang Menyebalkan
Karya: Ela Fatihah
teriak-teriak menjingjing perseteruan
transaksi disela-sela penglihatanku
proses menawar atau ditawar
pun bercengkraman menjadi satu
hembusan kilat saat menafsirkan dari
orang-orang yang ketergantungan
dimalam ini
serupa aku tak ingin malam
pilihan yang terlewati
tak cukup dengan itu
sekarang aku menjadi lakon asing
yang menyebalkan ditengah waktu yang melulu
2011
Tujuan
Karya: Fatmawati Yuniar
melangkah
menerjang kesunyian
menembus malam
melawan angin, membawa keramaian
2011
Pramuniaga Sebelum Fajar
Karya: Rina Andriani
fajar belum sempat membuka lentera kalbu
halaman pasar tampak hiruk-pikuk
tak tahu waktukah?
tak punya agendakah?
tak merasakah dingin menyayat tulang-tulang rusuk?
tak adakah raja mentari mengarungi hari?
tak bisakah jika menunggu adzan mendangu
mengapa relung hati ?
tak dapatkah sejenak bermanja waktu ?
penentuan, berujung pada hembusan sehelai nafas
mereka berkerumun,
bolak-balik,
bak daun ranting berjatuhan tertumpuk
tuhan
kehidupan duniawi terselimuti teka-teki
fana
namun, kekal untuk di akhirat
2011
Kesepian dalam Keramaian
Karya: Windi
kau tak punya arti apa-apa
jika tak kenal
dibalik kesepian kau malah ramai
disaat orang-orang terlelap kau malah hidup
dan disaat langit gelap, kau malah terang
dengan bangunan kokoh yang tinggi
mulai bernafas
bangun melawan waktu
kau menyimpan cerita dini hari
beragam keunikan kau perlihatkan
kau abadi dipagi hari
tak pernah lekang oleh apapun
2011
Gamang
Karya: Lusiana Syarifah
hatiku berparas kelabu
logika buram tak berwarna
hidupku bagai lakon sandiwara
menjelma diantara tangkai yang patah
yakinku terhempas badai
terbuai ilusi yang tak pasti
tersungkur jauh kelembah berduri
asaku bagai jemu
titihan jemari liar dan membeku
inginku berlari menepis angan semu
namun tertahan dan akhirnya padam
2011
Malam Tak Biasa
Karya: Ela Pramuka
La, malam ini tak biasa
Di mana bintang tak berkata
Dan bulan hanya diam membatu
Sementara pohonpohon hanyalah
Tiangtiang beku
La, tak bisakah kaudengar
Sungai hatiku yang mengalir?
Mengantar kelopakkelopak kembang
Mengetuk bendungan yang kau pasang
La, bukakanlah aku pintu
Dan kita akan menyatu
Mengalir hingga ke pesisir
2011
Biar Aku
Karya: Andez Amsed
biar pagi ini kuhadapi sendiri
berdiri tanpa berteman peri
kuhela sisasisa nafas letih
hidup yang berkawankan perih
tak akan lagi kumengeluh
berlutut dan menuntut
jarak dan waktu bergelut
hari esok akan kusambut
dengan hati berselimut kabut
2011
Jiwa
Karya: TB. Guntur
jiwa adalah jiwa
di balik jiwa adalah jiwa
maka
tersenyumlah jiwajiwa
yang terlepas dari raga
2011
Siapa Kau?
Karya: Eny
wajah itu berkeringat
tersenyum merenung
memelas berkisah perjalalan hayatnya
yang ingin bertahan hari ini
hingg besok
entah lusa
akankah ia tahu tentang dirinya
pikirku
tentang perjalanannya kemarin
tentang apa yang ia makan kemarin
tentang dimana ia tidur kemarin
entahlah
satu tanyaku
siapa kau?
2011
Saatnya Kau Terbang
Karya: Agus Pontang
dikala sang penguasa siang
mengepakkan sayapnya
sayupsayup melihat di antara gumpalan hitam
gumpalan yang sedang menusuknusuk
semangat kehidupan
membekukan seluruh kehidupan
bangkitlah sang penguasa siang!
bangkitlah!
tunjukkan pada semua kau telah datang
karena sekarang saatnyalah
kau untuk terbang.
2011
Hampa
Karya: Ovi
Titiktitik gerimis berbaris
Menyusuri tanah
Awan hitam berarak
Dengan senyum yang muram
Menmani diriku yang hampa
Kugantungkan hati pada langit asa
Namun angin menghempaskan
Kutitipkan pinta pada bintang
Tapi malam menelan
Kukirimkan rindu lewat bunga
Namun layu tak bersia
Oh duka
Aku merana
2011
Suatu Subuh Di Pasar Rau
Karya: Chintya Dennisa
udara pagi telah menjadi sahabatku
genangan air kotor bak lotion bagiku
sayuran busuk
bau pesing
debu tebal
mereka teman setiaku kawan
mungkin ini pandangan yang menjijikkan untukmu
tapi tidak untukku kawan
aku terbangun sebelum mentari muncul diufuk timur
nanar hati ketika kudapati kau masih terkujur nyaman dalam hangat selimutmu
ini memilukkan?
atau menggelikan?
tidak untukku
hidupku disini
aku dan tempat ini
indah meski kau anggap buruk
2011
Naga Menangis
Karya: Ikal Bahri
naga menangis di pagi hari
membikin terlelap tidur
enggan tuk salat
naga menangis ketika persemayamannya
terusik oleh mereka yang bermaslahat
naga menangis
dua sejoli hiraukan adat
naga menagis di bumi tak taat.
2011
Jiwa yang Bersemangat
Karya: Mala
dipagi buta
disaat yang lain tertidur nyenyak
kau begitu giat bekerja
demi meyambung hidup
tanpa lelah dan tanpa mengeluh
jiwa-jiwa yang bersemagat
teruskan perjuanganmu
hingga fajar menjemputmu
2011
Karya: Ulie Semiotika
Bulan Itu yang Kau Tipu
tuhan,
jangan kau bunuh
bulan itu
aku takkan rela !
sungguhpun kau niatkan mega malam ini,
aku akan menghapusnya dari langit
tuhan,
jangan kau renggut bulan itu
aku tidak akan mencurinya darimu
sungguhpun aku merindukannya .
aku,
bulan,
langit,
dan angkasa mendung
bukan lagi yang harus bicara soal bunuh membunuh itu
tapi rindulah yang pasti menikam ulunya sendiri
seperti engkau yang telah ingkar,
membius bulan bersama deras hujan malam ini .
2011
Bimbang
Karya: Pegy
kuterbawa oleh angin
angin yang tak tahu arah
arah manakah yang harus kutelusuri
sana sini kerangka busuk!
bau menyengat pun tercium jelas
di p’ncra penciumku
jalan semakin sempit
dan tak terarah buntu
27 Maret 2011
Pertanyaan Hati
Karya: Gulmania Nagiri (ade)
Pernahkah kautahu?
Bintang akan selalu manja pada sinar sembulan
Berkedapkedip menyilaukan malam yang sunyi
Pernahkah kautahu?
Di lautan yang bebas
Karang tetap jadi yang terhebat
Selalu kokoh menghadapi deburan ombak
Silih berganti
Seperti itulah aku dan kamu
Pernahkah kautahu
Di sini aku tetap seperti ini
2009
Huruf
Karya: Agustia Afriani
alunan huruf mengambang dalam benakku
membentuk kata dengan duri sebagai alasnya
menyakiti benang merah yang melingkari
bagian lunak kepalaku
huruf itu menyakitiku
membentuk bualan panjang dalam sajak kalimat
sajaksajak yang berkembang dan beranak
menjadi lautan huruf yang membara
2011
Semangat
Karya: Siti Masitoh
nikmati semua rintangan
mari kita gapai anganangan
tuk meraih masa depan terang
bagai sang mentari bersinar
jangan kauhiraukan langit kelabu
itu hanya masalah waktu
yang tepat untuk ujian
agar segar
body dan pikiran
ayo taklukkan halangan, rintangan
tunjukkan pada semua
aku bisa
2011
Hanya Hujan
Karya: Ita Pradesta
saat ini hujan mengalir
membasahi tanah kering
deras melewati bebatuan keras
terus menggericik di dalam pelik hujan
hujan, hujan, dan terus saja hujan
awan gelap menutup cerahnya hati
hujan pun turun
terus menerus turun
lalu pipi jatuh lembabkan bumi
megkerut jiwaku
menciut nyaliku
rasanya aku ingin berteriak sekencangkencangnya
mencakar temboktembok keras
namun tak dapat dan tak bisa
tak sanggup, aku tak mampu
hanya hujan ini
menjadi sebuah saksi bisu
2011
Karya Anak Belistra (Part II)
Kajian Puisi Edisi 23 Maret 2011
Lusiana Syarifah
Lelahku Membara
hatiku membisu
jiwaku terkutuk tak bergeming
segujat ragaku lelah tak berdaya
hentakan nafas menarik ulur urat syaraf
rasa itu mengadu pada tangis
sesak, itu yang kurasa
tak ada dahan tuk bersandar
meronta dan terus meronta
Maret, 2011
Aray Rayza Alisjahbana
Sajak untuk Para Koruptor Negara
babi ngepet
di istana…
18 Maret 2011
Fatkuryati (Ifat)
Segurat Bayangan Tua
teduhnya sore ini hampir menampakkan
kemuning senjanya
mengaburkan lamunan yang sesekali menciptakan
kebisuan
ada segurat tua di benakku
mengintaiku seolah ingin hancurkan puing-puing
lamunan itu
sebuah bayangan klise tersenyum dengan
kerut pipinya
oh, tuhan
senyum itu adalah senyum yang bisa kulihat
setiap saat
senyum yang selalu bisa kumiliki
dan senyum dari seorang yang selalu mampu
buat hati bergetar
ayah,
aku tahu
kau datang untuk menjengukku
memastikan keadaanku
meskipun hadirmu hanya dalam bentuk klise
tapi aku merasa kau nyata.
2011
Vina Fitria O.
Sedang Imaji
gadis terduduk diujung jendela
menatap sesuatu yang kasat mata
menatap binar imaji
membuncah tak kenal nyata
sang maya menyertainya selalu
tak ada keindahan selain khayal semu
yang tak akan pernah kenal jemu
seperti nyata yang bermasalah
mayanya tak hinggap di sengaja
kalaulah itu bintang
akan simpan sinarnya silau
2011
Salvia Maesa (Mae)
Maaf, Tak Sempat Kueja
maaf, tak sempat kueja
secuil senyum yang kaulempar
dari sudut senja
hingga membentur langit-langit kegelisahan
maaf, tak sempat kueja
sepasang bola hitam yang membunuhi kata
kemudian bisu menghampiri
maaf, tak sempat kueja
lipatan jemarimu yang ganjil
2011
Agustia Afriani
Hentakan Jari
kuhentakkan jari di atasmu
dan kusaring kegelapan dalam wujudku
mengalun dan mengalir bagai air
dalam udara yang membeku
kuhentakkan jari di atasmu
menyulut api dalam sukmaku
membakar tulang dan ragaku
menjadi abu tak berdebu
2011
Meilana Suro (Mela)
Nyanyian Asap Rokok
aku akan menjadi penyanyi
dalam asap rokokku
masuk ke mulut
ditampung ke paruparu
kemudian keluar bersetubuh
dalam senyawa elegi
dan aku akan menjadi tembakau
dan nikotin
agar racun dan baraku ternikmati
oleh bongkahan senyawa elegi
dan aku menjadi buih yang meracuni
masalah duniawi.
2011
Nurlelah (Ela)
Mengejar Senja
senja yang beraroma ceri
kembali pada peraduan
meninggalkan ilalang
mengucap salam perpisahan
kumasih berlari
di ujung jalan yang sepi
mengejar senja yang hampir kembali
sementara peluh terus menyelimuti
dan malam mulai menggerai tirai
hingga senja tak pernah dapat kugapai
2011
Anom Fajar Puji Asmoro
Sekali
daun sudah jatuh
musim telah melompat
lagu sudah selesai dimainkan
namun,
isaac tak bisa kembalikan
apel ke batangnya.
2011
Mulyatiara Fauziyah
Tak Tergapai
ukiran itu melepuh
tercerai berang bagai arang
angan ‘kan tergapai saat masa telah
berlalu, berurai tetesan embun di pagi hari
gapaian itu digenggamnya dengan gagah,
terarah ketika kicauan nyata setitik menghampiri
terengah seketika
namun sadarkah?
hembusan itu lenyap dan berdebu
bagai daun kerin yang jatuh
nanarkan rongkah dalam dada
binasakan peluhmu akan cita yang bermuara mesra
salam pada sang penjuru
untuk peluh yang terhina
2011
Triara Vytria
MenujuMU
menujuMu,
aku menyerah di denyut waktu
menggembala pilu dengan candu sajak
pada malammalamku
dan ketika pagi di taman relung
kutemu getahgetah rindu yang masih basah
di ujung sujudsujud dedaun yang berjatuhan
dan rebah ke tanah
sementara reranting membatin
mulai jenuh lalu turut mengering
bersama jejak angin sunyi yang beriring
begitulah aku menujuMu
di ujung sujudsujudku
2011
Tanti Zulhijjah
Doa
guratan tinta yang ditulis tuhan
dalam kertas putih bersih
menggambarkan tentang perjalanan hidup
mungkin akan menjadi suka atau duka
dalam lantunan doa yang disampaikan
ibu kepada anaknya
2011
Ikal Bahri
Ironi Hidup
sungguh pun hidup bagiku
ialah bagai tumpukan lap yang bersih
kemudian mendapat giliran mengelap kotoran
dan dibersihkan lagi
begitu seterusnya sampai usang
hingga sudah tak terpakai lagi
dan dibuang sang majikan
dan ketika bersamasama
bersama sang kholik
aku capai ketentraman hidup
bersama para penyair
aku capai kebermaknaan hidup
bersama kawankawan aku capai
suka dan dukanya
hidup
2011
Desi
Cintaku telah Datang
di sudut malam
kumenepis kerinduan
merajut cinta dan kasih sayang
kulihat dedaunan yang berdendang
menghiasi angin di pesisir pantai
membawa langkah kakiku
dalam kebahagiaan
cintaku telah datang
dia bersemi di dermaga kasih sayang
lihatlah aku bintang
dengarkan curhatku rembulan
kubukanlah gadis malang
yang haus akan kasih sayang
cintaku telah bersemayam di samudera
keindahan takkan terhantam
oleh deburandeburan ombak kesedihan
cintaku takkan lekang oleh waktu
yang berjalan
ini cintaku, ini sayangku, ini rinduku
ukirlah wahai lautan
jagalah kisah cintaku
hingga ajal datang menghantam
2011
Andez Amsed
Bicara Pada Tuhan
aku bicara pada tuhan
lewat doa
berbincang lewat pemahaman
mendengar jawaban lewat
deru angin yang kaujadikan angan
kau tanamkan rasa dan asa pada jiwa
tanpaku minta
doaku tak tercatat
katakata terucap
dari kehidupanku yang cacat
2011
Lusiana Syarifah
Lelahku Membara
hatiku membisu
jiwaku terkutuk tak bergeming
segujat ragaku lelah tak berdaya
hentakan nafas menarik ulur urat syaraf
rasa itu mengadu pada tangis
sesak, itu yang kurasa
tak ada dahan tuk bersandar
meronta dan terus meronta
Maret, 2011
Aray Rayza Alisjahbana
Sajak untuk Para Koruptor Negara
babi ngepet
di istana…
18 Maret 2011
Fatkuryati (Ifat)
Segurat Bayangan Tua
teduhnya sore ini hampir menampakkan
kemuning senjanya
mengaburkan lamunan yang sesekali menciptakan
kebisuan
ada segurat tua di benakku
mengintaiku seolah ingin hancurkan puing-puing
lamunan itu
sebuah bayangan klise tersenyum dengan
kerut pipinya
oh, tuhan
senyum itu adalah senyum yang bisa kulihat
setiap saat
senyum yang selalu bisa kumiliki
dan senyum dari seorang yang selalu mampu
buat hati bergetar
ayah,
aku tahu
kau datang untuk menjengukku
memastikan keadaanku
meskipun hadirmu hanya dalam bentuk klise
tapi aku merasa kau nyata.
2011
Vina Fitria O.
Sedang Imaji
gadis terduduk diujung jendela
menatap sesuatu yang kasat mata
menatap binar imaji
membuncah tak kenal nyata
sang maya menyertainya selalu
tak ada keindahan selain khayal semu
yang tak akan pernah kenal jemu
seperti nyata yang bermasalah
mayanya tak hinggap di sengaja
kalaulah itu bintang
akan simpan sinarnya silau
2011
Salvia Maesa (Mae)
Maaf, Tak Sempat Kueja
maaf, tak sempat kueja
secuil senyum yang kaulempar
dari sudut senja
hingga membentur langit-langit kegelisahan
maaf, tak sempat kueja
sepasang bola hitam yang membunuhi kata
kemudian bisu menghampiri
maaf, tak sempat kueja
lipatan jemarimu yang ganjil
2011
Agustia Afriani
Hentakan Jari
kuhentakkan jari di atasmu
dan kusaring kegelapan dalam wujudku
mengalun dan mengalir bagai air
dalam udara yang membeku
kuhentakkan jari di atasmu
menyulut api dalam sukmaku
membakar tulang dan ragaku
menjadi abu tak berdebu
2011
Meilana Suro (Mela)
Nyanyian Asap Rokok
aku akan menjadi penyanyi
dalam asap rokokku
masuk ke mulut
ditampung ke paruparu
kemudian keluar bersetubuh
dalam senyawa elegi
dan aku akan menjadi tembakau
dan nikotin
agar racun dan baraku ternikmati
oleh bongkahan senyawa elegi
dan aku menjadi buih yang meracuni
masalah duniawi.
2011
Nurlelah (Ela)
Mengejar Senja
senja yang beraroma ceri
kembali pada peraduan
meninggalkan ilalang
mengucap salam perpisahan
kumasih berlari
di ujung jalan yang sepi
mengejar senja yang hampir kembali
sementara peluh terus menyelimuti
dan malam mulai menggerai tirai
hingga senja tak pernah dapat kugapai
2011
Anom Fajar Puji Asmoro
Sekali
daun sudah jatuh
musim telah melompat
lagu sudah selesai dimainkan
namun,
isaac tak bisa kembalikan
apel ke batangnya.
2011
Mulyatiara Fauziyah
Tak Tergapai
ukiran itu melepuh
tercerai berang bagai arang
angan ‘kan tergapai saat masa telah
berlalu, berurai tetesan embun di pagi hari
gapaian itu digenggamnya dengan gagah,
terarah ketika kicauan nyata setitik menghampiri
terengah seketika
namun sadarkah?
hembusan itu lenyap dan berdebu
bagai daun kerin yang jatuh
nanarkan rongkah dalam dada
binasakan peluhmu akan cita yang bermuara mesra
salam pada sang penjuru
untuk peluh yang terhina
2011
Triara Vytria
MenujuMU
menujuMu,
aku menyerah di denyut waktu
menggembala pilu dengan candu sajak
pada malammalamku
dan ketika pagi di taman relung
kutemu getahgetah rindu yang masih basah
di ujung sujudsujud dedaun yang berjatuhan
dan rebah ke tanah
sementara reranting membatin
mulai jenuh lalu turut mengering
bersama jejak angin sunyi yang beriring
begitulah aku menujuMu
di ujung sujudsujudku
2011
Tanti Zulhijjah
Doa
guratan tinta yang ditulis tuhan
dalam kertas putih bersih
menggambarkan tentang perjalanan hidup
mungkin akan menjadi suka atau duka
dalam lantunan doa yang disampaikan
ibu kepada anaknya
2011
Ikal Bahri
Ironi Hidup
sungguh pun hidup bagiku
ialah bagai tumpukan lap yang bersih
kemudian mendapat giliran mengelap kotoran
dan dibersihkan lagi
begitu seterusnya sampai usang
hingga sudah tak terpakai lagi
dan dibuang sang majikan
dan ketika bersamasama
bersama sang kholik
aku capai ketentraman hidup
bersama para penyair
aku capai kebermaknaan hidup
bersama kawankawan aku capai
suka dan dukanya
hidup
2011
Desi
Cintaku telah Datang
di sudut malam
kumenepis kerinduan
merajut cinta dan kasih sayang
kulihat dedaunan yang berdendang
menghiasi angin di pesisir pantai
membawa langkah kakiku
dalam kebahagiaan
cintaku telah datang
dia bersemi di dermaga kasih sayang
lihatlah aku bintang
dengarkan curhatku rembulan
kubukanlah gadis malang
yang haus akan kasih sayang
cintaku telah bersemayam di samudera
keindahan takkan terhantam
oleh deburandeburan ombak kesedihan
cintaku takkan lekang oleh waktu
yang berjalan
ini cintaku, ini sayangku, ini rinduku
ukirlah wahai lautan
jagalah kisah cintaku
hingga ajal datang menghantam
2011
Andez Amsed
Bicara Pada Tuhan
aku bicara pada tuhan
lewat doa
berbincang lewat pemahaman
mendengar jawaban lewat
deru angin yang kaujadikan angan
kau tanamkan rasa dan asa pada jiwa
tanpaku minta
doaku tak tercatat
katakata terucap
dari kehidupanku yang cacat
2011
KARYA ANAK-ANAK DIKLAT BELISTRA 2011 di KELAPA TUJUH
Karya Anak Belistra Untirta
Kajian Puisi Edisi 16 Maret 2011
Aray Rayza Alisjahbana
Memoar Kelapa Tujuh 2009
: untuk (E)
ketika lagi langkahku menyetubuhi urat leher lautan ini
kembali aku terbentur bayangmu di atas garis laut itu
kau tatap tajam sekujur tubuhku yang sedang bergumam
dengan desir ombak, butiran pasir, dan semilir angin yang bersileweran mesra
di sekelilingku
dan entah mengapa, tiba-tiba ombak, pasir, dan angin itu
seketika menggiring wajahku pada wajahmu
terus, dan terus menggiring ngilu
lalu engkau menarik daun telingaku dengan lemah lembut
dan mulutmu pun berceloteh lama tentang masa lalu
tentang kisah yang pernah berlabuh di antara aku dan senjamu waktu itu
tapi bagiku semua itu sudah fana
karena dengan berat hati
aku sudah menenggelamkan wajahmu di dasar laut itu
Kelapa Tujuh, Merak, 27 Februari 2011
Ismah
Ayah Aku Rindu
aku sangat ingin kau ada di sini di sampingku
ayah kau meninggalkanmu begitu cepat
kau pun meninggalkanku tanpa memberi
aku ilmu menjalani hidup
ayah kini aku telah tumbuh dewasa
aku pun mulai mengerti kehidupan
aku butuh kau ayah
aku ingin kau di sampingku
memberiku arahan hidup
karena sekarang aku sedang tertatih
menjalani hidup
2011
Vina Fitria O
Malam Begini
di sini aku
masih dalam suasana malam biasa
malam yang sama
malam yang merenggut keramaianku
malam yang merangkulku dengan kesepian
semalam itu
semalam yang remang
rintik hujan yang menyeringai
menidurkanku dengan buaiannya
memaksaku untuk tak berpihak lagi
pada kesadaran
malam begini
aku selalu menunggu pagi
pagi yang menyatu semesta-nya
karena pagi memberiku kekuatan
untuk menjalani
2011
Karya Rahmat
Terpaksa Menjadi Tikus
ada pegawai negeri sipil
berlaku jujur dan adil
mengais rizki di sarang buaya
bergulat dengan bahaya
idealisme dan tata negara di sandangnya
anak sulungnya berfoya-foya
bersahabat dengan narkoba
banyak uang untuk memenuhinya
isteri mudanya
suka berbelanja
pasar singapura menjadi surganya
pikirnya suami pohon uangnya
ada pegawai negeri sipil
besar pengeluaran isteri dan anaknya
gaji dari negara tak mencukupi
ada pegawai negeri sipil
menjadi tikus dan kongkalikong
dengan buaya
idealisme di tanggalkannya
demi bahagia isteri dan anaknya
Jangan Bunuh Diri
menatap indahnya awan yang mendung perlahan
redupnya tak membuat diriku semakin duka
aku bersama buih-buih pantaiku
terhempas ombak dan terluka
bila menguap ke udara
maka air akan tetap ada
bila dia tinggalkan cintamu
hatiku tetap di rongga dadamu
jika rindu selalu menghempasku
maka cinta masih tetap tersisa
mekarkan lagi senyummu
lukiskan lagi ceriamu
jangan bunuh diri
jangan bunuh diri dulu
gapai lagi anganmu
wujudkan lagi mimpimu
jangan bunuh diri
jangan bunuh diri dulu
karena cinta dari tuhan
selalu ada untukmu
2011
Karya Tanti Zulhijah
Bimbang
jalan setapak kulalui
ribuan pohon telah kulewati
tanpa aku sadari
kakiku terus melangkah
tanpa merasa lelah dan letih
entah kemana aku akan berhenti
dengan tujuan yang tak pasti
lalu aku memilih untuk diam
merenung dan mencoba mengevaluasi diri
2011
karya Mulya Tiara Faujiyah
Lebih Baik (Lagi)
ragakan berurai dalam binakan akan kilau
peluhku kan kuragik
kata pun bisu bagai angina
yang tak dihiraukan
bisakah aku tegak?
akankan aku berdiri tegak
gundah tak henti bercucuran
bidai ini harus sampai
karena aku ingin tegak
sampaikan, aku tegak!
sampaikan, aku berdiri!
sampaikan, aku bisa!
bisa akan kegagalan yang buat
aku penat akan kehidupan
tirai baru kuurai
kurangkai dengan kesungguhan
aku ingin, aku lebih dari yang pernah gagal
2011
Karya Erina Melita D
Penantian Bulan Mei
aku terdiam
terdiam saat harus menerima kenyataan ini
kenyataan pahit
sangat pahit
dalam hati aku bertanya
kenapa?
kenapa harus aku?
kenapa harus aku yang merasakan ini?
aku tidak kuat menunggumu
aku tidak yakin akan rasa ini
aku takut, sangat takut
aku takut kehilanganmu
tapi demi kamu
aku akan mencobanya
menyembunyikannya
menghilangkannya
dan membunuh perasaan itu
perasaan takut yang selalu menggerogoti pikiranku
dan aku akan tetap menunggumu
menunggu
hari ini, esok dan seterusnya
hingga akhir mei saat kita bertemu kembali
2011
Agustiya
Berlari
aku berdiri di hamparan duri
berdiri di atas luka dan merintih
seperti pengemis yang mengebu-ngebu
asaku semakin surut
di kala senja menyambut lukaku
semakin jatuh kutersungkur
seperti pengemis yang merintih
aku berlari
berlari
berlari dan berlari
lelah
lelah
hanya lelah kurasa
dan aku berlari
2011
Karya Lusiana Syarifah
Sajak Untuk Ibu
kala aku tak sanggup tuk menopang diri
kau sigap berada di sampingku
dengan kokohnya kau berdiri
hingga aku terlelap dalam kasih sayangmu
dikala badai menghampiri
kau buktikan teguhmu dengan senyuman
dukamu tak pernah terbias di wajahmu
kau jadikan pilu senjata kebahagiaan
ibu
kau ajarkan aku tuk nersyukur
kau tuntun aku menapaki kehidupan
kau bombing aku agar senantiasa sabar
kau tunjukkan aku jalan menuju impian
ibu
cintamu tak henti hingga aku mati
doamu selalu menyinari langkah kaki
wajahmu kuatkan aku tuk gapai keinginanmu
senyummu bawaku dalam kenyamanan
inginku bahagiakanmu
menangis karena rasa banggamu terhadapku
tak terbalaskan segala jasamu
hanya secarik sajak mewakili perasaanku
atas segala jasamu, ibu
2011
Karya Senja Pradestia P
Sssttt…
sssttt…
hai kau yang kini tetap telanjangi mataku
pelankan suaramu sejenak
tak terdengarkah bisik pilu yang berdenyit
lewati kamar itu
sssttt…
pelankan lagi suaramu
tak terdengarlah jerit sakit yang terkangkang
dari lubang di bawah sana?
suara itu?
ya! suara itu seperti jemari yang tak henti
hentak gurat-gurat tanah
seperti helai daun yang tak terjamah hujan
sepikah itu?
semukah itu?
entahlah
hanya warna angin yang mampu
siratkan rasa itu
2011
Karya Desi Annisa Kasumasari
Arti Hidup
sebutir pasir terbang bersama angina
menyusun ombak dalam lautan
menyaksikan dedaunan yang berdendang
melangkahkan kaki di pesisir pantai
ketika angin membelai rambutku
ketika suasana menyapa hati ini
logikaku berjalan selaras
termenung dan tersadar
ya…
hidup ini memang indah
tak perlu disesali
tak perlu ditangisi
jadikan makna hidup ini lebih berarti
2011
Karya Ela
Ratu Istana Pasir
aku adalah ratu dalam istana pasir putih
duduk di atas singgasana bertahta
memgang tanduk kekuasaan
pesta pantai akan dimulai
debur ombak membentur tembok pembatas pantai
bagaikan bedug yang bertalu
angin bersiul seperti seruling mangalun melodi
dan pucuk-pucuk pohon bergoyang
umpama penari pengantar kedamaian
tapi kedamaian itu sirna
ketika tsunami meruntuhkan istanaku
dan di sana ratu kidul tertaa terbahak
aku, ratu dalam istana pasir putih
tak akan gentar
malah akan aku bangun istana
dari beton di bukit sana
dan tsunami tak akan sampai kesana
2011
Asep Budianto
Mencari Jawaban
air laut ingin kutakar
butir pasir ingin kuhitung
hingga aku temukan sebuah jawaban
Kelapa Tujuh, 2011
Andez Amsed
Sajak Bimbang
berulang kucoret tiap-tiap tulisanku
dalam lembar-lembar catatanku
kusobek, lalu kubuang
mengggunung ditiap-tiap sudut kamar
menjadi abu terbakar damar
berpikir tak guna kulakukan itu
penaku kembali mengulang tulisan lalu
lagi-lagi kusobek lalu kubakar
selalu terulang, tanpa kuakui benar
2011
Kajian Puisi Edisi 16 Maret 2011
Aray Rayza Alisjahbana
Memoar Kelapa Tujuh 2009
: untuk (E)
ketika lagi langkahku menyetubuhi urat leher lautan ini
kembali aku terbentur bayangmu di atas garis laut itu
kau tatap tajam sekujur tubuhku yang sedang bergumam
dengan desir ombak, butiran pasir, dan semilir angin yang bersileweran mesra
di sekelilingku
dan entah mengapa, tiba-tiba ombak, pasir, dan angin itu
seketika menggiring wajahku pada wajahmu
terus, dan terus menggiring ngilu
lalu engkau menarik daun telingaku dengan lemah lembut
dan mulutmu pun berceloteh lama tentang masa lalu
tentang kisah yang pernah berlabuh di antara aku dan senjamu waktu itu
tapi bagiku semua itu sudah fana
karena dengan berat hati
aku sudah menenggelamkan wajahmu di dasar laut itu
Kelapa Tujuh, Merak, 27 Februari 2011
Ismah
Ayah Aku Rindu
aku sangat ingin kau ada di sini di sampingku
ayah kau meninggalkanmu begitu cepat
kau pun meninggalkanku tanpa memberi
aku ilmu menjalani hidup
ayah kini aku telah tumbuh dewasa
aku pun mulai mengerti kehidupan
aku butuh kau ayah
aku ingin kau di sampingku
memberiku arahan hidup
karena sekarang aku sedang tertatih
menjalani hidup
2011
Vina Fitria O
Malam Begini
di sini aku
masih dalam suasana malam biasa
malam yang sama
malam yang merenggut keramaianku
malam yang merangkulku dengan kesepian
semalam itu
semalam yang remang
rintik hujan yang menyeringai
menidurkanku dengan buaiannya
memaksaku untuk tak berpihak lagi
pada kesadaran
malam begini
aku selalu menunggu pagi
pagi yang menyatu semesta-nya
karena pagi memberiku kekuatan
untuk menjalani
2011
Karya Rahmat
Terpaksa Menjadi Tikus
ada pegawai negeri sipil
berlaku jujur dan adil
mengais rizki di sarang buaya
bergulat dengan bahaya
idealisme dan tata negara di sandangnya
anak sulungnya berfoya-foya
bersahabat dengan narkoba
banyak uang untuk memenuhinya
isteri mudanya
suka berbelanja
pasar singapura menjadi surganya
pikirnya suami pohon uangnya
ada pegawai negeri sipil
besar pengeluaran isteri dan anaknya
gaji dari negara tak mencukupi
ada pegawai negeri sipil
menjadi tikus dan kongkalikong
dengan buaya
idealisme di tanggalkannya
demi bahagia isteri dan anaknya
Jangan Bunuh Diri
menatap indahnya awan yang mendung perlahan
redupnya tak membuat diriku semakin duka
aku bersama buih-buih pantaiku
terhempas ombak dan terluka
bila menguap ke udara
maka air akan tetap ada
bila dia tinggalkan cintamu
hatiku tetap di rongga dadamu
jika rindu selalu menghempasku
maka cinta masih tetap tersisa
mekarkan lagi senyummu
lukiskan lagi ceriamu
jangan bunuh diri
jangan bunuh diri dulu
gapai lagi anganmu
wujudkan lagi mimpimu
jangan bunuh diri
jangan bunuh diri dulu
karena cinta dari tuhan
selalu ada untukmu
2011
Karya Tanti Zulhijah
Bimbang
jalan setapak kulalui
ribuan pohon telah kulewati
tanpa aku sadari
kakiku terus melangkah
tanpa merasa lelah dan letih
entah kemana aku akan berhenti
dengan tujuan yang tak pasti
lalu aku memilih untuk diam
merenung dan mencoba mengevaluasi diri
2011
karya Mulya Tiara Faujiyah
Lebih Baik (Lagi)
ragakan berurai dalam binakan akan kilau
peluhku kan kuragik
kata pun bisu bagai angina
yang tak dihiraukan
bisakah aku tegak?
akankan aku berdiri tegak
gundah tak henti bercucuran
bidai ini harus sampai
karena aku ingin tegak
sampaikan, aku tegak!
sampaikan, aku berdiri!
sampaikan, aku bisa!
bisa akan kegagalan yang buat
aku penat akan kehidupan
tirai baru kuurai
kurangkai dengan kesungguhan
aku ingin, aku lebih dari yang pernah gagal
2011
Karya Erina Melita D
Penantian Bulan Mei
aku terdiam
terdiam saat harus menerima kenyataan ini
kenyataan pahit
sangat pahit
dalam hati aku bertanya
kenapa?
kenapa harus aku?
kenapa harus aku yang merasakan ini?
aku tidak kuat menunggumu
aku tidak yakin akan rasa ini
aku takut, sangat takut
aku takut kehilanganmu
tapi demi kamu
aku akan mencobanya
menyembunyikannya
menghilangkannya
dan membunuh perasaan itu
perasaan takut yang selalu menggerogoti pikiranku
dan aku akan tetap menunggumu
menunggu
hari ini, esok dan seterusnya
hingga akhir mei saat kita bertemu kembali
2011
Agustiya
Berlari
aku berdiri di hamparan duri
berdiri di atas luka dan merintih
seperti pengemis yang mengebu-ngebu
asaku semakin surut
di kala senja menyambut lukaku
semakin jatuh kutersungkur
seperti pengemis yang merintih
aku berlari
berlari
berlari dan berlari
lelah
lelah
hanya lelah kurasa
dan aku berlari
2011
Karya Lusiana Syarifah
Sajak Untuk Ibu
kala aku tak sanggup tuk menopang diri
kau sigap berada di sampingku
dengan kokohnya kau berdiri
hingga aku terlelap dalam kasih sayangmu
dikala badai menghampiri
kau buktikan teguhmu dengan senyuman
dukamu tak pernah terbias di wajahmu
kau jadikan pilu senjata kebahagiaan
ibu
kau ajarkan aku tuk nersyukur
kau tuntun aku menapaki kehidupan
kau bombing aku agar senantiasa sabar
kau tunjukkan aku jalan menuju impian
ibu
cintamu tak henti hingga aku mati
doamu selalu menyinari langkah kaki
wajahmu kuatkan aku tuk gapai keinginanmu
senyummu bawaku dalam kenyamanan
inginku bahagiakanmu
menangis karena rasa banggamu terhadapku
tak terbalaskan segala jasamu
hanya secarik sajak mewakili perasaanku
atas segala jasamu, ibu
2011
Karya Senja Pradestia P
Sssttt…
sssttt…
hai kau yang kini tetap telanjangi mataku
pelankan suaramu sejenak
tak terdengarkah bisik pilu yang berdenyit
lewati kamar itu
sssttt…
pelankan lagi suaramu
tak terdengarlah jerit sakit yang terkangkang
dari lubang di bawah sana?
suara itu?
ya! suara itu seperti jemari yang tak henti
hentak gurat-gurat tanah
seperti helai daun yang tak terjamah hujan
sepikah itu?
semukah itu?
entahlah
hanya warna angin yang mampu
siratkan rasa itu
2011
Karya Desi Annisa Kasumasari
Arti Hidup
sebutir pasir terbang bersama angina
menyusun ombak dalam lautan
menyaksikan dedaunan yang berdendang
melangkahkan kaki di pesisir pantai
ketika angin membelai rambutku
ketika suasana menyapa hati ini
logikaku berjalan selaras
termenung dan tersadar
ya…
hidup ini memang indah
tak perlu disesali
tak perlu ditangisi
jadikan makna hidup ini lebih berarti
2011
Karya Ela
Ratu Istana Pasir
aku adalah ratu dalam istana pasir putih
duduk di atas singgasana bertahta
memgang tanduk kekuasaan
pesta pantai akan dimulai
debur ombak membentur tembok pembatas pantai
bagaikan bedug yang bertalu
angin bersiul seperti seruling mangalun melodi
dan pucuk-pucuk pohon bergoyang
umpama penari pengantar kedamaian
tapi kedamaian itu sirna
ketika tsunami meruntuhkan istanaku
dan di sana ratu kidul tertaa terbahak
aku, ratu dalam istana pasir putih
tak akan gentar
malah akan aku bangun istana
dari beton di bukit sana
dan tsunami tak akan sampai kesana
2011
Asep Budianto
Mencari Jawaban
air laut ingin kutakar
butir pasir ingin kuhitung
hingga aku temukan sebuah jawaban
Kelapa Tujuh, 2011
Andez Amsed
Sajak Bimbang
berulang kucoret tiap-tiap tulisanku
dalam lembar-lembar catatanku
kusobek, lalu kubuang
mengggunung ditiap-tiap sudut kamar
menjadi abu terbakar damar
berpikir tak guna kulakukan itu
penaku kembali mengulang tulisan lalu
lagi-lagi kusobek lalu kubakar
selalu terulang, tanpa kuakui benar
2011
Senin, 28 Maret 2011
Cicak Bodoh...
Cerpen: Aray Rayza Alisjahbana
Orang-orang memanggilku cicak. Mungkin kamu tahu wujudku seperti apa, menjijikkan bukan? Ya, sejenisku mungkin serupa monster kecil yang selalu berkeliaran di tembok-tembok, tiang listrik, dan sebagainya setiap malam. Mencari beberapa santap nikmatnya nyamuk-nyamuk yang berseliweran. Apalagi nyamuk-nyamuk itu usai menghisap darah manusia, wah rasanya nikmat sekali, tiada tara.
Sudah pernah lihat tubuhku bukan, tubuhku yang jelek ini? Aku juga terkadang jijik dengan diriku sendiri. Tubuh telanjang dengan ekor yang mengoget-oget seperti mau kawin. Mata yang terlihat menonjol keluar seperti sedang marah, terkadang membikin lelah menatap apa-apa yang ada di sekitarku. Tapi, ya mata inilah yang membuatku tetap bertahan hidup. Lebih-lebih lidah kilatku ini, yang bisa setiap saat menyambar mangsa yang lewat di hadapanku.
Umurku kini sudah menginjak dewasa. Sudah harus mencari pasangan hidup —kawin. Tentu saja dengan cicak juga, yang nanti akan melahirkan cicak-cicak kembali sebagai penerus hidupku nanti. Tapi sampai saat ini aku belum juga mendapatkan itu. Terkadang memang para cicak perempuan selalu direbut oleh cicak lelaki yang macho-macho. Tidak seperti aku ini, pemalu, lemah syahwat. Tidak berani mendekati cicak perempuan yang sedang sendiri, atau sudah siap untuk di kawini. Keinginanku memang tidak sesuai dengan hati. Hati berkata harus, tapi langkah dan kelaminku berkata tidak. Haha... memang aneh.
Setiap malam aku selalu iri ketika melihat beberapa ekor cicak —lelaki dan perempuan— sedang berkejaran mesra di sekitarku. Mungkin saat ini sedang musim kawin. Ya mereka dengan riangnya saling tindih-menindih dan aku hanya menjadi saksi bisu atas perlakuan mereka. Pun manusia-manusia yang ada di bawah, yang sedang menonton teve, makan di warung, tidur di kamar, main petak umpet, dan sebagainya, tak pernah peduli dengan kejadian itu. Mungkin mereka juga sudah merasakan nikmatnya kawin dengan pasangan-pasangan mereka. Sedang, aku hanya sendiri.
Pernah dulu, suatu ketika ada seekor cicak perempuan yang menarik simpatiku untuk mengawininya. Dia malu-malu mendekatiku, secara perlahan. Ekornya memberikan sinyal. Matanya menatap tajam tubuhku. Dari jarak sekira 30 cm, tiba-tiba dia menyerangku. Aku gelagapan. Ditindihnya. Aku mengamuk. Tapi tiba-tiba. Jprettt....!!! seorang anak kecil penghuni rumah menjepret cicak perempuan itu. Cicak perempuan itu seketika jatuh ke lantai. Lantas di kurung dalam plastik. Sedang ekornya masih menempel di tembok, di sampingku, sambil mengoget-oget.
“Haha... dapat satu. Lumayan dapat pahala. Malam ini kan malam jumat. He...” ujar bocah seumuran delapan tahunan-an itu, sambil menggoyang-goyangkan plastiknya.
Untung sekali aku tidak terserang jepretan karet bocah itu. Wah, bisa-bisa aku pun jadi tumbal mereka. Ya, konon katanya, apabila manusia mencari atau membunuh cicak di malam jumat, nanti akan mendapatkan pahala atau ganjaran dari tuhan. Entah, aku tidak pernah tahu. Aku mendengar itu ya, dari seletingan-selentingan percakapan manusia saja. Ah, dasar manusia, selalu mencari sensasi. Aku lupa kalau malam itu adalah malam jumat. Untung cicak perempuan ganjen itu yang kena tumbal. Haha... rasain.
***
Malam ini penghuni rumahku sedang banyak tamu. Aku sangat senang sekali, karena pasti nyamuk-nyamuk akan menggigitinya. Menyedoti darahnya. Wah, ada beberapa yang gemuk manusia itu, empat orang. Cukuplah. Senang sekali rasanya aku. Ayo nyamuk-nyamuk seranglah mereka. Nanti kalau sudah cukup darah di tubuh kalian, pasti kalian akan lemah. Dan aku, akan siap menyerangmu. Licik memang aku ini.
Tapi, sepertinya manusia-manusia itu tidak terlihat ingin tidur. Mereka masih saja main catur. Ngopi. Pastilah mata mereka susah tidur karena zat adiktif atau caffein itu menyebar di tubuhnya. Sial!! Mereka lelaki semua sih, yang perempuan —isteri-isteri lelaki itu— entah pada kemana. Ah, malam ini aku benar-benar lapar. Ingin rasanya cepat-cepat menyantap nyamuk-nyamuk yang berkeliaran.
Malam ini aku kurang begitu nyaman dengan sekelilingku. Dengan suara anak-anak mereka yang masih bermain, berteriak, berebut mainan ini itu sambil jeprat-jepret sana-sini dengan karet. Aku semakin tambah pusing. Sudah sendiri, tidak ada yang menemani. Mencari pasangan kawin pun tidak pernah ketemu. Ketemu tapi malu. Haha...
Hm... Kasihan juga yah mangsa-mangsa di sekitarku itu —nyamuk-nyamuk itu— sedang menunggu manusia-manusia atau penghuni rumah ini terlelap. Nyamuk-nyamuk itu mungkin jika di ibaratkan dengan manusia, mereka sedang main catur dulu, main poker dulu. Menunggu manusia-manusia itu terlelap.
“Skak!” ujar lelaki gendut yang memegang ster putih itu di ruang tamu. Sambil menyeruput kopinya.
“Sial!! Kalah gue,” ujar lelaki gendut yang satunya.
“Masih mau lanjut?”
“Ok. Lanjutkan!”
Ya tuhan, kapan mereka mau tidur. Aku sudah tidak tahan menahan lapar. Ah, pusing aku lama-lama menunggu. Aku juga melihat teman-teman di sekitarku sedang malamun, menunggu santapan tiba. Mungkin mereka juga sedang kelaparan sepertiku. Entah kenapa, aku dan teman-temanku disini kurang begitu suka dengan mangsa selain nyamuk. Nyamuk memang santapan idola kami. Favorit kami.
Ah memang sial, betapa enaknya mereka ditemani dengan pasangan-pasangannya. Tidak kalah juga dengan cicak-cicak yang muda. Sedangkan aku di sini, benar-benar menjenuhkan. Wahai cicak perempuan, datanglah padaku!
Jpret!!! Tiba-tiba saja karet bocah-bocah itu menyerangku bertubi-tubi. Ekorku kena. Aku jatuh. Jatuh. Ah, aku lupa kalau malam ini adalah malam jumat.
SIAL!
26 Maret 2011
Orang-orang memanggilku cicak. Mungkin kamu tahu wujudku seperti apa, menjijikkan bukan? Ya, sejenisku mungkin serupa monster kecil yang selalu berkeliaran di tembok-tembok, tiang listrik, dan sebagainya setiap malam. Mencari beberapa santap nikmatnya nyamuk-nyamuk yang berseliweran. Apalagi nyamuk-nyamuk itu usai menghisap darah manusia, wah rasanya nikmat sekali, tiada tara.
Sudah pernah lihat tubuhku bukan, tubuhku yang jelek ini? Aku juga terkadang jijik dengan diriku sendiri. Tubuh telanjang dengan ekor yang mengoget-oget seperti mau kawin. Mata yang terlihat menonjol keluar seperti sedang marah, terkadang membikin lelah menatap apa-apa yang ada di sekitarku. Tapi, ya mata inilah yang membuatku tetap bertahan hidup. Lebih-lebih lidah kilatku ini, yang bisa setiap saat menyambar mangsa yang lewat di hadapanku.
Umurku kini sudah menginjak dewasa. Sudah harus mencari pasangan hidup —kawin. Tentu saja dengan cicak juga, yang nanti akan melahirkan cicak-cicak kembali sebagai penerus hidupku nanti. Tapi sampai saat ini aku belum juga mendapatkan itu. Terkadang memang para cicak perempuan selalu direbut oleh cicak lelaki yang macho-macho. Tidak seperti aku ini, pemalu, lemah syahwat. Tidak berani mendekati cicak perempuan yang sedang sendiri, atau sudah siap untuk di kawini. Keinginanku memang tidak sesuai dengan hati. Hati berkata harus, tapi langkah dan kelaminku berkata tidak. Haha... memang aneh.
Setiap malam aku selalu iri ketika melihat beberapa ekor cicak —lelaki dan perempuan— sedang berkejaran mesra di sekitarku. Mungkin saat ini sedang musim kawin. Ya mereka dengan riangnya saling tindih-menindih dan aku hanya menjadi saksi bisu atas perlakuan mereka. Pun manusia-manusia yang ada di bawah, yang sedang menonton teve, makan di warung, tidur di kamar, main petak umpet, dan sebagainya, tak pernah peduli dengan kejadian itu. Mungkin mereka juga sudah merasakan nikmatnya kawin dengan pasangan-pasangan mereka. Sedang, aku hanya sendiri.
Pernah dulu, suatu ketika ada seekor cicak perempuan yang menarik simpatiku untuk mengawininya. Dia malu-malu mendekatiku, secara perlahan. Ekornya memberikan sinyal. Matanya menatap tajam tubuhku. Dari jarak sekira 30 cm, tiba-tiba dia menyerangku. Aku gelagapan. Ditindihnya. Aku mengamuk. Tapi tiba-tiba. Jprettt....!!! seorang anak kecil penghuni rumah menjepret cicak perempuan itu. Cicak perempuan itu seketika jatuh ke lantai. Lantas di kurung dalam plastik. Sedang ekornya masih menempel di tembok, di sampingku, sambil mengoget-oget.
“Haha... dapat satu. Lumayan dapat pahala. Malam ini kan malam jumat. He...” ujar bocah seumuran delapan tahunan-an itu, sambil menggoyang-goyangkan plastiknya.
Untung sekali aku tidak terserang jepretan karet bocah itu. Wah, bisa-bisa aku pun jadi tumbal mereka. Ya, konon katanya, apabila manusia mencari atau membunuh cicak di malam jumat, nanti akan mendapatkan pahala atau ganjaran dari tuhan. Entah, aku tidak pernah tahu. Aku mendengar itu ya, dari seletingan-selentingan percakapan manusia saja. Ah, dasar manusia, selalu mencari sensasi. Aku lupa kalau malam itu adalah malam jumat. Untung cicak perempuan ganjen itu yang kena tumbal. Haha... rasain.
***
Malam ini penghuni rumahku sedang banyak tamu. Aku sangat senang sekali, karena pasti nyamuk-nyamuk akan menggigitinya. Menyedoti darahnya. Wah, ada beberapa yang gemuk manusia itu, empat orang. Cukuplah. Senang sekali rasanya aku. Ayo nyamuk-nyamuk seranglah mereka. Nanti kalau sudah cukup darah di tubuh kalian, pasti kalian akan lemah. Dan aku, akan siap menyerangmu. Licik memang aku ini.
Tapi, sepertinya manusia-manusia itu tidak terlihat ingin tidur. Mereka masih saja main catur. Ngopi. Pastilah mata mereka susah tidur karena zat adiktif atau caffein itu menyebar di tubuhnya. Sial!! Mereka lelaki semua sih, yang perempuan —isteri-isteri lelaki itu— entah pada kemana. Ah, malam ini aku benar-benar lapar. Ingin rasanya cepat-cepat menyantap nyamuk-nyamuk yang berkeliaran.
Malam ini aku kurang begitu nyaman dengan sekelilingku. Dengan suara anak-anak mereka yang masih bermain, berteriak, berebut mainan ini itu sambil jeprat-jepret sana-sini dengan karet. Aku semakin tambah pusing. Sudah sendiri, tidak ada yang menemani. Mencari pasangan kawin pun tidak pernah ketemu. Ketemu tapi malu. Haha...
Hm... Kasihan juga yah mangsa-mangsa di sekitarku itu —nyamuk-nyamuk itu— sedang menunggu manusia-manusia atau penghuni rumah ini terlelap. Nyamuk-nyamuk itu mungkin jika di ibaratkan dengan manusia, mereka sedang main catur dulu, main poker dulu. Menunggu manusia-manusia itu terlelap.
“Skak!” ujar lelaki gendut yang memegang ster putih itu di ruang tamu. Sambil menyeruput kopinya.
“Sial!! Kalah gue,” ujar lelaki gendut yang satunya.
“Masih mau lanjut?”
“Ok. Lanjutkan!”
Ya tuhan, kapan mereka mau tidur. Aku sudah tidak tahan menahan lapar. Ah, pusing aku lama-lama menunggu. Aku juga melihat teman-teman di sekitarku sedang malamun, menunggu santapan tiba. Mungkin mereka juga sedang kelaparan sepertiku. Entah kenapa, aku dan teman-temanku disini kurang begitu suka dengan mangsa selain nyamuk. Nyamuk memang santapan idola kami. Favorit kami.
Ah memang sial, betapa enaknya mereka ditemani dengan pasangan-pasangannya. Tidak kalah juga dengan cicak-cicak yang muda. Sedangkan aku di sini, benar-benar menjenuhkan. Wahai cicak perempuan, datanglah padaku!
Jpret!!! Tiba-tiba saja karet bocah-bocah itu menyerangku bertubi-tubi. Ekorku kena. Aku jatuh. Jatuh. Ah, aku lupa kalau malam ini adalah malam jumat.
SIAL!
26 Maret 2011
Minggu, 20 Maret 2011
Tiga Sajak Pendek (tentang Korupsi)
Sajak Rakyat
: untuk para koruptor negara
babi ngepet
di istana….
Serang, 18 Maret 2011
Memberantas Korupsi
seperti memungut satu per satu
butiran pasir di laut.
Serang, 18 Maret 2011
Kata Para Koruptor
malu aku mencuri ayam
Serang, 18 Maret
: untuk para koruptor negara
babi ngepet
di istana….
Serang, 18 Maret 2011
Memberantas Korupsi
seperti memungut satu per satu
butiran pasir di laut.
Serang, 18 Maret 2011
Kata Para Koruptor
malu aku mencuri ayam
Serang, 18 Maret
Kamis, 10 Maret 2011
Memoar Kelapa Tujuh 2009
:untuk (E)
Ketika lagi langkahku menyetubuhi urat leher lautan ini
Kembali aku terbentur bayangmu di atas garis laut itu
Engkau menatap tajam sekujur tubuhku yang sedang bergumam
Dengan desir ombak, butiran pasir, dan semilir angin yang bersileweran mesra
Di sekelilingku
Dan entah mengapa, tiba-tiba ombak, pasir, dan angin itu
Seketika menggiring wajahku pada wajahmu
terus, dan terus menggiring ngilu
Lalu engkau menarik daun telingaku dengan lemah lembut
Dan mulutmu pun berceloteh lama tentang masa lalu
Tentang kisah yang pernah berlabuh di antara aku dan senja mu waktu itu
Tapi bagiku semua itu sudah fana
Karena dengan berat hati
Aku sudah menenggelamkan wajahmu di dasar laut itu
Kelapa Tujuh, Merak, 27 Februari 2011
Ketika lagi langkahku menyetubuhi urat leher lautan ini
Kembali aku terbentur bayangmu di atas garis laut itu
Engkau menatap tajam sekujur tubuhku yang sedang bergumam
Dengan desir ombak, butiran pasir, dan semilir angin yang bersileweran mesra
Di sekelilingku
Dan entah mengapa, tiba-tiba ombak, pasir, dan angin itu
Seketika menggiring wajahku pada wajahmu
terus, dan terus menggiring ngilu
Lalu engkau menarik daun telingaku dengan lemah lembut
Dan mulutmu pun berceloteh lama tentang masa lalu
Tentang kisah yang pernah berlabuh di antara aku dan senja mu waktu itu
Tapi bagiku semua itu sudah fana
Karena dengan berat hati
Aku sudah menenggelamkan wajahmu di dasar laut itu
Kelapa Tujuh, Merak, 27 Februari 2011
Rabu, 09 Maret 2011
Kabar Langit :untuk yang mencintai langit
Kini langit sedang mendung
Sedang terbaring lemah ditempat tidur
Ia ingin menutup diri dari suara petir yang menggelegar
Dari suara yang terus menyakitkan gendang telinganya
14 Februari 2011 (Pkl. 23.59.)
Sedang terbaring lemah ditempat tidur
Ia ingin menutup diri dari suara petir yang menggelegar
Dari suara yang terus menyakitkan gendang telinganya
14 Februari 2011 (Pkl. 23.59.)
Senin, 21 Februari 2011
Sabtu, 12 Februari 2011
TRY OUT SNMPTN 2011 BEM FKIP UNTIRTA (bekerja sama dengan PRIMAGAMA)
Ujian Akhir Sekolah sebentar lagi akan dimulai.
Mari asah otak teman-teman sekaligus untuk mengukur kemampuan teman-teman sebelum tes masuk Perguruan Tinggi Negeri (khususnya bagi kelas 3 SMA) dengan mengikuti TRY OUT SNMPTN 2011, yang insya Allah akan dilaksanakan pada:
hari, tanggal : Minggu, 20 Maret 2011
pukul : 09.00 s.d. selesai
tempat : Auditorium Untirta
Biaya: untuk paket IPA (Rp. 20.000), IPS (Rp. 20.000), & IPC (IPA & IPS, Rp 25.000)
Formulir Pendaftaran:
Di BEM FKIP UNTIRTA (PKM Pusat ) atau di Primagama (berbagai cabang di daerah Banten)
Kontak Person:
Encep, 087771480255 (Ketua Pelaksana)
Saepudin, 085920008522 (Ketua BEM FKIP Untirta)
Fairus, 081911186508 (Wakil Ketua)
Tunjukkan kalau teman-teman bisa melakukannya!
Selasa, 08 Februari 2011
Kutipan Sastrawan
Menulis sajak bagi saya adalah semacam upacara penundaan kematian. Dengan sajak, saya bisa berdialog dengan hidup. Berkompromi dan berpikir tentangnya: menyadari bahwa saya benar-benar manusia.
–“Warna kita”, Oka Rusmini.
Sastra, bagi saya adalah sebuah cara tak putus-putus menghadirkan manusia sebagai sebuah unikum, untuk menggoyangkan dan mempertanyakan ulang setiap definisi tentang manusia, tepat ketika dia coba dibikin final dan absolute.
–“Suatu Cerita dari Negeri Angin”, Agus R. Sarjono.
Menulis puisi bai saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah kata.
–“O, Amuk, & Kapak”, Sutardji C.B
Kita tidak punya pilihan lain. Kita harus berjalan terus. Karena berhenti atau mundur. Berarti hancur.
–“Tirani dan Benteng”, Taufik Ismail
Menjadi pengarang tidak berarti menduduki tempat lebih tinggi dari lingkunganya. pengarang tetap sebagai bagian dari masyarakat dimana dia hidup. dia tetap manusia biasa dengan serba kekuarangan da kerendahan hati, namun bermartabat.
– Nh Dini: sikap saya sebagai pengarang
… berilah aku satu kata puisi daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi yang kukasih. Angkasa ini bisu. Angkasa ini sepi. Tetapi aku telah sampai pada tepi. Dari mana aku tak mungkin lagi kembali.
–Manusia pertama di angkasa luar, Subagio Sastrowardojo
Langganan:
Postingan (Atom)