Belum Diberi Kesempatan Menjadi Pemimpin
Perkenalkan terlebih dahulu, nama saya Encep Abdullah. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Untirta Serang, Banten. Saya punya kisah dari salah satu tema yang ditawarkan dalam lomba ini, yaitu sebuah kegagalan. Boleh kiranya saya menceritakan pengalaman pribadi saya kepada teman-teman tentang sebuah kegagalan.
Semenjak semester satu lalu, saya mulai mencoba untuk bergelut dengan dunia organisasi—saya penasaran, karena di SMP maupun SMA sama sekali saya tidak bersentuhan dengan organisasi. Awal mulanya memang terpaksa, tapi lama-kelamaan setelah bersentuhan di dalamnya, ternyata banyak hal positif yang saya dapatkan. Hingga akhirnya saya kecanduan untuk ikut lagi di organisasi lain yang ada di kampus. Baik itu organisasi internal maupun eksternal.
Di organisasi internal saya mengikuti LDK, Klasik (keluarga musik), dan Himpunan Mahasiswa Jurusan. Sedangkan di eksternal saya mengikuti Hamas (Himpunan Mahasiswa Serang), Kubah Budaya (Komunitas Sastra), dan Rumah Dunia (Gol A Gong).
Memang benar apa kata kebanyakan orang, sebuah organisasi mampu mendorong seseorang untuk menjadi yang berbeda daripada orang lain yang hanya berkecimpung dibidang akademik saja. Sebuah organisasi mampu membangun sebuah rasa tanggung jawab, etika di masyarakat, wawasan, menambah teman, dan sebagainya. Mungkin tidak semuanya seperti itu, bisa juga sebaliknya, aktif di organisasi, tapi mandeg di akademik. Tapi saya lebih banyak mendapat hal yang positif ketimbang negatif. Alhamdulillah.
Proses perubahannya memang teramat begitu panjang. Seseorang yang baru pertama kali bergelut di dunia organisasi tentu sangat berbeda daripada orang yang sudah berpengalaman di dalamnya. Tidak semudah itu memang menjalankan roda sebuah organisasi. Butuh perjuangan yang ekstrim. Setahun, dua tahun sudah kini aku menjalaninya. Meskipun ada beberapa organisasi yang harus saya tinggalkan. Saya sadar, saya hanyalah manusia biasa, bukan super hero yang punya kekuatan lebih. Ternyata saya tidak kuat menjalani semua organisasi yang saya ikuti. Ada beberapa faktor juga yang mengakibatkan kenapa saya harus keluar dari organisasi tersebut. Misalnya saja, saya kurang sreg dengan para penghuni di dalam organisasi tersebut, atau saya dituntut oleh janji (dari salah satu organisasi) untuk ikut disatu organisasi saja, atau kadang saya juga jenuh di dalamnya, penuh dengan ideologi yang fanatik. Dan kini saya hanya fokus di beberapa organisasi saja. Di internal saya memilih Himpunan Hahasiswa Jurusan atau Hima, dan di eksternal saya memilih Kubah Budaya dan Rumah Dunia.
Kenapa saya lebih memilih organisasi yang tersebut di atas?
Hima, merupakan wadah dari seluruh Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di kampus yang menjalankan segala bentuk kegiatan berbasis bahasa dan sastra, dengan dinaungi oleh Prodi (Program studi/Jurusan). Di Hima ini otomatis mau tidak mau saya harus berada di dalamnya. Apalagi seringkali saya mendapat kepercayaan untuk menjadi sekretaris maupun ketua pelaksana kegiatan.
Kubah Budaya, merupakan akronim dari Komunitas Perubahan Budaya. Kubah dapat dikatakan sebagai salah satu komunitas sastra yang berada di wilayah Serang. Sebagai mahasiswa sastra, tentu saja saya harus ikut di dalamnya. Meskipun sempat fakum beberapa bulan. Tapi kini saya mulai kembali merajut cinta di Kubah. Walau hanya sekadar ngopi bareng.
Rumah Dunia, juga merupakan komunitas sastra yang digawangi oleh Gol A Gong. Mau tidak mau juga saya harus bergelut di dalamnya. Tapi saya tidak se-intens di Kubah. Di rumah Dunia hanya mampir sesekali saja, saat ada kegiatan. Di rumah Dunia pun saya di tunjuk menjadi ketua angkatan, yaitu ketua angkatan 16.
Mungkin pembaca bingung, mana kegagalan yang seharusnya saya diceritakan?
Ya, di atas hanyalah sebuah cerita awal sebelum saya beranjak ke cerita selanjutnya. Karena hal ini sangat berkaitan.
Berbicara banyak tentang organisasi yang saya geluti. Di sini saya hanya akan menceritakan kegagalan saya di organisasi Hima atau Himpunan Mahasiswa Jurusan saja.
Pada periode akhir kepengurusan 2009—2010 lalu, saya ditunjuk oleh calon ketua hima dan teman-teman saya yang satu kepengurusan untuk menjadi calon wakil ketua Hima. Tidak ada niatan sama sekali saya untuk itu. Betapa kagetnya saya saat itu, ditunjuk secara langsung. Saya tidak punya gambaran dan bayangan sedikitpun dalam pencalonan ini. Seminggu lagi pendaftaran ditutup. Lawan kami sudah mendaftarkan diri. Sedangan kami belum. Saya masih ragu dan bimbang. Apalagi sang calon ketua, seorang perempuan senior yang satu tingkat di atas saya, Suci namanya. Apakah tidak ada calon ketua yang lain, laki-laki barangkali? Pikir batin saya.
Menjelang akhir pendaftaran, saya selalu dihantui oleh beberapa faktor yang membelunggu pikiran saya. Dari teman-teman saya, para senior saya, mereka memojokkan saya untuk segera mencalonkan diri. Saya benar-benar semakin bingung. Akhirnya saya putuskan untuk meminta izin terlebih dahulu pada kedua orang tua saya. Syukur Alhamdulillah, saya diizinkan.
Seharusnya hal ini tidak mendadak seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi. Menjelang sehari pendaftaran terakhir, akhirnya kami mencalonkan diri dengan terpaksa. Kami tidak ingin mengecewakan orang-orang yang sudah memberikan kami kepercayaan. Kami pun sibuk mengurusi segala persyaratan. Sehari rasanya tidak mungkin cukup untuk mendapatkan semua persyaratan itu. Tapi, dengan segala jerih payah dan segala daya upaya, akhirnya kami pun lolos verifikasi persyaratan. Alhamdulillah.
Setelah itu kami mempersiapkan untuk kampanye di kampus. Baik itu di kelas-kelas maupun melalui selebaran pamflet dan spanduk yang terpasang di sisi-sisi pagar kampus. Berawal dari keterpaksaan, kini kami semakin optimis untuk menang dan tekad kami untuk terus maju semakin berkobar. Finansial sudah terkuras, tenaga pun juga terkuras. Kami tidak mau perjuangan kami sia-sia.
Sesion debat pun tiba sudah. Kami saling memaparkan visi dan misi. Saling baku hantam satu sama lain. Ada tiga panelis yang menguji kami. Mereka adalah para aktivis-aktivis senior yang sudah berpengalaman.
Saya, khususnya sangat tertekan saat debat ini berlangsung. Saya yang masih bau kencur, belum bisa ngoceh (berbicara lantang di muka umum), berani-beraninya duduk di kursi calon pempimpin itu. Saya tidak percaya bisa melakukan hal ini. Benar-benar diluar dugaan.
Dua hari kemudian perhitungan suara pun di mulai. Malam itu saya tidak ikut. Karena sudah lelah, jadi saya pulang saja ke rumah untuk istirahat. Suci dan teman-teman yang mewakilkan. Pagi-pagi saya membuka kotak pesan di HP, ternyata pesan dari Suci, kurang lebih begini pesannya:
Ass. Encep, sepertinya kita belum diberi kesempatan untuk menjadi pemimpin. Tetap semangat yah walaupun kita kalah. :-)
Saya agak kaget mendapat kabar tersebut, saya menghelas nafas sedikit, mencoba menghilangkan segala pikiran yang berseliweran di otak saya. Akhirnya mau tidak mau saya harus menerima kenyataan ini.
Satu tahun berlalu.
Dunia seperti matahari yang terbit di pagi hari, lalu esoknya ia datang kembali. begitu pula halnya dengan saya, kehidupan ini memang benar-benar cepat berlalu. Kini kepengurusan Bagus dan Suwarno 2009—2010 akan segera berakhir (nama lawan saya yang menang mencalonkan diri tahun lalu).
Lantas siapakah yang akan menggantikan posisi mereka pada kepengurusan berikutnya?
Untuk tahun ini saya optimis, pasti banyak yang mencalonkan diri untuk menjadi ketua dan wakil ketua Hima. Saya melihat banyak potensi yang melekat pada diri teman-teman kepengurusan 2009—2010 ini, khususnya yang semester tiga. Baik dari perempuan maupun laki-laki. Sebulan sebelum pendaftaran pencalonan dibuka, saya sudah memprediksi siapa saja yang bakal menjadi calon. Satu, dua, tiga orang sudah terlihat.
Tapi, tunggu dulu. Ternyata prediksi saya meleset. Satu minggu lagi pendaftaran ditutup, tapi ternyata tidak ada satu pun yang mencalonkan diri untuk menjadi pasangan kandidat. Ya Tuhan, malah lebih parah dari tahun lalu begini. Akhirnya, saya yang sudah senior—sudah semester lima—harus menasihati, mengarahkan, serta harus menunjuk dari salah satu pengurus Hima 2009—2010. Tapi tetap saja mereka masih enggan, entah karena takut atau tidak punya calon pendamping. Entahlah. Terpenting bagi saya adalah selalu menekan mereka. Tapi nyatanya hasilnya nihil. Oh betapa pusingnya saya dan kak Bagus (Ketua Hima 2009—2010) mencari pasangan calon berikutnya ini. Saya benar-benar kewalahan. Ada yang beralasan sibuk dengan organisasi lain, sibuk dengan akademik, takut untuk menjadi pemimpin, macam-macamlah alasan mereka. Saya juga bisa merasakan saat dulu saya menjadi mereka dan ditunjuk begitu saja. Lah, tapi kenapa sekarang saya memaksa mereka? Entahlah saya juga bingung, atau mungkin saya takut, karena kalau tidak ada pasangan calon tahun ini, pasti saya lagi yang akan terkena imbasnya.
Beberapa bulan yang lalu memang ada beberapa teman saya bahkan kak Bagus sendiri, mereka menyarankan agar saya mencalonkan kembali pada periode berikutnya, tapi sebagai ketua buka wakil. Weleh-weleh...
Menjelang dua hari pendaftaran terakhir, memang benar, saya lagi yang terkena imbasnya. Teman-teman dari semester tiga tidak ada yang mau mencalonkan diri. Mereka masih bingung. Akhirnya saya pun ditunjuk kembali. Setelah ada satu pasangan calon yang mendaftar (Mayang dan Mela, teman saya semester lima).
Awalnya saya menyerahkan kemenangan ini pada mereka, saya mundur. Lagi-lagi saya dipojokkan, dengan salah satu teman saya dari semester tiga (yang merupakan sekeretaris saya saat kegiatan Bulan Bahasa kemarin), Tanti namanya. Dia menangis dihadapan saya, dia meminta agar saya mencalonkan diri. Waduh, semakin ribet saja. Ya sudah saya terpaksa lagi-lagi harus mencalonkan diri.
Banyak teman-teman yang juga mendukung saya, termasuk kak Bagus dan wakilnya. Mereka tidak mau kepemimpinan di pegang oleh perempuan. Saya lebih dipercaya oleh mereka ketimbang lawan saya. Waduh, kepercayaan lagi yang menjadi bumerang bagi saya. Akhirnya, malam itu saya sms Fajar, teman akrab saya semester tiga untuk mendampingi saya menjadi wakil. Fajar mengerti dengan keadaan, dia pun menerima menjadi wakil saya.
Kali ini saya optimis bisa menang. Karena pencalonan satu tahun yang lalu itu, menjadi bekal dan pengalaman saya pada pencalonan kali ini. Saya tidak merasa deg-degan ataupun gemetar. Saya sudah hafal betul teknis dan aturan mainnya dari KPU.
Kembali sesion debat pun dimulai. Debat kali ini berbeda dari tahun yang lalu, lebih menantang. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan para penelis pun membuat suasana debat semakin memanas. Debat pun berakhir dengan tepuk tangan meriah dari para pendukung saya dan pendukung lawan. Saya merasa puas dengan debat kali ini, karena sistemnya saling membantai satu sama lain.
Seperti biasa hari yang ditunggu-tunggu datang juga, yaitu perhitungan suara. Saya dan Fajar sangat optimis menang. Saya tidak terlalu pusing untuk tahun ini. Karena saya sudah yakin pendukung saya banyak, dari semester satu, tiga, lima, dan tujuh. Mereka sudah berjanji akan memilih saya dan Fajar.
Malam itu, perhitungan suara pun dimulai. Entah kenapa, saya pun mulai merasa deg-degan. Saat itu saya tidak didampingi wakil saya, katanya dia capek. Kali ini saya yang menggantikan posisi Suci, calon ketua saya tahun lalu. Skor pun saling menyusul, saya dan lawan saya begitu tegang menunggu hasil akhir perhitungan suara ini.
Dari pukul 11.00 hingga pukul 03.00 dini hari, akhirnya perhitungan suara pun selesai. Perhitungan suara memang bergantian, dari pasangan calon Presma, pasangan calon BEM FKIP, lalu pasangan calon HIMA yang terakhir.
Waktu itu saya tertidur ditempat perhitungan suara. Mata saya sudah agak letih saat itu. Lalu saya pun dibangukan oleh teman saya. Perhitungan suara sudah selesai, katanya. Aku pun melihat skor akhir di white boar yang ada ditempat perhitungan suara itu.
Skor akhir: Encep & Fajar = 97, Mayang & Mela = 108
Ya Tuhan, saya gagal lagi dalam pencalonan ini. Aku tidak menyangka.
Ternyata, dari semester satu hingga semester tujuh, banyak yang tidak mencontreng. Pantas saja skor kedua pasangan sangat sedikit begini. Katanya, banyak yang golput juga. Saya sangat kecewa dengan janji teman-teman yang katanya mau mendukung saya. Tapi nyatanya begini. Tidak ada yang memilih, hanya beberapa saja.
Malam itu saya langsung mengabari Fajar dengan sms yang seperti Suci kirimkan tahun lalu.
Ass. Fajar, sepertinya kita belum diberi kesempatan untuk menjadi pemimpin. Tetap semangat yah walaupun kita kalah. :-)
Fajar pun membalas sms saya seperti ini:
Seharusnya A Encep yang harus tetap semangat dan harus tetap sabar. Karena sudah gagal untuk yang kedua kalinya.
Saya pun langsung tersadar, benar juga apa kata Fajar.
Akhirnya saya merenung dari semua kegagalan ini. Kenapa bisa seperti ini secara terus-menerus?
Diakhir tulisan ini saya hanya bisa menyimpulkan, bahwa sesuatu yang tidak diawali dari niatan diri sendiri, itu tidak akan berjalan lancar. Karena hanya diri kita sendirilah yang menentukan, yang akan menjadi sesuatu, bukan orang lain. Semua yang kita lakukan harus berawal dari keikhlasan dan ketulusan, bukan paksaan.
Tapi semua itu tidak membuatku patah semangat, justru dari pengalaman ini saya menjadi semakin lebih dewasa, semakin mengerti akan arti sebuah kehidupan.
Kita tidak punya pilihan lain. Kita harus berjalan terus. Karena berhenti atau mundur, berarti kita HANCUR.(Taufik Ismail, Sastrawan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar